PALU – Pemerintah Daerah Morowali Utara, merespon atas aksi demonstrasi yang dilakukan Serikat Petani Petasia Timur beberapa hari lalu, yang menuntut pengembalian hak lahan dari 4 desa oleh PT PT.Agro Nusa Abadi. Respon Pemda itu lewat undangan mediasi itu dilaksanakan pada Selasa (21/5).
Sekretaris Daerah Morut Musda Guntur memimpin rapat mediasi selama 4 jam. Rapat tersebut dihadiri oleh Eva Bande, Noval A. Saputra yang mendampingi Serikat Petani Petasia Timur, hadir juga Kepala Desa Tompira, Towara, Bungintumbe dan Bunta.
Dalam rapat mediasi melahirkan berita acara terdiri dari enam point yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Morut dan Kabag Pemerintahan Morut serta dilampirkan tanda tangan peserta rapat.
Beberapa point Berita Acara rapat mediasi tersebut di antaranya, Kepala Desa Tompira, Towara, Bungintimbe dan Bunta, agar membentuk tim verifikasi dan validasi data kepemilikan lahan masyarakat yang ditanami kelapa sawit oleh PT.Agro Nusa Abadi dengan melibatkan Serikat Petani Petasia Timur dan nama-nama anggota tim yang dibentuk melalui SK Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah nomor : 500.6.4.3/669/RO. HUKUM-G.ST/2023 serta pendampingan dari TNI dan POLRI
Tim yang dibentuk diberikan kesempatan bekerja paling lambat dua bulan terhitung sejak berita acara ini di tandatangani dan melaporkan hasilnya untuk di evaluasi oleh Pemerintah Kabupaten..
Sekretaris Daerah Morut, Musda Guntur mengatakan pemerintah berupaya menindaklanjuti dan merumuskan secara bersama-sama.
“Saya menekankan bahwa jika saat ini atau di kemudian hari ada pergeseran batas desa, itu tidak bisa menggeser atau menghilangkan hak keperdataan seseorang. Kemudian dari semua pernyataan yang disampaikan bahwa ada rantai penghubung yang putus yaitu tidak dilakukannya uji publik, ” tekannya.
Badan Pimpinan Serikat Petani Petasia Timur, Ambo Endre mengatakan pertemuan ini sebagai kritik atas proses reverifikasi dan revalidasi yang sedang berlangsung di beberapa desa, secara khusus yang sedang dibahas di Pemprov Sulteng yakni Desa Bunta.
“Kami menganggap prosesnya tidak dilakukan secara partisipatif dan transparan, sehingga langkah ini tidak terjadi pada desa-desa lainnya,” katanya.
Kordinator FRAS ST, Eva Bande memberikan apresiasi kepada Sekda Morowali Utara, yang sudah berani membuat langkah maju dan mengambil inisiatif untuk memimpin rapat mediasi tersebut.
“Kemudian status clean and clear yang sudah ditetapkan pada Desa Tompira dan Desa Towara seharusnya dicabut, karena belum memenuhi syarat dan ketentuannya. Misalnya memastikan bahwa objek penilaian, dalam hal ini tanah dengan segala sesuatu yang ada di atasnya, dalam kondisi clean and clear tidak adanya masalah tumpang tindih kepemilikan,” kata Eva.
Lalu, kata dia, penyelesaian dan penetapan tata batas desa harus menjadi prioritas Pemerintah Daerah Morowali Utara.
Anggota FRAS ST, Noval A. Saputra meminta Pemda Morut untuk tidak lagi menerbitkan Izin lokasi kepada PT.Agro Nusa Abadi, karena sebab Surat Keputusan Bupati Morowali Utara Nomor 503/15/IL/DPM-PTSPD/IX/2021 Tentang Izin Lokasi Untuk Keperluan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pendukung Sarana Lainnya di Desa Tompira, telah menjadi dasar oleh Polres Morowali Utara untuk menangkap dan menahan petani sawit atas nama Syahril selama 56 hari, dan akhirnya mereka dikeluarkan karena apa yang dituduhkan tidak bisa dibuktikan.
Mereka juga menawarkan skema resolusi konflik agraria kepada forum itu dan dibahas secara bersama-sama, bahwa tahapan-tahapan untuk melaksanakan resolusi konflik agraria haruslah egaliter, trasparan dan partisipatif. Sehingga idealnya, proses reverifikasi dan revalidasi yang tengah berlangsung dilakukan secara menyeluruh dan tidak parsial.
“Kemudian, dibutuhkan tim kerja kolaborasi antara Pemerintah Desa dan pihak Serikat Petani Petasia Timur dan mengevaluasi tim-tim desa yang telah bekerja melakukan reverifikasi dan revalidasi untuk mengedepankan asas keadilan dan asas keterbukaan,” tutupnya. ***