Palu Menuju Kota Kebudayaan Ekologis

oleh -

Gambaran analisa ringkas ini ingin mengajak kepada pengelola kota, instansi pemerintah dan stake holder independen, seperti seniman, pekerja kebudayaan, aktivis mahasiswa, kaum ibu, dan unsur masyarakat lainnya untuk kembali merenungkan kembali kondisi yang ada di sekitar kita dalam kaitannya dengan kondisi kota dan lingkungan hidupnya dalam konteks kehidupan seni dan kebudayaan umumnya dengan dasar kesadaran ekologis sebagai basis dari praktek kehidupan keseharian namun strategis.

Secara singkat berkaitan dengan kondisi Kota Palu yang pernah mengalami bencana alam tsunami yang dampaknya bukan hanya kepada hilangnya nyawa yang tak terhitung, tapi juga kerusakan tata ruang kehidupan.

Dalam konteks tata ruang inilah kita berusaha untuk mencoba merenungkan dan sekaligus berusaha menciptakan kembali suatu tata ruang yang lebih adaptable dan transformatif yang didasarkan kepada nilai-nilai kesejarahan dan dengan prinsip ekologis.

BACA JUGA :  Mencari Jejak Identitas Kaili Rai di Tengah Arus Modernisasi

Kita berharap suatu tata ruang yang diciptakan itu akan mampu menghadapi proses perubahan sosial ke arah yang lebih menempatkan unsur manusia sebagai pelaku kebudayaan.

Berkaitan dengan paparan di atas, saya akan menyampaikan poin-poin ringkasan gagasan sebagai bahan diskusi sehubungan dengan lontaran tentang Kota Palu menuju kota kebudayaan yang ekologis, sebagai berikut:

Baruga Community Center (BCC)

Baruga bagi masyarakat Palu dan Sulawesi Tengah (juga masyarakat Sulawesi Selatan dan Masyarakat Mandar) merupakan suatu wujud bangunan yang sangat egaliter.

Watak egaliter ini nampak dari bentuk bangunan yang terbuka kearah empat penjuru yang secara simbolik dan metaforik mengandung nilai, terbuka bagi siapa saja.

BACA JUGA :  Authority Bawaslu Sebelum Penetapan Calon dalam Pemilihan Kepala Daerah

Dalam konteks kehidupan masyarakat dan kehidupan kebudayaan, Baruga menjadi penting karena watak keterbukaan dan sekaligus juga menampung dan meresap berbagai nilai yang bisa dipertemukan di dalam ruang Baruga.

Secara teknikal, Baruga dalam tradisi di dalam masyarakat di Sulawesi Tengah dan khususnya di Palu, dapat dibangun dengan material dari kayu dan geludu pohon kelapa.

Jika kita melihat sejarah Sulawesi Tengah, pohon kelapa sangat kuat kaitannya, karena wilayah Sulwesi Tengah ini pernah (dan masihkah?) menjadi sumber utama pohon kelapa dan kopranya di nusantara selama berabad-abad dan menjadi bahan ekspor utama.

BACA JUGA :  Menakar Manfaat dan Pengaruh Debat Publik Paslon dalam Pilkada 2024 bagi Pemilih di Sulteng

Dari segi material, gelugu pohon kelapa memiliki kekuatan daya tahan dan memiliki watak ekologis yang sangat baik.

Berkaitan dengan hal itu, Baruga juga menjadi ruang yang sangat ekonomis karena pengelolaan yang mudah, serta tak membutuhkan elektrifikasi yang kian mahal secara ekonomi, misalnya seperti AC.