PALU- Muh. Rasyidi Bakry selaku Penasehat hukum Recky Suhartono Godiman merasa miris, terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) di mana dalam membuktikan dakwaanya menggunakan analisa “cocoklogi”.
Recky Suhartono Godiman merupakan, terdakwa kasus suap Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo senilai Rp2,2 miliar, guna memperoleh paket pekerjaan, pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Balut, 2020.
Ia, dituntut JPU KPK Evi Yustiana pidana 4 tahun dan 6 bulan penjara, membayar denda Rp200 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Pada rilis diterima MAL Online, Selasa (31/8), Muh. Rasyidi Bakri dalam pledoi yang telah dibacakan Senin (30/8) di Pengadilan Negeri Klas 1 A PHI /Tipikor/Palu, mendalilkan, bahwa penggunaan analisa “cocoklogi” digunakan oleh JPU, yang jadi dasar untuk sampai pada keyakinan bahwa benar telah terjadi penerimaan uang sebesar Rp500 juta oleh Djufri Katili, kepada kliennya 28 Juli 2020 dan bukan 28 Mei 2020 .
“Sesuai keterangan Djufri Katili adalah secara nyata merupakan pengingkaran terhadap prinsip due process of law, diartikan sebagai suatu proses hukum baik, benar dan adil,” kata Rasyidi.
Karena analisa “cocoklogi” kata Rasyidi, justru menguak fakta, bahwa JPU selaku pengendali perkara, belum secara konsisten melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan. Sebab tidak berusaha dengan baik untuk memastikan bahwa seluruh proses hukum telah dilaksanakan dengan baik dan benar.
Ia mengatakan, berdasarkan fakta-fakta persidangan, maka dakwaan menyatakan bahwa kliennya, telah terbukti turut serta melakukan perbuatan pidana, adalah dakwaan absurd dan mengada-ada.
“Apalagi keterangan Djufri Katili jadi dalil utama JPU, secara hukum bukanlah alat bukti sah, karena sesuai azas hukum, satu saksi bukanlah saksi, unus testis nullus testis,” jelasnya.
Kemudian, kata dia, kalau pun keterangan Djufri Katili benar, maka pemberian uang tersebut, tentu tidak terkait sama sekali dengan perkara a quo. “Sebab, dengan menyatakan bahwa uang tersebut bukan untuk Wenny Bukamo, maka pasal penyertaan disangkakan kepada klien kami menjadi gugur dengan sendirinya.
Dia mengatakan, persidangan terhadap Kliennya adalah sesuatu sangat dipaksakan, karena tidak didukung alat bukti kuat, hanya berdasarkan pengakuan Djufri Katili yang sangat tidak berdasar tersebut.
Kemudian, tambah dia, keterangan berbagai pihak yang menjelaskan bahwa kliennya adalah orang dekat Bupati. Padahal kedekatan tersebut adalah murni hubungan kerja dan tidak pernah disalah gunakan untuk sesuatu melanggar hukum.
“Pengakuan dari saksi-saksi tidak ada, secara tegas menyatakan bahwa klien kami terlibat pengaturan proyek melanggar hukum,” katanya.
Bahkan fakta terungkap di persidangan, kata Dia, mereka yang didakwa sebagai penyuap dan telah diputus bersalah, yakni Hedy Thiono, Andreas Hongkiriwang dan Djufry Katili secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak pernah memenangkan proses lelang proyek karena bantuan Klien kami.
Karena faktanya, mereka bisa berkomunikasi langsung dengan bupati dan atau para pihak yang mengatur proses pelelangan proyek.
Bahkan dalam dari fakta persidangan seperti diuraikan di atas dan juga telah diakui di BAPnya atau berdasarkan keterangan saksi lain, menurutnya, Basuki Mardiono, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banggai Laut dan Ramli Hi Patta Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUPR dan Nasir Gobel, terungkap pernah mendapat uang dari rekanan, yang sebenarnya terindikasi kuat bahwa dana-dana tersebut adalah gratifikasi, karena tidak pernah dilaporkan kepada KPK atau dipinjamkan tanpa bunga.
“Hal ini menjadi bukti nyata bahwa proses pemenangan proyek justru dikomunikasikan langsung oleh para rekanan dengan dinas terkait dalam perkara ini adalah Dinas PUPR Banggai Laut,” paparnya.
Bahwa seperti diuraikan oleh Ahli Pengadaan, Sabela Gayo, tindakan klienya yang selalu menginformasikan kepada pihak kontraktor, jika ada lelang proyek terbuka bukanlah suatu tindak pidana.
“Bahkan itu justru mendukung semangat transparansi dalam proses pengadaan yang memang diharapkan, diketahui banyak orang,” tekanya.
Rasyidi mengatakan, sejak dari proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, berdasarkan BAP beberapa orang Saksi, terlihat jelas bagaimana peran kliennya sebagai “orang dekat Bupati” atau “orang kepercayaan Bupati” seolah ingin diframing sebagai sebuah kejahatan.
“Sehingga hampir semua keterangan saksi-saksi menjelaskan bahwa “sudah jadi rahasia umum” jika kliennya adalah orang dekat Bupati, ” katanya.
Bahkan ada sampai diberikan kalimat hyperbolic, seperti dalam BAP Hendri Wijaya Gosali pada poin 25, menyatakan bahwa “kliennya sudah seperti wakil”, tapi saat dikonfirmasi di persidangan, Saksi malah menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menyatakan hal tersebut saat di-BAP.
Ia menambahkan jika benar apa disampaikan oleh saksi Hendri Wijaya, maka apa menimpa kliennya adalah suatu tindakan keji, yang menggambarkan bagaimana praktek penegakan hukum telah mengangkangi due process of law akhirnya bermuara pada parodi keadilan atau travesty of justice.
Dan praktek penegakan hukum dengan cara-cara seperti ini, diyakininya, tidak akan memberi sumbangsi apa-apa bagi kemajuan peradaban hukum kita sebagai sebuah negara menegaskan diri sebagai negara hukum atau rechtsstaat.
Olehnya menurutnya lagi, berdasarkan seluruh dalil-dalil dan seluruh fakta-fakta terungkap dalam persidangan. Menyatakan kliennya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
“Menyatakan kliennya dibebaskan dari dakwaan (vrijspraak) atau setidak-tidaknya dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtvervolging), “pungkasnya. (Ikram)