Palu Menuju Kota Kebudayaan Ekologis

oleh -

Banyak daerah dan kota di Indonesia memiliki lembaga kebudayaan yang mampat pengelolaannya dikarenakan tidak melibatkan warga-masyarakat serta komunitas yang ada dan hidup di lingkungannya.

Kegiatan lembaga itu juga sangat tergantung kepada isu-isu yang tak memiliki korelasi logis dengan kebutuhan warga-masyarakat. Kasus misalnya kebutuhan untuk mengembangkan dunia kepariwisataan (tourism) lebih banyak dianggap dan dipraktikkan sebagai sekedar dunia panggung yang bersifat seremonial.

Kita sadar benar bahwa dunia kepariwisataan sebagai pelatuk strategis di dalam pengembangan kebudayaan sangat penting. Namun, masalahanya terletak kepada sejauh manakah posisi-fungsi kebudayaan yang dimiliki warga-masyarakat serta komunitas dilibatkan sebagai pelaku.

Selama ini yang terjadi kegiatan seni dan kebudayaan dalam kaitan dengan kepariwisataan selalu bersifat instant, dan bahkan cenderung artifisial. Kondisi instant dan artifisial ini dilator belakangi oleh cara berpikir bahwa kebudayaan hanya sekedar dunia panggung, seremonial.

Dalam konteks itulah, diskusi ikita tentang tema dan program ini harus bisa meletakan prinsip dan praktek kebudayaan sebagai aktifitas warga-masyarakat dan komunitas sebagai basis sosial di dalam produksi kebudayaan.

Meletakan warga-masyarakat-komunitas sebagai basis sosial di dalam produksi kebudayaan memiliki makna bahwa yang terpenting dan yang utama adalah bagaimana suatu aktifitas warga-masyarakat-komunitas sebagai pelaku di dalam melacak kembali asal muasal kesejarahan dan kesadaran kebudayaannya melalui proses belajar bersama.

BACA JUGA :  Mencari Jejak Identitas Kaili Rai di Tengah Arus Modernisasi

Proses belajar bersama ini untuk kembali menggali cikal bakal tatanan nilai dan sekaligus melakukan refleksi kembali terhadap posisi-fungsi tradisi dan nilai-nilai kebudayaan yang sedang tumbuh berkembang.

Refleksi dan praktek pelacakan itu juga memiliki makna berkaitan dengan konservasi berkaitan dengan kesinambungan pelestarian tatanan nilai yang pernah ada.

Pada sisi lainnya refleksi itu juga menjadi bahan bagi eksplorasi nilai-nilai dengan konteks situasi dan kondisi zaman yang dihadapi oleh warga-masyarakat-komunitas, yang secara sesungguhnya memang sebagai pengemban khasanah dan nilai kebudayaan yang dimilikinya.

Dengan prinsip bahwa warga-masyarakat-komunitas sebagai pengemban khasanah kebudayaan, maka yang utama di dalam pengembangan kebudayaan bukanlah kebutuhan kesenian dan kebudayaan untuk kepariwisataan (tourism). Tapi meletakan kebudayaan sebagai kebutuhan warga-masyarakat-komunitas.

Jika prinsip itu dipegang dan dipraktekan secara konsisten, sesungguhnya justeru akan lebih menciptakan dunia kepariwisataan yang lebih genuine dan otentik, dan bukan sajian panggung yang instant dan artifisial.

Dalam kondisi derasnya proses moderenisasi dan globalisasi dimana situasi- kondisi manusia diperhadapkan dengan laju derasnya informasi yang membawa pengaruh kepada lingkungan sosial dan personal, maka makin dibutuhkan suatu kesadaran kesejarahan kepada nilai-nilai tradisi yang otentik dan genuine sebagai genggaman nilai-nilai di dalam arus perubahan sosial dan kebudayaan.

BACA JUGA :  Authority Bawaslu Sebelum Penetapan Calon dalam Pemilihan Kepala Daerah

Dalam konteks inilah suatu proses kearah otensitas merupakan suatu proses penguatan dan sekaligus pengembangan tatanan nilai dalam kerangka kebudayaan nasional yang didasarkan kepada pengembangan individu-individu kearah pendewasaan di dalam memahami dan mengelola nilai-nilai kebudayaannya.

Masalah yang kita hadapi adalah, bagaimana suatu proses kearah otensitas yang genuine itu di dalam proses pengembangan dalam wujud penyusunan program dan tema-tema festival.

Di sini kita berhadapan dengan suatu ruang kajian berkaitan dengan riset dan pelacakan secara sistematik yang didasarkan kepada khasanah kesejarahan social di lingkungan masyarakat.

Berkaitan dengan hal ini, maka TBST dan BCC bisa menjadi ruang laboratorium kebudayaan, ruang uji coba dan sekaligus ruang eksplorasi dengan pendekatan akademis yang juga mempertimbangkan wacana-wacana lokal.

Rencana kerja dan kerangka akademis ini sebaiknya tidak melakukan pendekatan obyektifikasi terhadap khasanah lokal.

BACA JUGA :  Menakar Manfaat dan Pengaruh Debat Publik Paslon dalam Pilkada 2024 bagi Pemilih di Sulteng

Mendudukkan khasanah tradisi dan nilai-nilai lokal sebagai subyek merupakan praktek yang paling bijak, dan menghindari perangkap ke dalam glorifikasi serta mistifikasi nilai-nilai tradisi.

Secara praktis hal ini mengaitkan proses kerjasama antara kampus, kaum akademisi dan kaum periset dengan TBST dan BCC.

Di dalam menyusun dan merumuskan tema dan program berkaitan dengan kegiatan, termasuk festival sebagai acara puncak pada setiap tahun, hendaknya kita mendasarkan diri kepada kebutuhan warga-masyarakat-komunitas.

Dalam konteks ini, khasanah tradisi haruslah menjadi poin utama. Hal ini sebagai wujud di dalam kita mengikatkan diri kembali kepada apa yang kita miliki, dan sekaligus sebagai proses kohesi sosial bagi kaum muda, remaja dan anak-anak ke dalam ruang kesejarahan.

Kohesi sosial ini merupakan proses kearah otentisitas diri bagi warga-masyarakat-komunitas dan khususnya kaum muda, remaja dan anak-anak di dalam kebersamaan.

Seperti kita ketahui bahwa proses menjadinya seseorang tumbuh dan berkembang sebagai subyek kebudayaan di dalam sejarah sosial kita selalu di dalam proses kebersamaan.