JAKARTA – Wakapolri Komjen Syafruddin mengecam tindakan represif yang dilakukan anak buahnya saat membubarkan ibu-ibu pengajian di Luwuk, beberapa waktu lalu. Dia bahkan mengancam akan mencopot Kapolres Banggai, AKBP Heru Pramukarno dan memidanakan pejabat daerah setempat.
Peristiwa itu terkait dengan eksekusi lahan di Tanjung Sari, Kota Luwuk, Kabupaten Banggai. Saat pelaksanaan eksekusi, aparat terhalang ibu-ibu majelis taklim yang tengah dzikir. Pembubaran dilakukan dengan cara menembakkan gas air mata, hingga akhirnya terjadi kericuhan.
“Kalau itu betul-betul kejadian yang sebenarnya hasil investigasi dari propam, akan saya copot kapolresnya,” ujar Syafruddin usai salat Jumat di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (23/03).
Syafruddin menyatakan, pihaknya telah menerjunkan tim Paminal Divisi Propam Polri untuk menyelidiki kasus tersebut. Ia mengaku mendapat laporan dari sejumlah elemen masyarakat terkait dugaan kesewenang-wenangan aparat ini. Diapun mengecam tindakan aparat.
“Yang membuat saya sangat reaktif karena kelihatannya tidak toleran. Pemerintah harus toleran terhadap masyarakat. Polri juga walaupun itu menegakkan hukum, tapi harus berkeadilan. Itu tidak sesuai dengan prosedur. Tidak boleh, tidak boleh pengajian dibubarkan dengan gas air mata,” tegas Syafruddin.
Meski begitu, jenderal bintang tiga tersebut lebih dulu akan menunggu hasil investigasi internal secara utuh untuk mengetahui kejadian sesungguhnya. Namun ia memastikan Polri bersikap objektif terkait peristiwa ini.
Di bagian lain, Ketua Fraksi NasDem DPRD Sulteng, Muh Masykur juga menyesalkan sikap pasif Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng dalam menyikapi kasus eksekusi lahan tersebut.
“Dengan dalih normatif kasus ini murni persoalan hukum sehingga pemerintah daerah tidak bisa bertindak dan manyelami situasi kebatinan warga Tanjung Sari, adalah merupakan sikap yang sangat mengiris hati warga, termasuk publik yang menyaksikan proses eksekusi tersebut,” ujar Masykur.
Sebanyak 1.411 jiwa warga terkesan dibiarkan mencari tempat perlindungan sendiri tanpa tempat berteduh dan bahan makanan dan minuman. Yang ada hanyalah solidaritas kelompok warga yang memiliki kepekaan social.
“Bagaimana dengan anak-anak dan balita yang ada di sana yang menjadi saksi atas kasus ini. Trauma yang berkepanjangan ini yang mestinya negara melalui pemerintah daerah tidak lepas tanggung jawab,” bebernya.
Menurutnya alangkah jauh lebih bijak dan beradab jika Pemprov dan Pemkab Banggai tidak meninggalkan warganya berjuang sendiri dalam mempertahankan alas hak yang dimiliki.
Paling tidak, kata dia, yang bisa dilakukan adalah melibatkan diri dalam melakukan upaya mediasi untuk jalan keluar yang lebih manusiawi.
“Atau paling tidak mengupayakan penundaan eksekusi, sebagaimana pengalaman sebelumnya yang pernah diupayakan disana,” katanya.
Masykur berharap segera diupayakan langkah-langkah rehabilitasi dan konseling serta pemenuhan kebutuhan mendesak warga korban di Tanjung Sari. (RIFAY/TEMPO)