PALU- Peneliti independen Arianto Sangadji menyebut gerakan politik buruh harus terus didorong, agar derajat penghisapan (profit tidak setara dengan upah, ataupun eksploitasi buruh, red) di tengah pertumbuhan masif pengelolaan industri nikel, agar semakin memihak kepada kaum buruh.
Hal tersebut disampaikan Arianto Sangadji saat dirinya didapuk sebagai narasumber dalam dialog publik mengangkat tema “Memajukan Politik Kelas Buruh Dalam Mendudukkan Masalah Perburuhan” diselenggarakan oleh Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulawesi Tengah (Sulteng) di Hotel Paramasu, Jalan Domba, Kota Palu, Selasa (27/11).
Ia menjelaskan, industri nikel menciptakan pekerja modern dalam jumlah masif di Morowali dan Morowali Utara. Pada 2022, sekitar 100 ribu buruh bekerja di industri nikel di kedua daerah tersebut .
“Menjadi tulang punggung akumulasi kekayaan, kaum buruh menjadi pihak paling menderita karena tingkat eksploitasi yang ekstrim,” katanya.
Ia memaparkan, total profit diperoleh perusahaan smelter di Morut dan Morowali pada 2022 38,89 triliun dan perusahan keluarkan untuk buruh 5,7 triliun.
Olehnya kata dia, semakin tinggi total profit diperoleh perusahaan dan semakin rendah buruh memperoleh kompensasinya.
“Secara regional untuk wilayah Morut dan Morowali dari total profit diperoleh perusahaan dan dikeluarkan pada 2022 tingkat penghisapan menunjukan 682 persen, sangat ekstrim!” bebernya.
Inilah kata dia, menjadi alasan obyektif gerakan politik buruh harus terus didorong.
Ia mengkritisi kebijakan pemerintah Indonesia terlalu memihak pada perusahaan dengan memberikan kebijakan tax holiday pada perusahaan-perusahan smelter.
“Sehingga perusahaan-perusahaan smelter tersebut tidak perlu membayar tax Corporate Income tax nilainya sekitar 22 persen,” urainya.
Sehingga, jelasnya, di tengah pertumbuhan masif di Morowali akumulasi kekayaan begitu hebat diperoleh industri nikel, tapi di waktu sama kaum buruh memperoleh kompensasi sangat rendah.
Menurutnya, hal paling ironis penghisapan ekonomi, mayoritas nilai produk domestik regional bruto (PDRB) dihasilkan Kabupaten Morut dan Morowali dihisap keluar dari daerah tersebut.
“Pada 2022 mencapai 94,56 persen, artinya hanya 6 persen PDRB dinikmati oleh warga tinggal di kedua daerah tersebut,” pungkasnya.
Dialog tersebut, sangat interaktif dengan berbagai permasalahan dihadapi buruh mulai dari upah, keselamatan kerja dan kebebasan berserikat dan kurang maksimal pengawasan dilakukan instansi terkait mengemuka dan direspon masing-masing pihak terkait.
Dalam dialog publik tersebut diikuti oleh berbagai kalangan serikat buruh, SPIM, SPN, FSPNI, SBSI, Disnakertrans Sulteng, NGO WALHI, JATAM, Celebes Bergerak.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG