Palu Menuju Kota Kebudayaan Ekologis

oleh -

Berkaitan dengan upaya membentuk tata ruang kebudayaan bagi warga- masyarakat, sangat baik jika pada setiap kecamatan memiliki Baruga Community Center (BCC) untuk menampung kegiatan warga-masyarakat.

Pembentukan BCC pada setiap kecamatan ini, agar tercipta desentralisasi kegiatan.
Desentralisasi ini penting agar setiap wilayah kecamatan di Kota Palu dapat menampung serta menyalurkan ekspresi kultural warga dalam berbagai seginya, seperti latihan tari, teater, musik, sastra, permainan anak-anak, aktifitas kaum remaja, kegiatan kaum ibu, dan berbagai kegiatan lainnya seperti penguatan literasi.

Melalui BCC inilah berbagai kegiatan ditampung dan menjadi ruang bagi proses kohesi sosial dan personal, dan sekaligus sebagai ruang menumbuhkan kesadaran kesejarahan kepada tradisi melalui ekspresi seni.

Dari segi lainnya, BCC ini bisa menjadi sejenis lembaga pendidikan kebudayaan dari aspek kesenian, yang secara praktis bisa dikaitkan dengan kurikulum lembaga pendidikan formal. Di antara masalah kekurangan fasilitas berkesenian pada setiap lembaga pendidikan formal, maka BCC bisa berfungsi untuk menampung dan menjadi solusi yang sangat baik bagi pendidikan yang berkaitan dengan seni dan kebudayaan.

BACA JUGA :  Mencari Jejak Identitas Kaili Rai di Tengah Arus Modernisasi

BCC sebagai ruang aktifitas warga-masyarakat bukan hanya dalam wujud Baruga semata-mata. Dibutuhkan beberapa Baruga, di samping baruga utama.

Beberapa Baruga pendukung ini menjadi sejenis studio, diantara ruang-ruang lainnya, seperti perpustakaan yang juga merangkap menjadi taman bacaan masyarakat (TBM), pusat informasi wisata (TIC, tourism information center) dan ruang pameran, galeri.

Jadi, BCC menjadi kesatuan dari suatu konsep ruang kebudayaan, pendidikan, ruang informasi dan produk khasanah senibudaya, seperti kerajinan tangan tradisi maupun produk disain baru. Dengan kata lain, BCC menjadi sejenis Art Center pada tingkat kecamatan.

Poin diskusi lainnya yang ingin saya sampaikan tentang Taman Budaya Sulawesi Tengah (TBST).

BACA JUGA :  Authority Bawaslu Sebelum Penetapan Calon dalam Pemilihan Kepala Daerah

Lembaga ini secara fisik mengalami kehancuran akibat bencana alam. Saya pikir, ada baiknya jika dibangun kembali, juga didasarkan kepada tata ruang ekologis yang didasarkan kepada arsitektur khasanah tradisi.

Saya berharap pembangunan TBST sebaiknya menghindari pembangunan gedung yang memiliki resiko penggunaan elektrifikasi yang tinggi.

Keterbatasan tenaga listrik harus dicermati bukan hanya karena secara ekonomis memakan biaya yang tinggi, tapi juga dampak pemeliharaan peralatan penunjang misalnya seperti AC.

Banyak pusat kesenian dan kebudayaan dibangun dengan gedung yang mewah tapi secara fungsional tidak maksimal.

Ungkapan yang menyatakan bahwa untuk menyelenggarakan peristiwa seni dan kebudayaan yang bersifat internasional haruslah didukung oleh gedung gedung yang besar dan mewah ber-AC, merupakan kekeliruan yang paling fatal yang terjadi di negeri ini di dalam penyelenggaraan peristiwa senibudaya. Yang tak pernah diperhitungkan oleh mereka yang memegang prinsip gedung mewah dan besar itu, bahwa biaya pemeliharaan yang tinggi setiap tahunnya.

BACA JUGA :  Menakar Manfaat dan Pengaruh Debat Publik Paslon dalam Pilkada 2024 bagi Pemilih di Sulteng

Biaya pemeliharaan yang tinggi ini menjadi ironis bagi kehidupan seni-budaya, karena biaya itu memotong anggaran kegiatan seni-budaya dan berbagai aktifitas lainnya yang justeru semestinya menjadi fokus di dalam pengembangan kebudayaan bersama masyarakat. Kasus-kasus ini banyak terjadi diberbagai daerah.

Dampak berkurangnya anggaran kegiatan akibat pemeliharaan dengan biaya tinggi itu, memunculkan keluh kesah kaum seniman dan pekerja kebudayaan, bahkan protes yang berkepanjangan.