OLEH: Halim HD*
Lontaran gagasan tentang suatu kota kebudayaan yang didasarkan kepada prinsip ekologis beserta dukungan ekosistemnya, bukanlah sesuatu yang baru.
Setengah abad yang lalu, sekitar tahun 1973-74, Akademi Jakarta (AJ) yang diketuai oleh Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, menuliskan suatu analisa dan laporan tentang betapa pentingnya kesadaran ekologis bagi para pengelola dan stake holder kota di dalam memutara laju pembangunan ekonomi.
Singkat kata, analisa dan laporan itu menunjukan suatu arah, bahwa pembangunan ekonomi tanpa didasari kepada kesadaran kebudayaan dan prinsip ekologis akan menciptakan kerusakan tata ruang yang akan berdampak kepada kerusakan tatanan nilai nilai sosial, yang berujung kepada krisis kondisi kemanusiaan.
Salah satu segi dari krisis kemanusiaan terjadi akibat degradasi posisi dan fungsi seni tradisi di dalam masyarakat. Degradasi posisi dan fungsi seni tradisi ini sangat kuat kaitannya dengan proses moderenisasi yang tidak berakar kepada tatanan nilai yang ada di dalam masyarakat, dan pada sisi lainnya posisi dan fungsi seni tradisi tergusur dari ruang-ruang publik.
Moderenisasi yang diterapkan di negeri kita secara sebelah pihak yang hanya menekankan kepada perspektif nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi.
Kita tidak menolak nilai tambah did alam pertumbuhan ekonomi bagi warga dan masyarakat. Namun, jika nilai tambah hanya semata-mata dijadikan ukuran sedangkan kandungan nilai-nilai seni dan kebudayaan terpinggirkan, maka nilai tambah itu akan mengalami kekosongan nilai.
Dampak dari hal ini terciptanya suatu kondisi di mana warga dan masyarakat terasingkan dari tatanan nilai yang telah menyejarah, khususnya bagi kaum muda dan anak-anak.