PALU- Jurnalisme warga menjadi harapan dalam kehidupan berdemokrasi seiring penerbitan pers dominan telah bergeser ke arah komersialisasi.
Hal itu diutarakan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Yardin Hasan saat menggelar pelatihan jurnalistik bertajuk “Jurnalisme Hijau untuk Menyelamatkan Lingkungan dan Peradaban”, Jumat (5/8).
Kegiatan tersebut diikuti sejumlah pegiat dan aktivis lingkungan tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) dan jaringannya.
Pelatihan jurnalistik ini rencananya berlangsung hingga besok, Sabtu (6/8/2022) di Sekretariat Walhi Sulteng, Jalan Sawerigading 3, Kelurahan Tanamonindi, Kota Palu.
Direktur Walhi Sulteng Sunardi Katili dalam sambutannya, menegaskan perlu mempelajari kerja Jurnalis dalam mengadvokasi atau menginformasikan berita dengan baik pada publik.
“Tentu dari pelatihan ini akan dibekali pengetahuan tentang bagaimana menuliskan pemberitaan sehingga tersampikan dengan baik ke publik dan pemerintah. Tentu ada banyak yang bisa kita lihat tentang kerusakan ekologi dan perlu diinformasikan,” kata Sunardi Katili.
Hari pertama, para peserta dibekali dengan materi tentang jurnalis warga dan kode etik Jurnalistik. Di hari kedua rencananya akan lebih banyak praktek di Lapangan.
Yardin mengatakan, jurnalis warga dan wartawan media arus utama memiliki peran yang sama saat mengabarkan suatu informasi dalam bentuk produk jurnalistik.
Istilah jurnalisme warga ini muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi dan meningkatnya penggunaan media online.
“Setiap orang yang melaporkan peristiwa yang menyangkut kepentingan publik dapat sebagai pewarta,” ujarnya, dalam keterangan tertulis diterima MAL Online.
Yardin mengilustrasikan bahwa konten- konten jurnalisme warga melalui berbagai platfiorm media sosial telah menjadi ‘pilar demokrasi. Sebab, kata dia, pilar demokrasi lainnya seperti eksekutif, legislatif, yudikatif khususnya pers tidak lagi sesuai dengan harapan ideal kebanyakan orang.
Alih-alih menjadi fungsi kontrol sosial yang efektif, orientasi pemberitaan justru menampilkan isi yang lebih mengundang pemasukan atau profit.
Kondisi ini kemudian berimbas pada idealisme wartawan, tak bisa lagi memuat hasil liputan investigasi ketika berbenturan dengan kepentingan pemilik media sebagai atasan.
“Ini dilema dan memang menyedihkan. Saya bisa saja idealis berbicara begini sebagai Ketua AJI Palu. Namun ketika kembali ke ruang redaksi, sikap itu bisa jadi berubah. Sebab saya dan wartawan-wartawan di media arus utama terikat dengan aturan-aturan perusahaan,” jelas Yardin.
Meski demikian, bukan berarti media lalu kehilangan kekuatannya. Terdapat banyak kasus yang terungkap karena penciuman media, seperti korupsi, terorisme, asusila dan kejahatan lainnya.
Di antara persinggungan naluri dasar dan kepentingan perusahaan inilah membuat posisi jurnalisme warga menjadi penting demi menjaga kehidupan demokrasi.
Di sisi lain, Yardin menegaskan terdapat perbedaan mendasar dalam koridor perundang-undangan antara media arus utama dan jurnalisme warga.
Dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, media arus utama atau wartawan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sementara jurnalis warga bisa dijerat UU Informasi dan Transaksi (ITE) jika produk jurnalistiknya dianggap merugikan pihak atau kelompok tertentu.
Perbedaan mekanisme hukum ini secara otomatis berimplikasi pada proses penyelesaian sengketa karya jurnalistik.
“Jurnalis tidak bisa serta merta dipidanakan selama menyangkut dengan pemberitaan. Prosedurnya mesti lewat hak jawab atau hak koreksi. Ketika ada pelanggaran kode etik jurnalistik, maka kasusnya dilimpahkan ke Dewan Pers. Sebaliknya, berita produk jurnalisme warga bisa dipidanakan akibat UU ITE. Sehingga contohnya soal isu lingkungan, berita yang disampaikan harus berbasis data dan mempedomani kode etik jurnalistik,” tegas Yardin.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG