Pemilu dalam Cengkeraman Media Sosial

oleh -
Ilustrasi. (media.alkhairaat.id)

OLEH:  Edi Lukito*

Pengguna media sosial di Indonesia terus mengalami peningkatan. Penulis melansir data Reportal, pada tahun 2023 terdapat total 167 juta warga Indonesia menggunakan internet dari total 278 juta warga, atau 74,06 % warga Indonesia menggunakan internet.

Angka tersebut naik, dibanding pada tahun 2019 yang hanya mencapai 61,83 %. Dari 167 juta warga pengguna internet, terdapat 158 juta pengguna yang berusia di atas 18 tahun, yang merupakan 79,8 % populasi.

Penggunaan media sosial yang cukup tinggi di Indonesia menyebabkan banyak aktivitas kehidupan dipengaruhi oleh internet, termasuk aktivitas besar kenegeraan seperti Pemilihan Umum (Pemilu).

Lebih lanjut, Sellita (seorang dosen hubungan internasional Universitas Jaya Baya) membuat penelitian ilmiah yang dipublikasikan melalui jurnal Lemhanas RI. Penelitian ilmiah tersebut berangkat dari hipotesis ”Peran media sosial pada tahun 2019 lebih besar daripada  tahun 2014”.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara kepada 10 responden yang dianggap ahli di bidang media sosial. Hasilnya menunjukkan, pada Pemilu 2019, sebanyak 90% responden menyatakan media sosial berpengaruh pada akrivitas Pemilu. Berbeda dengan tahun 2014, 70% responden menjawab media sosial tidak berpengaruh pada Pemilu.

Perbedaan signifikan tersebut dilatari oleh kuantitas penggunaan media sosial oleh masyarakat. Tren pengguna media sosial di Indonesia yang terus meningkat juga turut meningkatkan keterpengaruhan media sosial pada aktivitas Pemilu.

Dapat diproyeksikan pada Pemilu 2024 nanti, peran media sosial akan semakin meningkat karena diiringi pengguna yang juga meningkat, berdasar data yang telah penulis paparkan di awal. Lantas, peran apa yang dimainkan media sosial pada setiap Pemilu?

Media sosial saat ini menjadi alat yang sangat berpengaruh pada aktivitas pencitraan aktor politik, utamanya setiap menjelang Pemilu. Hadirnya media sosial dengan jangkauan luas dalam waktu yang singkat, membawa angin segar bagi para aktor politik untuk memanfaatkan media sosial sebagai media membangun citra diri dan media kampanye.

Namun, dibalik jangkauan luasnya, media sosial juga sangat identik dengan  kebebasan dan kemudahan. Inilah yang kemudian menjadi boomerang para aktor politik dalam aktivitas membangun citra melalui media sosial.

Melalui kebebasan dan kemudahan yang ditawarkan di media sosial para aktor politik beserta tim suksesnya secara serampangan melakukan pencitraan, tanpa memperhatikan kuantitas dan frekuensi pencitraan yang dilakukan.

Media sosial kandidat pemilu dan partai politik tak henti-hentinya mempertontonkan hal-hal yang berbau pencitraan. Sehingga makin lama masyarakat muak dengan berbagai citra yang ditampilkan.

Alih-alih pencitraan yang dilakukan akan menarik hati masyarakat, ternyata masyarakat  tidak menyukai pemimpin yang doyan pencitraan. Hal ini dikuatkan dengan riset yang dilakukan Laboratorium Riset Indonesia (LSI) tahun 2021 dengan tajuk menentukan pilihan pengganti Jokowi dan Parpol pada Pemilu 2024. Hasilnya sebanyak 70,3% tidak ingin pemimpin yang banyak pencitraan. Kemudian sisanya 29,7% ingin pemimpin yang melanjutkan program pro rakyat, serta melanjutkan pembangunan infarastruktur yang dilakukan Jokowi.

Di sisi lain, karena kebebasan di media sosial, lawan politik dari aktor yang melakukan pencitraan biasanya melakukan propaganda yang tidak sehat. Dengan menampilkan hal-hal yang bertolak belakang dengan citra yang sedang dibangun oleh aktor politik tersebut. Sehingga terjadi pengaburan citra yang sedang dibangun. Fenomena ini menjadi salah satu alasan  masyarakat antipati pada segala bentuk aktivitas pencitraan aktor politik di ruang publik, termasuk media sosial. 

Selain digunakan untuk menyerang dan mengaburkan citra lawan politik, media sosial juga digunakan secara masif untuk merekonstruksi citra buruk di masa lalu.

Seperti yang dilakukan Ferdinand ”Bongbong” Marcos Jr dalam Pilpres Filipina 9 Mei 2022 lalu. Bongbong merupakan anak mantan Presiden Filipina Fredinand Marcos Sr, yang dikenal sebagai pemimpin dikator dan sangat korup. Strategi Bongbong, sebagai salah satu calon presiden, untuk memenangkan Pilpres adalah merekonstruksi citra buruk keluarganya melalui media sosial.

Bongbong berserta tim pemenangnanya berusaha me-rebranding masa kekuasaan bapaknya sebagai masa kejayaan, kemakmuran, bebas kejahatan, dan zaman kebebasan. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan mengedit ratusan video mengenai kejayaan di masa kekuasaan ayahnya, lalu diunggah ke Youtube, kemudian dikirim ke halaman Facebook.

Informasi yang mengagungkan Marcos Sr dan mendukung Bongbong membanjiri halaman media sosial masyarakat Filipina menjelang Pemilu pada Mei 2022. Akhirnya, dengan usahanya mendistorsi sejarah melalui media sosial, ia keluar sebagai pemenangan Pilpres Filipina 2022.

Praktik yang dilakukan Bongbong dalam memanfaatkan media sosial dengan mendistorsi sejarah demi memuluskan tujuannya, merupakan praktik yang buruk. Namun, praktik itu merupakan kecerdasan Bongbong dan para propagandisnya dalam memanfaatkan kemajuan teknologi dan masifnya penggunaan internet.

Olehnya, praktik seperti yang dilakukan Bongbong akan marak ditiru oleh para aktor politik, meskipun dengan siasat dan pola berbeda.

Berkaca dari kejadian di Filipina, Indonesia yang saat ini tengah berada pada proses pemilu dan pilpres perlu mawas diri. Sebab, Indonesia dan Filipina saat pemilu sama-sama didominasi oleh pemilih muda yang mayoritas pengguna aktif internet.

Bukan hal yang tidak mungkin, strategi Bongbong akan dimainkan oleh para peserta pemilu maupun pilpres 2024 nanti

Agar tidak terjadi hal-hal buruk dari segala kemungkinan, dan demi melahirkan pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang kompeten dan berkualitas melalui pemilu, maka negara perlu melakukan internalisasi literasi digital kepada masyarakat.

Partisipasi masyarakat melalui aksi kritik konstruktif terhadap segala bentuk manipulasi yang terjadi di media sosial perlu untuk dilindungi dan dibentangkan lebih luas lagi. Terlebih mayoritas pemilih dalam pemilu 2024 nanti adalah pemilih muda/pemula yang perlu banyak diberikan edukasi.  Apabila tidak demikian, kejadian-kejadian politik yang terjadi di mancanegara hanya menjadi angin lalu, tanpa mengambil pelajaran apapun darinya.

Wal akhir, media sosial akan berdampak positif untuk menarik suara konstituen, tetapi jika dilakukan dengan frekuensi yang berlebihan, konstituen akan muak. Di sisi lain, media sosial juga dapat digunakan untuk menyerang lawan politik dan merekonstruksi citra buruk masa lalu.

Dengan menyadari hal ini, harapannya, masyarakat dan para aktor politik kontestan pemilu lebih bijak dan arif dalam memanfaatkan media sosial menjelang pemilu 2024. Agar pemilu menjadi gerbang kemajuan Indonesia di masa depan, tentunya melalui para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih nanti.

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo