BUOL- Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dilakukan oleh PT. Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI) kepada 7 Koperasi dikantor PT. HIP Rabu (18/2) dan disaksikan oleh Perwakilan Pemda sebagaimana dikabarkan oleh salahsatu media lokal pada Kamis (20 /2) adalah upaya untuk menutup keburukan PT Hardaya Inti Plantations dalam mengelola kebun sawit kemitraan.

Kordinator Forum Petani Plasama Buol (FPPB),Sulawesi Tengah (Sulteng) Fatrisia Ain mengatakan, bahwa pembangunan Kemitraan perkebunan sawit di Buol antara PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) dengan 7 Koperasi (Amanah, Plasa, Bersama, Awal Baru, Bukit Piyonoto, Idaman dan Fisabililah), melibatkan 4.934 orang pemilik lahan seluas 6.764 hektar dimulai sejak 2008.

“Bahwa hubungan kemitraan pembangunan kebun sawit bukan dengan PT. UMKI tetapi dengan PT. HIP, sehingga pengalihan pengelolaan kebun kemitraan dari PT HIP kepada PT. UMKI hanyalah upaya mengkaburkan hubungan kemitraan dan upaya PT. HIP untuk lepas dari tuntutan petani pemilik lahan.

Selama ini PT. HIP mengelola kebun kemitraan dengan praktik sangat buruk. Para petani pemilik lahan peserta kemitraan tidak pernah diberikan bagi hasil kebun, sebaliknya justeru dibebani utang hingga Rp 590 miliar tidak dijelaskan asal dan penggunaannya, sementara hasil seluruh kebun kemitraan diambil oleh PT HIP. Perusahaan mengelola kebun dengan cara sangat tertutup.

“Praktik buruk pengelolaan kebun oleh PT. HIP telah dilaporkan kepada komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) Republik Indonesia dan telah terdapat putusan bahwa PT HIP secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 35 Ayat (1) Undang Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM dan Putusan KPPU tersebut dikuatkan oleh putusan pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan perkembangan terakhir PT. HIP tidak melakukan kasasi di Makamah Agung,” bebernya.

Hingga saat ini kata Fatrisia, PT. HIP tidak menjalankan sanksi dan perintah perbaikan. Salah satunya adalah audit keuangan mulai dari pembangunan kebun sampai 2023 untuk koperasi Amanah. Sementara Saat ini 6 koperasi lainya masih dalam proses pemeriksaan tahap awal oleh KPPU RI.

“PJ. Bupati Buol beserta pemerintah daerah yang menfasilitasi kerjasama dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) PT UKMI dengan Koperasi, di tengah kemitraan masih terikat secara hukum dengan PT. HIP dan sedang dalam masalah adalah keputusan keliru semakin memperumit penyelesaian konflik dalam kemitraan,” tuturnya.

Lebih lanjut kata Fatrisia,sebab peralihan pengelolaan kebun kemitraan kepada PT. UKMI semakin menutup langkah-langkah penyelesaian sedang diusahakan oleh para petani pemilik lahan. Pemerintahan Daerah Buol seharusnya bertanggungjawab dalam menyelesaikan masalah tersebut, dengan mendorong dilaksanakannya putusan KPPU.

Langkah PJ. Bupati bersama Pemda Buol, mewakili kepentingan PT. HIP, yang terus berupaya menguasai kebun kemitraan, dengan cara mengalihkan pengelolaan kebun kepada PT UKMI dimana perusahaan tersebut, baru didirikan 2023.

Pembagian SHU oleh PT. UKMI tidak sama sekali menyelesaikan akar masalah konflik kemitraan antara PT. HIP dengan para petani pemilik lahan, terlebih tidak dilakukan audit menyeluruh, meliputi keangotaan, audit pembangunan kebun, audit keuanan dan penyehatan koperasi karena dikuasai oleh pengurus yang tidak berpihak pada kepentingan petani pemilik lahan dan diduga terdapat pengurus koperasi melakukan penggelapan uang.

“Pembagian SHU oleh PT. UKMI baru dilakukan dua kali dan sangat jauh dari nilai kewajaran dan tidak semua koperasi mendapatkan SHU, setidaknya hal ini dialami oleh koperasi Plasa,” katanya.

Terlebih, kata Fatrisia, dalam pembagian SHU petani hanya mendapatkan bagian antara Rp 150.000 sampai dengan Rp. 300.000 setiap hektarnya, sementara harga sawit saat ini berkisar Rp.2.300/Kg, sehingga perusahaan hanya memberikan pembagian hasil kebun kepada petani pemilik lahan antara 65 kg-130 kg per hektar per bulannya, sementara dalam satu hektar terdapat sekitar 136 pohon sawit dan dapat dipanen 2-3 kali dalam satu bulan, sehingga pembagian uang Rp. 150.000 – Rp. 300.000, per hektar kepada petani pemilik lahan setara antara 3-6 tandan Buah Sawit (TBS) dalam satu hektar.

“Dari sini sangat terang memperlihatkan begitu sangat tidak adil dalam pembagian hasil kebun kemitraan diberikan oleh perusahaan, Sehingga sangat wajar para pemilik lahan menuntut lahan dan sertifikat mereka dikembalikan,”katanya.

Reporter : IKRAM