PALU – Pemimpin ideal adalah mereka yang dinilai mampu mampu membaca fenomena global, nasional dan regional yang akan terjadi, khususnya 20 tahun ke depan.

“Saya lebih cenderung menyampaikan bahwa pemimpin ideal itu adalah pemimpin yang mampu melihat di balik bukit, bukan di depan bukit. Dia harus mampu menganalisis sesuatu yang akan terjadi,” kata Tenaga Ahli Budidaya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Kemaritiman dan Investasi (Marves), Dr Hasanuddin Atjo, saat menjadi narasumber diskusi “Format Ideal Kepemimpinan Sulteng 2024” yang digagas Forum Diskusi Pembangunan Sulteng (FDPS), Jumat (30/12) malam.

Menurut mantan Kepala Bappeda Sulteng itu, konsep pemimpin ideal itu adalah filosofi yang sederhana. Baginya, semua orang bisa melihat jika berada di depan bukit, namun tidak demikian jika di balik bukit.

“Kalau dari depan bukit itu bukan ideal. Yang kita cari adalah yang bisa melihat di balik bukit. Ada hambatan tapi dia bisa meneropong apa yang akan terjadi,” jelasnya.

Menurutnya, untuk menjadi pemimpin ideal tersebut, maka yang bersangkutan harus memiliki tiga hal, yaitu harus update, adaptif dan ketiga harus inovatif.

“Untuk mencapai itu, dia harus memiliki lima kapasitas, yaitu kompetensi, komitmen, konsistensi, koneksitas dan kecepatan,” terangnya.

Selanjutnya, kata dia, yang bersangkutan juga memiliki budaya kerja, di antaranya kerja cerdas, jadi bukan keras dulu tapi cerdas dulu barulah kerja keras, kerja keras, kerja mawas, dan kerja ikhlas.

Ia menegaskan bahwa kepemimpinan, bukan hanya bicara soal gubernur atau bupati, tetapi juga pemimpin universitas, bahkan kepala desa. Jadi kita bicara secara umum terkait format kepemimpinan.

Narasumber lainnya, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad) Palu, Prof Dr. Slamet Riyadi Cante, mengatakan, bicara format ideal kepemimpinan, resonansinya hampir sama dengan format kepemimpinan local, dalam artian adanya komponen strategis dalam proses rekrutmen, salah satunya adalah partai politik.

“Jadi parpol itu sebenarnya punya peran-peran yang strategis dalam mengusung figur pemimpin. Oleh karenanya, partai politik itu harus memiliki komitmen yang cukup tinggi dalam mengusung figur yang menjadi calon atau bakal calon pemimpin,” jelasnya.

Ia berpandangan bahwa hanya dua hal penting yang menjadi parameter dalam proses rekrutmen, yakni soal integritas dan kapasitas.

“Secara umum saya gambarkan bahwa negeri kita ini memang cenderung sedang terjadi krisis keteladanan. Selain juga krisis kenegarawanan. Jadi dua hal ini yang yang terjadi,” katanya.

Secara teori, kata dia, negarawan bisa memiliki pandangan terkait dengan kepentingan umum, dalam pengembangan ideologi juga jelas dan memiliki pemikiran yang lebih visioner.

Sementara itu, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr Ratna Dewi Pettalolo, mengatakan, untuk melahirkan seorang pemimpin tentunya harus melalui proses konstitusional, dalam hal ini Pemilihan Umum (Pemilu).

“Dan untuk melahirkan pemimpin ideal seperti pemimpin yang mampu melihat dari balik bukit, tentu sangat ditentukan oleh bagaimana proses melahirkan pemimpin itu sendiri. Tentunya harus melalui pemilu yang bersih, pemilu yang jujur, pemilu yang adil,” terang mantan Anggota Bawaslu RI itu.

Ia juga sepakat bahwa partai politik memiliki peran yang sangat penting dalam melahirkan pemimpin yang ideal. Secara aturan, partai politik menjadi aktor penting dalam memproduksi kepala daerah.

Sayangnya, kata dia, berdasarkan fakta dan terlihat secara kasat mata, saat ini telah terjadi pergeseran fungsi-fungsi partai politik, di mana proses kaderisasi sebagaimana fungsi partai politik tidak berjalan.

“Karena ternyata untuk menjadi kepala daerah itu tidak mudah. Ada proses transaksional antara pihak yang ingin menjadi calon dan partai politik sebagai pengendali utama,” ujarnya.

Menurutnya, fakta inilah yang menjadi salah satu penyumbang utama kenapa proses demokrasi atau pemilu belum bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas.

Ie menegaskan, pemimpin yang ideal tidak bisa lahir secara instan, tetapi harus melalui sebuah proses pembelajaran yang cukup panjang dalam rangka pembentukan karakter kepemimpinan seperti yang diharapkan.

“Tapi memang yang disayangkan, faktanya tidak demikian karena memang demokrasi kita ini kan sudah mengarah pada demokrasi kapitalis, semua dinilai dengan uang. Investasi sosial tidak cukup, harus ada investasi uang yang kemudian menjadi salah satu penyebab pemilu banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak berkualitas,” tambahnya.

Ia berharap, pemilu tidak melahirkan politisi, tapi melahirkan negarawan, karena negarawan pastinya akan memikirkan rakyat dan masa depan bangsanya. Beda dengan politisi yang hanya akan memikirkan bagaimana pemilu lima tahun yang akan datang,

“Jadi sejak dilantik sudah ada perencanaan bagaimana memenangkan kontestasi 5 tahun yang akan datang sehingga roda pemerintahan diarahkan bagaimana mempertahankan kekuasaan dan memenangkan kontestasi,” pungkasnya.

Sebagai pemateri terakhir, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Prof Dr Zainal Abidin, menyampaikan bahwa ada semacam keteladanan yang dilihat oleh masyarakat kepada pemimpinnya.

“Jika pemimpinnya tidak bisa memberikan keteladanan yang baik maka itu menjadi pelajaran bagi masyarakat,” katanya. (RIFAY)