MUKTAMAR ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Lampung, pada 23-25 Desember 2021 kemarin berjalan dengan lancar. KH. Miftahul Akhyar terpilih sebagai Rais Aam dan KH. Yahya Cholil Staquf ditetapkan menjadi Ketua Umum PBNU periode 2021-2026.
Seiring berjalannya Muktamar tersebut, meninggalkan banyak pelajaran berharga bagi para peserta Muktamar yang kembali ke kampung asalnya. Lebih-lebih lagi pelajaran bagi mereka yang memiliki keterlibatan penting di dalam suksesi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Dewan Pakar Alkhairaat, yakni Prof. Dr. H. Zainal Abidin yang masuk dalam jajaran 9 ulama Ahlul Halli wal Aqdi atau Ahwa.
“Saya merasa terharu. Dan dalam melaksanakan amanah ini dengan baik sesuai dengan harapan Muktamirin (peserta muktamar). Apalagi di antara 9 itu saya lah yang paling muda. Di sana juga ada wakil presiden Indonesia dan beberapa Ulama sepuh lainnya” ungkap Prof. Dr. H. Zainal Abidin, Ahad, (26/12) siang.
Prof Zainal menerangkan pelajaran penting yang ia dapatkan ketika mengikuti rapat sidang Ahwa. Sebanyak 9 anggota Ahwa memperlihatkan akhlak yang luarbiasa dan penuh dengan kesantunan dan keadaban. Yang tua menghormati yang muda begitu pun sebaliknya. Bahkan tambah dia, saat memilih pimpinan rapat sidang antara ulama satu dan lainnya memperlihatkan ketinggian adab ulama-ulama di NU.
“Kalau saya lihat situasi dan sidang Ahwa penuh dengan kesantunan dan keadaban dalam suasana rapat itu. Karena tidak ada yang mau menjadi pimpinan rapat, Kiyai Ma’ruf Amin langsung mengambil alih dan menjadi pimpinan rapat,” terangnya.
Ketua MUI Kota Palu ini menambahkan, kejadian tersebut menjadi pelajaran berharga kepada diri pribadi. Dan tentu lanjutnya apa yang telah diamanahkan telah dilaksankan dengan penuh tanggungjawab. Yakni memilih pemimpin tertinggi organisasi atau Rais Aam di tubuh organisasi Islam terbesar di dunia itu.
Lebih jauh ia menjelaskan, peran Rais Aam di Syuriah NU, bertugas membahas masalah-masalah keagamaan, hal-hal yang baru yang berkaitan dengan fatwa keagamaan. Sementara untuk Ketua Umum PBNU atau tanfidziyah kebanyakan bertugas sebagai pelaksana program kerja organisasi.
“Yang melaksanakan program kerja itu kebanyakan adalah tanfiziyah. Sementara di Syuriyah itu kebanyakan mengenai masalah masalah agama, fatwa keagamaan dan hal-hal baru biasanya didiskusinya di bagian Syuriyah” imbuhnya.
Ia juga mengatakan, peran dirinya dalam Muktamar NU bukan karena kemampuan pribadi. Tetapi sebagai representasi dari ormas terbesar di kawasan timur Indonesia Alkhairaat. Karena menurut dia, antara NU dan Alkhairaat memiliki banyak kesamaan.
Ia juga berharap jejaknya sebagai tokoh ulama yang masuk dalam level nasional dapat dilampaui ulama-ulama lain di Sulawesi Tengah.
“Apalah Zainal Abidin ini dengan ulama-ulama khas yang ada di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Apalagi basis NU ini di sana semua,” pungkasnya.
Reporter: Nanang IP
Editor: Nanang RL