Pasigala Centre Usul Konservasi Mangrove

oleh -
Salah satu nelayan di Kelurahan Tondo, Kota Palu, mengangkat puing perahunya yang rusak dihempas ombakl tsunami (FOTO : MAL/YAMIN)

PALU – Pasigala Centre mengusulkan kawasan sempadan pesisir jangkauan risiko tsunami untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi mangrove sebagai solusi penolakan tanggul raksasa yang diusulkan Japan Internasional Cooperation Agency (JICA).

Sekjen Pasigala Centre, Andika, Selasa (19/03), mengatakan, kawasan pesisir pantai harus diubah paradigmanya dari episentrum kawasan komersial berbasis jasa dan parawisata, menjadi eko wisata berbasis hutan konservasi mangrove.

Hal itu, kata dia, lebih bernilai secara kearifan lokal, ketimbang membangun tembok raksasa yang akan mengilusi tentang pengurangan risiko berbasis tembok-tembok raksasa dengan nilai funtastik.

“Mangrove Kabonga Kabupaten Donggala sudah membuktikan bagaimana ia dapat berfungsi sebagai pelindung. Sementara semua tembok-tembok justru roboh bahkan tenggelam karena proses tsunami dan downlift pada tanggal 28 September 2019 lalu,” terang Andika.

BACA JUGA :  Sulteng Masuk Empat Besar Nasional Indeks Keterbukaan Informasi Publik 2024

Baginya, konservasi mangrove juga memiliki fungsi keanekaragaman hayati yang lebih berguna untuk menjaga Teluk Palu dari ancaman kerusakan biologis dan bagi manusia.

Nelayan kata Andika, bisa mengambil ruang yang lebih luas dari fungsi teluk Palu ketimbang ia dibangun kembali dengan konsep komersial yang sama.

Andika memaparkan, ada dugaan penggelembungan luas wilayah terdampak tsunami yang ditetapkan untuk membenarkan asumsi pembangunan tanggul raksasa di Teluk Palu.

Hasil review peta risiko bencana yang dilakukan secara mandiri oleh organisasi Jaringan Pasigala Centre dengan dasar peta yang sama, menyebutkan bahwa luas wilayah tsunami Kota Palu hanya seluas kurang lebih 460,00 hektar, Kabupaten Donggala seluas kurang lebih 53,71 hektar.

BACA JUGA :  Pusat Kuliner di Huntap Talise Diresmikan 28 Oktober

Sementara perhitungan versi Badan Informasi Geo Spasial (BIG), tsunami Kota Palu seluas kurang lebih 1204,42 hektar dan Kabupaten Donggala kurang lebih 62,71 hektar.

“Kerusakan yang dihitung pada sempadan pantai bahkan memasukan wilayah pertambangan galian C yang sudah rusak sebelum tsunami terjadi. Bila menggunakan hitungan itu, maka asumsi pembangunan tanggul dapat dibenarkan,” ujarnya.

Andika berharap, Pemerintah Provinsi Sulteng dan Kota Palu, mengambil sikap tegas soal itu, agar Bappenas dan JICA memikirkan kembali rencana pembangunan tanggul raksasa berbasis skema dana utang itu, sehingga bisa dialihkan dengan pendekatan yang jauh lebih murah. (RIFAY)