OLEH: Jamrin Abubakar*

PELABUHAN Donggala bukan sekadar tempat kapal berlabuh. Bukan pula hanya tempat bongkar-muat barang kiriman maupun yang datang dari luar. Melainkan sebuah warisan sejarah yang memiliki latar belakang “politik” cukup menonjol, selain kepentingan sosial ekonomi.

Bagi sebagian warga Kota Donggala, bicara pelabuhan sesuatu yang kadang bermuatan politik. Sebab setiap momentum pemilihan kepala daerah baik bupati maupun gubernur, isu pelabuhan selalu jadi wacana.

Tokoh-tokoh politik paling sering menjadikan pelabuhan sebagai bahan janji politik dengan mengatakan bahwa kalau terpilih, akan membangkitkan kembali kejayaan Pelabuhan Donggala seperti di masa lampau.

Dijadikannya ajang janji politik itu sudah cukup lama, bahkan sebelum  reformasi hingga saat ini. Selalu saja jadi wacana seksi ketika musim pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Terakhir adalah saat Kasman Lassa mencalonkan bupati tahun 2013 telah menjadikan pelabuhan sebagai janji utama untuk dikembalikan seperti dahulu. Anehnya, masyarakat pun kesekian kalinya dijadikan objek janji, selalu saja percaya.

Walau pada akhirnya hampir sepuluh tahun menjabat, jauh dari realisasi dan harapan. Akan mendatangkan kapal PELNI dengan rute menghubungkan beberapa pelabuhan, hingga kini tak pernah nyata.

Bagi sebagian masyarakat kota Donggala, pelabuhan ibarat roh sosial budaya. Bagai denyut nadi kehidupan perekonomian yang turun temurun telah memakmurkan ribuan warga kota.

Dulu, sebelum aktivitas utama pelabuhan dipindahkan ke Pantoloan, kota Donggala memilik magnet luar biasa. Ada ribuan orang datang dan pergi melalui pelabuhan mencari penghidupan dan kemakmuran di kota itu. Kota kecil ini jadi gerbang yang ramai.

Bayangkan saja di kota ini pernah memiliki tiga gedung bioskop masing-masing berkapasitas dua ratus orang. Tetapi tidak cukup mewadahi penonton sehingga sering satu film dua kali tayang dalam sehari selama sepekan.

Ratusan toko berederetan di tengah kota dan pasar siang dan malam tak pernah sepi. Ada ratusan warung mengisi keramaian kota. Transportasi mobil sedan antara Donggala-Palu setiap hari mencapai tiga ratus unit tapi tidak cukup, itu karena mobilitas warga begitu tinggi. Ratusan anak sekolah datang ke kota itu menempuh pendidikan. Mereka berasal dari kampung di sepanjang wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala hingga dari wilayah Pasangkayu. Bahkan banyak yang dari Palu tinggal di Donggala untuk sekolah, utamanya pada dekade 1950-an.

Namun pada akhirnya, masa keemasan itu redup seketika saat pusat pelabuhan dipindahkan ke Pantoloan secara resmi pada awal 1980-an.

Pelabuhan Pantoloan sendiri diresmikan tahun 1978 seiring pembentukan Kota Administratif Palu. Waktu itu Pantoloan masih  perpanjangan dari pelabuhan Donggala, kemudian terbalik dimana Pantoloan jadi pusat dengan menjadikan Donggala hanya wilayah kerja (wilker) sampai saat ini.

Secara historis keberadaan pelabuhan Donggala sudah dikenal sejak berabad-abad silam. Ditandai kedatangan kapal dari negeri China sejak abad ke-13 sesuai Catatan Navigasi China (J.V.Mils, 1979).

Selanjutkan kapal-kapal dari Gujarat, Arab, Eropa seperti Portugis, Denmark, Belanda berdatangan untuk urusan dagang. Bahkan  Belanda menjadikan Donggala pusat pemerintahan Sulawesi Tengah. Semua itu berawal adanya pelabuhan.

Pasang surutnya aktivitas pelabuhan Donggala, maka pasang-surut pula kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Pasang-surut seperti air laut, kadang naik dan kadang turun di antara gelombang.

Gairah sedikit kembali berdenyut setelah bencana gempa bumi dan tsunami 2018. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, urusan pelabuhan kembali jadi pembicaraan paling seksi berujung polemik melibatkan publik hingga wakil rakyat dan pemerintah. Penyebabnya, pelabuhan akan dikembangkan, namun bukan pada induk pelabuhan lama, melainkan bergeser ke Anjungan Gonenggati yang telah dijadikan kawasan wisata kota.

Pemkab Donggala menghibahkan kawasan itu ke Kementerian Perhubungan RI melalui KSOP Teluk Palu. Tinggal pengesahannya melalui persetujuan DPRD Kabupaten Donggala yang saat ini sedang disiapkan.

***

Pasang-surutnya pelabuhan terakhir ditandai pula pernah memiliki status UPP (Unit Penyelenggara Pelabuhan) selama tiga tahun (2016-2019). Kemudian dijadikan lagi wilker sejak perubahan KSOP Pantoloan menjadi KSOP Kelas II Teluk Palu di dalamnya termasuk Pantoloan dan Wani sejak tahun 2020.

Persoalan regulasi dan administrasi cukup lama pula mewarnai pergulatan secara pasang-surut. Artinya tidak ada lagi sebutan Pelabuhan Donggala, Wani dan Pantoloan, semua kawasan di dalamnya disebut Teluk Palu.

Nama Donggala dihilangkan secara administratif maupun historis dan secara otoritas. Fathurahman Mansur, mantan dosen Fakultas Teknik UNTAD menyebut hal ini sebagai “Pantoloanisasi” Donggala.

*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya/Wartawan Senior Media Alkhairaat