PALU – Komisi IV DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), kembali melanjutkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Instansi terkait, LSM dan masyarakat, di ruang sidang utama DPRD Sulteng, baru-baru ini.
RDP yang dipimpin Ketua Komisi IV, Dr. Alimuddin Pa’ada itu membahas adanya mitos masyarakat yang mengaku sebagai saudara dari buaya-buaya yang ada di Teluk Palu, sehingga beberapa penangkapan yang dilakaukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), selalu terkendala dengan keberadaan masyarakat tersebut.
Menurut Ketua Komisi IV, Dr. Ir. Alimuddin Paada, sebenarnya buaya-buaya ini sudah ditangani oleh pemerintah melalui BKSDA. Hanya saja, kata dia, predator tersebut merupakan salah satu hewan yang dilindungi sehingga dalam penanganannya memerlukan payung hukum.
“Di dalam aturan yang berlaku bahwa buaya-buaya bisa ditangkap jika ia keluar dari habitatnya. Bukan hanya terkendala aturan, ada juga yang mengangap bahwa buaya yang ada di Teluk Palu ini merupakan saudaranya sehingga ketika dilakukan penangkapan, ada masyarakat yang keberatan,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IV, Ibrahim A. Hafid, menyarankan agar masyarakat yang menolak penangkapan buaya di Teluk Palu itu juga perlu harus diundang, sekaligus bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Palu dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala.
“Pemda harus berperan memberikan edukasi kepada warga bahwa buaya ini juga sebagai ancaman bagi para nelayan,” katanya.
Di tempat yang sama, Koordinator Pidana Khusus, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng, mengatakan, menurut Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1990, ada tiga jenis buaya yang dilindungi, yakni buaya muara, buaya air tawar dan buaya senyulong.
“Dalam pasalnya mengatakan, jangan kita melukai atau memindahkannya pun dilarang. Ada pasal pidananya,” terangnya.
Perwakilan masyarakat, Kasmawati, mengatakan, buaya-buaya tersebut sudah menimbulkan masalah. Ia sendiri tidak mengetahui persis sudah berapa jumlah populasi buaya itu saat ini.
“Teluk Palu ini tidak hanya sebagai tempat rekreasi, juga sebagai tempat penghidupan para nelayan. Karena buaya ini tidak hanya hidup di muara, tetapi sudah di lautan makanya sangat mengancam kehidupan manusia sehingga perlu ada jalan keluar mengenai permasalahan buaya ini,” ujarnya.
Perwakilan masyarakat Kelurahan Nunu, Natsi, mengatakan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, sudah sekitar sembilan orang yang sudah menjadi korban dan keseluruhannya adalah kepala rumah tangga. Ia berharap, buaya-buaya ini bisa ditangkap untuk dibawah ke penangkaran.
Perwakilan dari Organisasi Nelayan, mengatakan, habitat buaya-buaya sudah mulai terganggu. Menurut informasi yang diperolehnya dari Panji, jumlah buaya di Teluk Palu kurang lebih sudah mencapai 100 ekor. Karena makanannya sedikit, maka mereka sudah menyisir ke kampung-kampung.
“Kurang lebih 600-an nelayan di Pesisir Teluk Palu ini. Karena adanya buaya-buaya ini membuat nelayan terganggu,” ujarnya.
Terkait itu, Anggota Komisi IV, Erwin Burase, mengatakan agar RDP kali ini bisa memberikan banyak informasi dan masukan dari masyarakat mengenai permasalah buaya yang sudah meresahkan dan mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi IV lainnya, Hidayat Pakamundi. Menurutnya, langkah-langkah komperhensif harus dilakukan karena keselamatan manusia lebih utama.
“Tim satgas harus berpatroli di wilayah Kota Palu,” katanya.
RDP kali ini juga dihadiri Wakil Ketua Komisi IV, Rahmawati M. Nur, Winiar Hidayat Lamakarate, Faizal Lahadja dan Fairus Husen Maskati. ***