Kota Donggala dengan pelabuhannya pernah mengalami kejayaan. Memiliki hubungan dagang ke berbagai kota di Indonesia dan negara-negara asing.
Kapal barang ekspor dan impor serta kapal penumpang setelah kemerdekaan, ibarat gerbang utama Sulawesi Tengah paling strategis secara geografis.
Memiliki akses perdagangan sejak lama dengan kota pelabuhan besar seperti Makassar, Surabaya, Jakarta, Samarinda dan Balikpapan.
Ada banyak kapal berkapasitas ribuan ton masuk pelabuhan Donggala, di antaranya Belle Abeto kapal Panama berbendera Hongkong, Kapal Kwan Maru, Hakusan Maru (keduanya kapal penumpang milik Jepang) dan beberapa kapal penumpang memiliki rute pelayaran antarpulau dikelola PELNI.
Sejak zaman Hindia Belanda hingga awal 1970-an, kapal pengangkut calon jamaah haji Sulawesi Tengah masih melalui Pelabuhan Donggala dengan rute Makassar menuju Jeddah, Arab Saudi.
Pengangkutan calon jamaah haji terakhir di Belle Abeto. Masa itu, setiap pemberangkatan belum mencapai ribuan dari Sulawesi Tengah. Pada tahun 1972 misalnya, jemaah haji asal Sulawesi Tengah dimuat Belle Abeto sebanyak 747 orang (Mingguan Umum Alchairaat, Nomor 22 Thn I Minggu ke-III Feb. 1972).
Masa ini dermaga pelabuhan masih sangat sederhana, lantai dermaga terbuat dari bahan kayu dan kapal berkapasitas 2000 ton belum bisa merapat. Barang dan penumpang yang akan diturunkan melalui perantara berupa tongkang maupun tagboad dari kapal yang berlabuh kemudian dibawa ke dermaga.
Demikian sebaliknya, suasana pelabuhan selalu ramai dengan melibatkan ratusan buruh di bagian laut maupun bagian darat (pergudangan).
Masa ini pula di Maleni (Kilo Dua) didirikan pabrik sabun cuci batangan dan pabrik minyak kelapa milik seorang pengusaha keluarga Wisma Rame Donggala, cuma saja tidak lama bertahan.
Booming kopra masih berjaya menjadi penopang utama ekonomi petani maupun masyarakat di hampir seluruh kota di Sulawesi, baik Provinsi Sulawesi Utara-Tengah maupun Sulawesi Selatan-Tenggara.
Dalam buku Baramuli Menggugat Politik Zaman tulisan Julius Pour (2000), menyebutkan, masalah kopra bahkan menimbulkan konflik dan kencemburuan dalam pengelolaan antara pemerintah pusat dan daerah. Tidak pernah terjadi kesepakatan dalam ketentuan pembagian hasil ekspor. Sulawesi sebagai penghasil kopra menghendaki ketentuan 70 persen bagi hasil untuk daerah dan 30 persen untuk pemerintah pusat, namun tidak terealisasi.
Persoalan itu pula menjadi salah satu pemicu munculnya Permesta yang didukung militer.
Melimpahnya kopra di Donggala menjadi salah satu pemasok utama selain daerah Minahasa waktu itu masih satu provinsi dalam masa awal A.A. Baramuli menjabat Gubernur Sulawesi Utara-Tengah, menjadikan Donggala salah satu daerah kunjungan tahun 1961.
Kedatangan Baramuli melalui kapal laut dengan berlabuh di Pelabuhan Donggala, selanjutnya disambut meriah oleh masyarakat bersama Bupati Donggala waktu itu D.M. Lamakarate dan Ticoalu selaku Residen yang dilanjutkan pertemuan dengan seluruh elemen masyarakat.
Kekuatan potensi alam dan perekonomian cukup memadai, masyarakat Donggala menjadi bagian yang mendorong pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah pisah dari Provinsi Sulawesi Utara-Tengah yang berpusat di Manado.
Pada awal 50-an tokoh-tokoh politik dan pemuda Donggala atas nama Sulawesi Tengah mulai memperjuangkan untuk berdirinya sebuah provinsi mandiri. Pada tahun 1958 atas nama atlet Sulteng mulai mengikuti beberapa cabang olah raga pada Pekan Olah Raga Nasional (PON) IV di Makassar.
Perjuangan makin gencar dilakukan melalui organisasi masyarakat maupun diplomasi olah raga dengan diikutkannya atlet-atlet asal Donggala ke dalam PON V di Bandung, Jawa Barat tahun 1961.
Perjuangan pembentukan provinsi otonom ini mendapat sokongan kuat secara moril maupun materil berupa dana dari sejumlah pihak, terutama mereka terlibat dalam pekerjaan di lingkungan pelabuhan.
Transportasi laut yang lancar dengan dukungan dana, rombongan PON atas nama Sulteng dengan naik K.M. Lematang dari Pelabuhan Donggala menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surbaya mencapai 300 orang naik kereta api ke Bandung.
Disebut masa kejayaan (terutama perdagangan kopra) karena hampir seluruh lini kehidupan sosial ekonomi, politik dan budaya, pelabuhan memiliki peran penting. Termasuk penyokong pengembangan pendidikan seperti Yayasan Pendidikan Pengajaran Islam (YPPI) Donggala.
YPPI dirintis tahun 1952 mulanya tingkat Ibtidaiyah atau setara sekolah dasar. Tahun 1955 dibuatkan akte pendirian sebagai pengakuan status dalam bentuk badan hukum yang terealisasi pada tahun 1959. Dua tokoh namanya tercatat dalam akte menghadap ke Bupati Donggala, Bidin di Palu waktu itu yakni Palangkey sebagai kepala sekolah dan Husen Badjamal tokoh masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan.
Guru pertama saat pendirian YPPI selain Palangkey dan istrinya, juga dibantu oleh Zubaidah Yunus, tokoh perempuan Donggala masa itu. Sekolah tersebut mendapat sokongan dari kaum buruh maupun mandor yang bekerja di pelabuhan dan sebaliknya banyak orang tua asal Pantai Barat berprofesi petani dan pedagang kopra menyekolahkan anaknya di YPPI.
Kejayaan sekolah ini berlangsung hingga awal dekade 1990-an, ditandai masih adanya tingkatan SMP. Pertengahan 1990-an tingkat SMP sudah tutup, kecuali tingkat Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar masih bertahan sampai sekarang.
Perdagangan antarpulau yang mulai bangkit kembali, terutama hasil perdagangan kopra terus menjadi unggulan ekspor dari pelabuhan Donggala. Namun di satu sisi penyelundupan kopra ke Tawau, Malaysia pada dekade 50-an itu semakin gencar pula, terutama kopra dari kawasan Pantai Barat bagian utara Kabupaten Donggala yang saat itu termasuk wilayah Tolitoli.
Penyelundupan kopra serupa marak dilakukan dari daerah yang kini masuk Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat dilakukan pelaut tradisional hanya memakai layar maupun dilakukan kelompok DI/TII milisi Sulawesi Tengah bagian barat.
Pada pertengahan dekade 50-an hingga awal dekade 60-an keterlibatan DI/TII dalam penyelundupan kopra ke Tawau cukup besar sebagai upaya modal perjuangan. Mereka ke Tawau membawa kopra kemudian kembali membawa logistik berupa makanan, pakaian dan persenjataan untuk bergerilya di Sulteng dibawah pimpinan Mohammad Noor Rasyid.
Keberadaan DI/TII di wilayah Donggala, berpengaruh terhadap aktivitas pelabuhan yang masa itu para petugas selalu waspada, sulit diidentifikasi di antara banyak pelaut/pedagang, kemungkinan di antara mereka adalah DI/TII. Apalagi sering terjadi pembakaran kampung membuat suasana mencekam, seperti kampung Towale dan Limboro pernah dibakar gerombolan DI/TII sehingga warga mengungsi dan kembali setelah aman.
Dari pengalaman kejayaan dan pergolakan yang membuat pelabuhan pasang-surut, kini kota itu secara perlahan mulai bangkit. Setiap sekali sepekan dalam beberapa bulan ini mulai dikunjungi kapalperintis menghubungkan Donggala-Tolitoli, Balikpapan dan beberapa kotadi Kaltim.
Selain itu pembangunan revitalisasi pelabuhan yang sedang berlangsung, menjadi harapan kebangkitan ekonomi masa depan. Apalagi penetapan Donggala sebagai daerah penyangga pangan nasional untuk ibu kota baru Indonesia, menjadi peluang kembalinya kejayaan Pelabuhan Donggala.
Penulis : Jamrin AB