PALU – Pembangunan Tanggul raksasa di sepanjang pantai Besusu di Teluk Palu, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu, mulai terasa dampaknya menggerus pendapatan nelayan setempat.
Pembangunan yang melibatkan berbagai jenis alat berat itu menghasilkan suara kebisingan. Nelayan setempat menilai hal itu mengganggu kehidupan bawah laut sampai jarak 100 bahkan 200 meter arah laut lepas, karena pembangunan itu terus berlangsung sejak pagi sampai tengah malam.
Dari pantauan Media Alkhairaat, suara kebisingan tidak hanya berasal dari alat berat yang dikerahkan, namun juga dari suara truck-truck yang keluar masuk untuk menurunkan batu-batu besar untuk menimbun bibir pantai Talise.
Hal itupun tidak hanya berlangsung sekali atau dua kali, melainkan bisa berkali-kali dalam sehari, sebab tanggul yang akan dibangun di sepanjang teluk Palu itu, memiliki ketinggian tiga meter dengan panjang 7,2 kilometer. Apalagi anggarannya menelan Rp250 Miliar bantuan dari Japan International Coorporation Agency (JICA) sebagaimana yang sudah beredar di kalangan masyarakat luas.
Dalam penjelasannya, seorang Nelayan Palu Anhar mengatakan, salah satu kesulitan yang kini dirasakannya saat melaut, harus lebih jauh ketengah-tengah. Tidak seperti biasanya yang relatif lebih dekat dengan bibir pantai.
“Sudah kurang tidak seperti sebelumnya, karena ada benturan-benturan alat berat itu ke bawah, jadi ikan sudah lari. Kalau sebelumnya itu ada sampai 10 kilo ikan dalam sehari, tapi sekarang ada yang kadang tidak sampai satu kilo lagi,” Ujar Anhar, Sabtu (18/4) di Palu.
Perbandingannya, pendapatan Anhar dalam mencari udang sebelum adanya pembangunan tanggul itu bisa mencapai Rp200 ribu dalam sehari, setelah masuknya pembangunan tanggul kearea mata pencahariannya itu pendapatannya tersisa antara Rp70-Rp100 rupiah dalam sehari.
Sedangkan bagi nelayan pencari ikan, dalam sehari biasanya dapat menghasilkan 10 kilogram ikan dengan harga jual Rp20 ribu/kilogram. Namun setelah masuknya proyek pasca bencana itu, nelayan bahkan hanya memperoleh ikan tak sampai satu kilogram.
Karenanya, Pria kelahiran 1981 itu meminta pada pihak Pemerintah serta yang menjalankan proyek tersebut, untuk tidak mempersulit cara mereka bertahan hidup di masa Pandemi virus Corona seperti saat ini.
Dia menyarankan Pamerintah melakukan pertemuan bersama para nelayan setempat, untuk membuat kesepakatan bersama dengan solusi-solusi terbaik.
“Kita ini sudah tinggal di Huntara kasian, jangan dipersulit lagi. Sama-sama kita cari makan juga. Artinya ayo kita bicara sama-sama bagaimana solusinya ini,” usulnya.
Sejatinya, menurut Anhar pihak yang menjalankan proyek tersebut telah melakukan pertemuan bersama nelayan setempat untuk membahas penyediaan space bagi nelayan menyimpan perahu/sampannya tanpa menghambat jalannya pembangunan tanggul tersebut.
Namun, disayangkannya dalam empat kali rapat pertemuan tersebut hanya menghadirkan beberapa nelayan saja, yang dinilainya telah memiliki hubungan bersama pihak yang menjalankan tender tanggul di Teluk Palu tersebut. Sehingga sejengkal-demi sejengkal tempat/space bagi nelayan untuk menambat perahu semakin sempit karena ditimbun batu-batu besar.
Padahal, Anhar menginginkan agar dalam mencari solusi itu wajib menghadirkan seluruh nelayan yang ada, agar solusi yang dihasilkan dapat mengakomodir seluruh pendapat nelayan setempat.
Anhar turut menegaskan bahwa apa yang dilakukannya bersama nelayan lainnya tersebut, bukanlah bentuk penolakan pembangunan tanggul silabeta di teluk Kota Palu, melainkan permohonan pertimbangan dari pihak yang berwenang untuk memperhatikan akses mereka pada mata pencahariannya sehari-hari.
“Tolong diperhatikan juga sampan-sampan kami ini, kalau kamu perhatikan tempat perahu ini tidak mungkin juga kami ganggu kamu kerja, tapi kata mereka ada tempat perahu cuman ini kan awalnya jadi hambur-hambur batu dulu, jadi kalau hambur-hambur batu dikemanakan kami ini?, jadi bukan penolakan tanggul,” Tegasnya Pria 39 tahun itu.(Faldi)