Sebuah hadits Nabi mengingatkan untuk berhati-hati dengan kata-kata ataupun janji-janji yang dapat menyesatkan. Kesesatan dapat bersumber pada kata-kata, kebijakan, ataupun perilaku seorang pemimpin.
Abu Darda ra berkata: Telah memberi amanat kepada kami Rasulullah SAW: “Bahwa yang paling aku takuti atasmu ialah pemimpin yang menyesatkan.” (H.R. Ahmad).
Begitu bahayanya pemimpin yang menyesatkan, Abu Dzarrin ra pernah berkata: Aku pernah berjalan dengan Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: “Selain Dajjal yang paling aku takuti atas umatku“.
Beliau mengatakannya tiga kali. Kata Abu Dzarrin, aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang selain Dajjal yang paling engkau takuti atas ummatmu itu? Nabi SAW bersabda: Yaitu pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.” (H.R. Ahmad).
Dalam hadits di atas Rasulullah menyebut Dajjal ketika menjelaskan posisi pemimpin yang menyesatkan. Saat ini umat Nabi Muhammad umumnya tahu kalau Dajjal adalah sosok yang paling menyesatkan. Seolah hanya Dajjal satu-satunya sosok yang menyesatkan. Ternyata ada sosok lainnya selain Dajjal. Secara eksplisit Rasulullah menyebutkan pemimpin yang menyesatkan.
Di satu sisi seorang pemimpin mempunyai peluang yang luas untuk berbuat kebajikan yang lebih dari mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Tapi di sisi lain seorang pemimpin juga mempunyai peluang yang luas untuk berbuat kejahatan yang lebih dari mereka yang tidak mempunyai jabatan kepemimpinan. Oleh karena itu tepat seperti yang digambarkan oleh Hadits Rasul.
Dari Abi Hurairah ra berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Disodorkan padaku tiga golongan yang paling pertama masuk surga. Dan tiga gologan juga yang paling pertama masuk neraka. Adapun yang paling pertama masuk surga ialah: orang yang mati syahid, pemimpin yang adil dan selalu menjauhi yang haram, dan hamba sahaya yang baik ibadahnya kepada Allah dan selalu menasihati majikannya (tuannya). Adapun tiga golongan yang pertama masuk neraka ialah: Pemimpin yang menipu, hartawan yang tidak pernah memberikan kewajiban hartanya (zakat), dan orang yang fakir dan sombong.” (H.R. Damiri dan Ahmad).
Hadits di atas menggambarkan begitu beratnya beban seorang pemimpin. Begitu terhormatnya seorang pemimpin; tapi pada saat yang sama, begitu hinanya seorang pemimpin, terutama jika tak sanggup merawat amanah kepemimpinan yang dipikulnya.
Kini saatnya kita kembali pada cita-cita suci kepemimpinan umat. Lakukan yang terbaik untuk kepentingan seluruh masyarakat, tanpa membeda-bedakan golongan, lapisan, ataupun bahkan keberpihakan hanya atas dasar kepartaian.
Umat akan selalu menunggu perwujudan amanah, janji dan pengabdian para pemimpinnya. Umat juga akan menjadi saksi atas tindakan dan kebijakan yang mengedepankan kepentingan umat, atau justru sebaliknya cenderung pada kesewenang-wenangan.
Alquran menyampaikan kepada kita bahwa penguasaan aset yang melewati batas, pengambilan wewenang yang berlebihan, gairah nepotisme yang semakin terang-terangan, atau bahkan penghimpunan kekayaan untuk kepentingan segelintir orang.
Semuanya akan menjadi saksi yang tidak bisa diingkari atas Kemahaadilan Allah SWT kelak di saat terjadi perhitungan, yaitu saat ketika mulut tak lagi sanggup berbicara, hanya tangan dan kaki yang lantang memberikan kesaksian.
”Alyauma nakhtimu ‘alaa afwaahihim, wa tukallimunaa aidiihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanuu yaksibuun“. Itulah Yaumul Hisab (hari perhitungan) Al Mu’min:27, Yaumul Fathi (hari pengadilan) As Sajdah:29, Yaumul Hasroh (hari penyesalan) Maryam:39, Yaumul Taqhobun (hari terbukanya aib) At Taqhobun:9.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)