OLEH: Sahran Raden*

Tulisan ini hendak menganalisis prespektif hukum terhadap putusan Mahkamah Agung  terkait dengan Yudisial Reviu atau uji materi Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD Pemilu 2019 yang diajukan terhadap UU 7 tahun  2017 tentang Pemilu  oleh   Ousman Sapta Odang ( Oso)  kepada Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung selanjutnya mengabulkan permohonan OSO dan memerintahkan kepada KPU untuk memasukan OSO kedalam calon Anggota DPD Daerah Pemilihan Kalimantan Barat.

Selain mengajukan gugatan ke MA, OSO juga melakukan gugatan atas putusan KPU ke PTUN.

‌KPU mencoret OSO sebagai calon anggota DPD lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik. OSO dianggap masih tercatat sebagai anggota partai politik. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik.

PATALOGI HUKUM

Istilah patologi pada dasarnya merupakan disiplin ilmu yang ada pada dunia kedokteran. Patologi didefinisikan sebagai; ”Semua tingkahlaku yang bertentangan dengan norma kebaikan, kaidah dan etika sosial dalam masyarakat. Maka patalogi hukum bisah dikatakan sebagai tindak putusan dari hakim yang  berakibat terjadinya ketidakseimbangan hukum dan tidak adanya keadilan dan kepastian hukum.

Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Bahkan dalam hukum, putusan tersebut dapat dikatakan sebagai patalogi hukum di Indonesia. Berdampak ketidakseimbangan hukum di masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi itu adalah putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan anggota DPD tidak boleh pengurus parpol.Dengan putusan MK itu,  larangan bagi pengurus partai politik untuk menjadi calon DPD adalah konstitusional dan posisinya sederajat dengan Undang-Undang. MA mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh OSO.

Uji materi dilakukan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Mengkaji penegak hukum berarti menilai perilaku dan sikap manusia  merupakan objek utama (primary objeck). Penegak hukum adalah

manusia seperti yang lain, hidup dalam suatu komunitas. Karakter  penegak hukum sudah barang tentu juga merupakan produk dari sistem sosial di mana ia hidup atau ada. Untuk itu dalam rangka mengkaji penegakan hukum yang

diasumsikan kurang atau tidak memenuhi rasa keadilan, maka hukum dalam arti teks bukan merupakan satu satunya optik untuk melihatnya, menurut bahasanya Marc Galanter dalam Satjipto Raharjo ” melihat hukum dari ujung teleskop yang lain. Ketika penegakan hukum tidak menunjukan aksinya dalam penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan, maka manusia yang  berprofesi sebagai penegak hukum adalah merupakan sentral untuk ditelaah apa yang menyebabkan demikian. Di sinilah patologi hukum memiliki peran urgen dalam membahas penegak hukum yang di sisi lain merupakan produk dari komunitasnya.

Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum itu tidak dapat dilihat  sebagai suatu proses logislinier, melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan sekalian faktor yang menyertainya. Maka implikasinya, bahwa penegakan hukum bukanlah aktivitas yang netral, melainkan memiliki struktur sosialnya sendiri, sehingga berbeda dari waktu ke waktu, dari sistem ke sistem dan dari satu tempat ke tempat lain.

Para ahli hukum aliran positivis berasumsi bahwa dalam rangka supremasi hukum harus dibangun pemerintahan oleh hukum bukan oleh

‌manusia, tetapi dalam praktik bahwa pemerintahan adalah selalu oleh manusia, hukum hanya sebagai alatnya.

AGREEMENT KONSTITUSI

Dalam prakteknya Ada perbedaan sumber  putusan dari lembaga peradilan di Indonesia termasuk  Antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terhadap kasus gugatan Oso di Mahkamah Agung.

Secara teoritik dalam sistem hukum Camon law, hukum itu kekuatan dan sumber utamanya adalah Yusrisprudensi.  Atau dapat pula disebut sebagai convention of the constitution, yaitu hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyelenggarakan, menghidupkan kaidah hukum perundang undangan  atau hukum adat ketatanegaraan.  Menurut Bagir Manan bahwa konvensi ketatanegaraan memuat kaidah konstitusi yang tumbuh diikuti  dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara. Konvensi sebagai bagian dari konstitusi yang tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan.

Konvensi semata mata didorong oleh tuntutunan etika, akhlak politik dalam penyelenggaraan negara. Inilah yang mengilhami sumber hukum putusan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan sumber hukum Mahkamah Agung, dalam putusannya selalu bersumber pada Undang Undang. Dikarenakan tipologi nya dibayangkan bayangi oleh sistem hukum Civil Law yang sangat positivistik. Menjadikan negara sebagai negara Undang undang bukan sebagai negara hukum.

Dalam sebuah proses uji materi di Mahkamah Agung,maka penerapan hukumnya bersumber dari  UU. Dengan membiarkan atau tidak dapat menjadikan putusan MK sebagai salah satu dasar putusan di MA. Padahal keberlakukan putusan MK dipandang sederajat dengan UU. Oleh maka sebaiknya Mahkamah Agung  wajib memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi. Disinilah diperlukan agreement konstitusi dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia. Perlu ada perjanjian konstitusi yang mengikat bagi kedua lembaga peradilan tersebut sehingga dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum di masyarakat.

Agremeent constitusion tersebut dipandang sebagai pilar utama dalam penerapan hukum terhadap putusan MA dan MK dalam uji materi. Dengan demikian harapan mewujudkan kepastian hukum dan keadilan dapat terwujud di dua lembaga negara hukum ini.

KEDUDUKAN PKPU DAN PUTUSAN MK

Sebagaimana dalam UUD 1945  Pasal 22 E, Menyebutkan bahwa Komisi Pemilihan  Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu.”  KPU dalam membuat Peraturan KPU tentu saja selain berdasarkan pada UU juga berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi. Yang dipandang  bahwa putusan MK itu  sederajat dengan UU terhadap  keberlakuannya dalam  negara hukum demokrasi di Indonesia.

Kalau misalnya ada yang bertentangan di bawahnya kita harus mengacu kepada putusan yang lebih tinggi.

Peraturan KPU Sebagai produk hukum hanya diakui  keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sifatnya. UU Pemilu yang mempunyai posisi hierarki lebih tinggi dari Peraturan KPU. Dengan demikian, sumber hukum pembuatan peraturan KPU adalah Undang-Undang. Bahkan pengaturan terkait dengan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD  selanjutnya secara teknis diatur oleh Peraturan KPU sebagaimana perintah UU 7/2017 Tentang Pemilu.

Dalam ilmu perundang undangan bahwa jenis, fungsi dan materi muatannya  peraturan (regeling) selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).

Peraturan KPU sebagai produk hukum mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2, UU 12/2011.

putusan MK sifatnya wajib dan mengikat dilaksanakan oleh KPU sebagaimana dalam UU 7/2017.

Jika bicara soal arti putusan final pada putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sedangkan arti putusan mengikat dalam Putusan MK yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding), akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.

akibat hukum dari putusan MK yang final dan mengikat dalam makna positif adalah untuk mendorong terjadinya proses politik dalam negara demokraai. Membentuk adanya Amendemen atau merubah undang‑undang atau membuat undang-undang baru, akibat hukum dari putusan MK yang telah memutuskan tentang sebuah undang‑undang dianggap bertentangan dengan UUD. Selain itu  putusan MK dapat Mengakhiri sebuah sengketa hukum

Dalam Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK butir salah satu normanyabmenentukan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. ***

*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulteng Periode 2018-2023