OLEH: Efendi Kindangen*

Sulawesi Tengah kini berdiri di tengah paradoks besar: di bawah tanahnya tersimpan sekitar 1 miliar ton nikel, atau 22 persen dari cadangan nasional, tapi di banyak kampung sekitar tambang, warga masih hidup dalam kesulitan.

Ironi ini bukan sekadar angka di atas kertas — ini potret dari sebuah provinsi yang kaya sumber daya, namun miskin nilai tambah.

Pemerintah Provinsi kerap menegaskan komitmen pada “pengelolaan berkelanjutan”. Tapi narasi resmi itu kerap berlawanan dengan realitas lapangan: ekonomi daerah tidak banyak bergerak, buruh tambang hidup pas-pasan, dan daerah penghasil justru tidak menikmati hasilnya.

Dari berbagai pemberitaan lokal yang kami telusuri, satu benang merah muncul jelas — Sulteng sedang menghadapi gejala “kutukan sumber daya alam”.

Tambang Masif, Kemiskinan Bertahan

Hingga 2024, tercatat 682 izin tambang telah diterbitkan, mencakup sekitar 12,5 persen wilayah daratan Sulteng. Angka itu luar biasa besar — tapi hasilnya belum luar biasa juga.

Tingkat kemiskinan masih di atas 11 persen, dan penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) tidak sebanding dengan nilai ekspor nikel yang melambung tinggi.

Para pekerja tambang yang diwawancarai media lokal menggambarkan situasi getir: gaji tak sebanding dengan risiko, jam kerja panjang, dan kesejahteraan masih jauh dari kata layak.

Di sisi lain, daerah-daerah penghasil hanya kebagian “remah” dari kue besar industri yang berputar cepat.

Kondisi ini memperlihatkan satu hal: ekspansi tambang belum otomatis berarti kemakmuran. Justru yang tumbuh adalah ketimpangan — antara pemodal besar dan warga lokal, antara janji dan kenyataan.

Kerusakan Alam dan Legitimasi Politik

Di balik kilau investasi, ada luka yang menganga.

Beberapa daerah seperti Morowali dan Bahodopi kini menghadapi hutan gundul, sedimentasi sungai, dan pencemaran laut. Ketika musim hujan tiba, lumpur dari bukit-bukit bekas tambang mengalir ke pesisir, merusak tambak dan ekosistem.

Yang lebih memprihatinkan, praktik over-eksploitasi itu sering mendapat legitimasi politik. Izin diperpanjang tanpa evaluasi ketat, sementara suara kritis warga nyaris tak terdengar.

Dalam laporan investigatif salah satu media lokal, bahkan ditemukan indikasi korupsi struktural dalam pengelolaan tambang — sebuah cermin betapa lemahnya tata kelola di sektor yang mestinya menjadi tulang punggung ekonomi daerah.

Hilirisasi: Antara Harapan dan Kenyataan

Pemerintah pusat dan daerah kini gencar menggaungkan hilirisasi nikel sebagai jalan keluar. Secara teori, langkah ini seharusnya menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, dan industri turunan di daerah.

Namun, di lapangan, manfaat lokalnya masih minim.

Pabrik pengolahan (smelter) yang berdiri megah memang menandakan kemajuan, tapi rantai nilai ekonominya tidak tersambung dengan masyarakat sekitar. Produk lokal tidak terserap, tenaga kerja terampil masih didominasi dari luar, dan keterkaitan industri (industrial linkage) belum terjadi.

Akibatnya, hilirisasi hanya memperpanjang rantai ekstraksi, bukan menciptakan ekonomi baru yang hidup di bawahnya.

Gejala “Kutukan SDA” Mulai Nyata

Gejala klasik resource curse kini terlihat nyata di Sulteng:

● Ketergantungan berlebihan pada komoditas tunggal,
● Ketidakstabilan pendapatan daerah karena fluktuasi harga global,
● dan melemahnya institusi akibat intervensi kepentingan ekonomi besar.

Ketika sumber daya menjadi pusat ekonomi tanpa kontrol kuat, sektor lain seperti pertanian, perikanan, dan UMKM justru terpinggirkan. Padahal, sektor-sektor itulah yang paling tahan krisis dan paling banyak menyerap tenaga kerja lokal.

Mencari Jalan Keluar: Dari Ekstraktif ke Generatif

Sulteng perlu segera keluar dari model ekonomi ekstraktif menuju ekonomi generatif — yaitu ekonomi yang menumbuhkan nilai baru, bukan hanya mengambil dari alam.

Beberapa langkah yang mendesak dilakukan antara lain:

1. Reformasi tata kelola tambang dengan moratorium izin baru dan audit menyeluruh terhadap izin lama.

2. Negosiasi ulang skema bagi hasil (DBH dan PNBP) agar lebih adil bagi daerah penghasil.

3. Pemberdayaan masyarakat lokal dan masyarakat adat, terutama dalam pengawasan dan pemulihan lingkungan.

4. Investasi pada sektor alternatif seperti pertanian berkelanjutan, ekowisata, energi terbarukan, dan industri kreatif.

5. Peningkatan kapasitas SDM lokal melalui pusat inovasi dan teknologi tambang agar anak muda Sulteng tidak hanya jadi penonton di tanah sendiri.

Menata Ulang Paradigma Pembangunan

Potensi nikel Sulteng ibarat pedang bermata dua: bisa menjadi berkah pembangunan, tapi juga kutukan yang memperdalam kemiskinan jika salah kelola.

Kita sudah melihat tanda-tanda ke arah yang kedua — dan ini saatnya berhenti, menata ulang arah.

Ke depan, yang dibutuhkan bukan sekadar investasi besar, tapi tata kelola yang jujur, transparan, dan berpihak pada rakyat.

Bukan hanya pabrik, tapi juga pendidikan dan inovasi lokal.

Bukan hanya menambang bumi, tapi merawat tanah dan laut tempat hidup warga Sulteng.

Tulisan ini disusun berdasarkan analisis terhadap sejumlah pemberitaan media lokal Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2024–2025, untuk menggugah diskusi publik tentang arah pembangunan ekonomi daerah yang berkelanjutan.

*Penulis adalah Pendiri Kalam Insight