Hati ibu mana yang tak marah melihat seorang anak perempuan tak berdaya, dikelilingi beberapa perempuan sebayanya yang sedang membully-nya habis-habisan.
Mereka, teman sekelasnya itu bahkan nekat berbuat di luar batas kewajaran, menjambak, menampar, bahkan memeloroti hampir semua pakaian yang dikenakan si anak perempuan itu.
Dia tak berdaya menghadapi tiga anak yang bergantian meneriakinya dengan kata-kata kasar.
Sebuah tontotan kontroversi baru-baru ini ramai di jagad maya. Kasus bullying kembali terjadi di kalangan anak. Korbannya usia anak, begitupun pelakunya. Mereka sama-sama sekolah di MTs Desa Sumari, Kabupaten Donggala.
Peristiwa ini tentu menyisakan luka yang mendalam. Terlebih bagi korban yang diketahui berstatus yatim. Begitu juga dengan sang ibu, hatinya tentu teriris, sehingga ia dikabarkan enggan berdamai, meskipun kasusnya sudah di tangan kepolisian.
Namun di balik rasa marah itu, kita perlu berhenti sejenak untuk melihat peristiwa ini secara lebih jernih. Yang terlibat bukanlah orang dewasa, tapi anak-anak yang notabene masih memiliki masa depan yang perlu dijaga.
Korban jelas membutuhkan dukungan agar bisa kembali bangkit, sementara para pelaku pun, betapapun salahnya mereka, tetap memiliki hak sebagai anak yang perlu dibina, bukan dimusnahkan masa depannya.
Bagi korban, empati masyarakat seharusnya hadir dalam bentuk penguatan. Ia tidak butuh belas kasihan yang berlebihan, apalagi publisitas yang justru memperpanjang traumanya.
Yang ia butuhkan adalah rasa aman, dukungan psikologis, dan jaminan bahwa sekolah serta lingkungannya tidak akan membiarkan peristiwa serupa terulang.
Sebagai anak yatim, ia sudah kehilangan salah satu penopang hidupnya. Jangan sampai ia juga kehilangan harapan hanya karena rasa takut dan stigma yang melekat.
Di sisi lain, para pelaku kini menghadapi gelombang hukuman sosial yang tidak kalah keras.
Setelah dikeluarkan dari sekolah, mereka kini menjadi sasaran hujatan di media sosial. Ada yang menyebut mereka tidak pantas lagi bersekolah, ada pula yang menuntut hukuman seberat-beratnya.
Padahal, sebagian dari mereka juga anak yatim, yang sebenarnya sama-sama rapuh dan membutuhkan bimbingan. Jika hujatan itu terus dibiarkan, kita sedang menciptakan bentuk perundungan baru, yang bisa jauh lebih menghancurkan.
Ada selentingan kabar yang terungkap bahwa di antara tiga anak itu sering pingsan tak kuat menghadapi tekanan sosial dari netizen dan lingkungannya.
Bahkan ada juga yang sempat berkata “tidak ada lagi gunanya hidup kalau begini”
Ini miris. Masyarakat perlu menyadari bahwa menghukum anak dengan cara mengucilkannya tidak akan membawa perubahan.
Anak-anak yang tersisih justru berisiko tumbuh dengan rasa dendam, kehilangan kepercayaan diri, bahkan menutup pintu bagi masa depan mereka sendiri.
Hukuman yang keras tanpa ruang perbaikan hanya akan melahirkan generasi yang patah, bukan generasi yang belajar dari kesalahan.
Di sinilah seharusnya media dan masyarakat mengambil peran yang lebih bijak. Media bisa hadir sebagai ruang edukasi, bukan sensasi.
Alih-alih terus menyorot video perundungan, lebih baik menghadirkan diskusi tentang bagaimana sekolah membangun budaya anti-bullying, bagaimana pemerintah daerah bisa memberikan perlindungan, dan bagaimana masyarakat dapat menumbuhkan empati terhadap semua anak.
Masyarakat pun harus berhati-hati dalam bersuara. Mengutuk perilaku bullying memang perlu, tetapi jangan sampai kemarahan berubah menjadi perundungan baru. Boleh jadi, tekanan mental yang dirasakan para pelaku, justru lebih parah dari yang dialami korban.
Jika kondisinya terus berlarut, bukankah status pelaku ini juga akan berubah menjadi korban?
Sementara di sisi korban sendiri, tentu dari awal pasti selalu mendapat support dari banyak orang. Tapi bagi pelaku yang berubah menjadi korban, akan sulit mendapatkan empati, bahkan di lingkungan baru sekalipun.
Setiap anak, baik korban maupun pelaku, tetaplah amanah. Mereka tidak dilahirkan untuk menjadi bahan hujatan, tetapi untuk dibimbing agar tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa menyelamatkan anak berarti menyelamatkan generasi.
Korban perlu dukungan agar kuat menghadapi masa depan, pelaku perlu ruang pembinaan agar belajar dari kesalahan.
Jangan biarkan satu peristiwa salah langkah menghancurkan jalan panjang kehidupan mereka. Anak-anak adalah titipan, dan tugas kitalah melindungi mereka dengan kasih sayang, bukan dengan kebencian, atau bahkan mengucilkan dari kehidupan sosial.