Oleh: Nurdiansyah (Pimred MAL Online)
PADA saat pembukaan Raodhah SIS Aljufri, Ahad (30/4) malam lalu, Ketua Utama Alkhairaat, Habib Alwi bin Saggaf Aljufri tidak berkesempatan hadir. Beliau diwakili kerabat keluarganya, Habib Abdullah Reza Hasan Aljufri. Tampilnya perwakilan itu, cukup menarik bagi saya. Sebab usianya masih muda- mungkin sekira di bawah 35 tahun- sebagai perwakilan dari pimpinan tertinggi dari Alkhairaat.
Tapi sebelumnya, maaf! Tulisan ini tidak bermaksud mengendorse Habib lulusan Universitas Al-Ahgaf Yaman itu, namun saya cuma ingin turut berbangga hati, kepada Ketua Utama mempercayakan anak muda untuk mewakili titahnya. Harapan saya selanjutnya, semangat kepercayaan kepada anak muda itu menjalar pada penyerahan amanah pada berbagai lini di lembaga Alkhairaat.
Keberadaan anak-anak muda potensial di Alkhairaat ini sangat besar. Sungguh, banyak lagi anak-anak muda yang bisa menjadi pelaku-pelaku penting dalam sejarah kepemimpinan maupun kepengurusan Alkhairaat kedepan, jikalau memang bersedia untuk itu.
Saya punya beberapa teman alumni Alkhairaat, menjadi alumnus kampus-kampus ternama baik dalam negeri maupun luar negeri, terutama timur tengah. Ada juga yang bahkan mengikuti beasiswa scholarship di Eropa dan Amerika. Namun sayang sepulangnya dari sana, mereka tidak terlibat di kelembagaan ini. Entah mungkin tidak terwadahi.
Selain itu, saya kira fenomena tumbuhnya organisasi majelis-majelis zikir, shalawat, atau ta’lim yang didominasi anak-anak muda, yang secara manhaj ke Alkhairaat, adalah sebab tidak terakomodirnya mereka hampir di semua kelembagaan ini. Maka dari itu mereka ingin berkontribusi untuk Alkhairaat lewat jalur lain, yaitu majelis-majelis tadi. Tak ada salahnya giring pula mereka ke wadah Alkhairaat baik lewat komisariat maupun badan otonomnya.
Pelibatan Abnaulkhairaat muda di masa depan rasa-rasanya sangatlah penting. Sebagai organisasi yang lama, Alkhairaat mesti bisa tetap relevan di setiap masa. Sebab di setiap masa, Alkhairaat pengurusnya harus memiliki narasi yang kuat dengan nilai-nilai yang kokoh sesuai dengan zamannya. Maka mengamanahi Alkhairaat ini pada mereka yang muda, menjadi keniscayaan. Kita tidak ingin Alkhairaat ini hanya sebagai pengikut zaman tanpa narasi dan nilai-nilai yang kuat, sebab jika begitu kita hanya bisa terseok-seok mengejar ketertinggalan dengan perubahan zaman itu sendiri.
“Likulli marhalatin mutaqallabatuha, likulli marhalatin muqtadhayyatuha, wa likulli marhalatin rijaluha.” (Setiap masa ada tuntutannya, setiap masa ada konsekuensinya, dan setiap masa ada pelakunya).
Semangat kepemimpinan dan kepengurusan di bawah anak muda perlu untuk direstorasi, sebagaimana bentuk awalnya dulu. Orang-orang penting di Alkhairaat, seperti Habib Saggaf dan Habib Abdillah Aljufri adalah tokoh-tokoh muda yang telah menjadi pemegang kendali organisasi kala itu. Habib Saggaf misalnya, pada usia yang masih belia yaitu 26 tahun, beliau sudah didaulat menjadi Ketua Umum PB Alkhairaat, dan menggantikan peran Ketua Utama Alkhairaat pada usia 38 tahun. Ketika Habib Saggaf memegang amanah Ketua Utama Alkhairaat, posisinya sebagai Ketua Umum PB Alkhairaat digantikan oleh adiknya, Habib Abdillah Aljufri, tiga tahun lebih muda darinya. Karena kala itu, rata-rata pengurus masih di bawah 50-an tahun. Salah satu contoh, adalah KH Rustam Arsyad sejak Muktamar pertama, dia sudah menjadi tokoh penting dalam setiap sesi perhelatan itu. Usia beliau kala itu masih 34 tahun.
Saat itu, tahun 1950-an belum ada dikotomi golongan/kelompok Islam tradisional dan modern. Alkhairaat dipandang sebagai perguruan yang progresif, sebab diisi oleh anak-anak muda. Padahal sebelum Muktamar I, perjalanan Pendidikan Alkhairaat sudah ada sejak belum merdeka, yaitu 1930, kurang lebih 26 tahun.
Kembali pada Alkhairaat sekarang, roda zaman berputar dengan cepat dan bisa melindas apa saja dan siapa saja yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahannya. Pendidikan saat ini sudah berbasis teknologi, metode/konsep/model pendidikan semakin inovatif, bahkan peran-peran ekonomi saat ini juga harus berbasis kreatifitas. Bahkan lagi, zaman ini hampir tidak lagi mengandalkan pengalaman, karena banyak hal baru dari sistem sosial yang sangat cepat dan membuat mereka yang berpengalaman termangu, karena tidak mampu mencerna anomali perkembangan ini. Maka kedepan atau bila masih ada kesempatan, kepengurusan komisariat wilayah, komisariat daerah, bolehlah diisi mereka-mereka yang masih muda.
Karena perubahan zaman itu, kita tidak bakal menduga bahwa bisa jadi eksekusi-eksekusi program berjalan dengan baik, justru dari anak-anak muda yang minim pengalaman.
Saya ingin mengingatkan sebuah kisah heroisnya anak muda di zaman Rasulullah S.A.W. Tentang semangat, tekad dua anak muda usia belasan tahun, Muadz bin Amr bin Jamuh R.A dan Muawwidz bin Afra’ R.A. Mereka ikut dalam Perang Badar, perang terbesar dalam sejarah Islam. Muadz usianya baru 14 tahun, dan Muawwidz 13 tahun.
Abdurrahman bin Auf R.A melihat keduanya ada dalam barisan peperangan terheran-heran, dan sempat menyangsikan. Sebab perang ini sangat berbahaya bagi mereka yang minim pengalaman. Abdurrahman merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua.
“Pada Perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.” (Shahih Al-Bukhari)
“Tiba-tiba salah seorang dari mereka berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda itu adalah adalah Muadz. Ia berasal dari kalangan Anshar, tentu belum pernah melihat Abu Jahal. Lantas Abdurrahman bin Auf pun bertanya kepada Muadz, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”
Muadz bin Amr bin Jamuh berkata:
“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci-maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas.”
Lalu seorang pemuda lain bertanya kepada Abdurrahman bin Auf:
“Seorang pemuda yang lain (Muawwidz bin Afra’ r.a.) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa. Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu. Itulah dia orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”
Saat itu Abu Jahal berada di tengah-tengah pasukan musyrikin dan dalam pengawalan ketat anak buahnya, yang semuanya orang-orang kuat dan terlatih dalam peperangan. Mereka menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Dan mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam (Abu Jahal)!”
Mendengar ultimatum itu, Muadz malah tambah bersemangat. Dalam sebuah riwayat, Muadz berkata, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya focus untuk mendekatinya (Abu Jahal). Ketika tiba waktunya, saya langsung mengdatanginya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”
“Pada perang itu, anaknya (Abu Jahal), Ikrimah (pada waktu itu masih musyrik) menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergelantung pada kulit saja.”
Karena tangannya hampir putus ia sampirkan di belakang. Namun karena situasi itu menyulitkannya. Muadz pun meminjak tangannya dengan kaki, lalu menariknya hingga tangannya terputus. Di tengah kepayahan itu, anak muda lainnya, Muawwidz bin Afra’ r.a, melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah. Ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal. Muadz berkata tentang teman seperjuangan ini:
“Lalu Muawwidz bin Afra’ melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”
Setelah Abu Jahal dibuat tidak berdaya oleh kedua anak muda itu, maka anggota pasukan lainnya, Abdullah bin Mas’ud r.a., datang untuk menghabisi Abu Jahal.
Kedua anak muda itu lalu menjumpai Rasulullah Saw sambil berseru, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah Saw bertanya, “Apakah kalian telah menghapus bercak darah yang menempel pada pedang kalian?” Rupanya darah itu belum dihapus.
Maka beliau Saw melihat kedua pedang itu lantas membenarkan, “Kalian berdua telah membunuhnya.”
Ibrah kisah epik ini tentu bukan mengajak pembaca untuk berperang, melainkan adalah segala perjuangan dalam Islam bahkan yang terbesar sekalipun–di segala bidang, justru ada pada anak muda yang mana kadang mereka diragukan karena minim pengalaman. Dengan semangat yang kokoh, ditambah kondisi fisik yang lebih baik memberikan peluang besar kepada mereka untuk dapat menjadikan organisasi/jamaah ini jauh lebih baik.
Sebagai sumbangsi saran saja, bila berkenan pasca Muktamar nanti, perlu ada revitalisasi pengurus. Pengurus Alkhairaat wilayah, daerah, maupun ranting di kisaran 25 tahun sampai 50-an tahun. Begitu juga di badan-badan otonom, seperti Wanita Islam Alkhairaat (WIA), Persatuan Guru Alkhairaat (PGA), dan Ikatan Alumni Alkhairaat (IKAAL) adalah mereka di kisaran usia yang sama 25 hingga 50-an tahun. Sedangkan para pengurus Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) dan Banaatulkhairaat dimulai sejak 18 tahun (tamat SMA/Aliyah) sampai 25 tahun (kuliah). Lalu di bawah usia 18 tahun adalah abnaulkhairaat yang terorganisir dalam Persatuan Pelajar Islam Alkhairaat (PPIA). Pembatasan usia ini agar kaderisasi pengurus dan pimpinan Alkhairaat berjalan dinamis.
Lalu kemana tokoh-tokoh tua yang masih ingin berkontribusi? Saya kira masih ada Dewan Pembina, Dewan Ulama, dan Dewan Pakar. Maka struktur itu usul saya sampai ke tingkat bawah pula, supaya tokoh tua tidak terabaikan dan tetap mengingatkan koridor-koridor kealkhairaatan.
Tuntutan dan konsekuensi setiap masa harus dipenuhi. Sebab jikalau kita gagal memenuhinya, berarti kita gagal juga menjadi pelaku sejarah di masanya. Mengerjakan agenda di masa kini, hampir semuanya tidak sama dengan cara seperti di masa lalu. Namun semua yang ada di masa lalu menjadi bahan penyempurnaan untuk masa kini dan yang akan datang. Wallahu’alam bissawab.***