Hari ini, Ahad 10 November kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan sebagaimana kita peringati sekarang, terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalannya revolusi waktu itu.
Pertempuran Surabaya telah dapat menggerakkan rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun pasif, dalam perjuangan melawan musuh bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang melindungi (menyelundupkan) NICA ke wilayah Indonesia.
Peringatan Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi warga negara, bukan saja untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang yang tak terhitung jumlahnya demi memperjuangkan tegaknya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Peringatan Hari Pahlawan 10 November juga telah merupakan kesempatan yang baik untuk selalu memupuk rasa kesadaran bangsa.
Nenarlah pepatah bahwa: Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Demikian salah satu petikan penting pidato Presiden pertama RI Ir Soekarno yang disampaikan dalam rangka peringatan Hari Pahlawan, 10 November 1961.
Bung Tomo (1920-1981) tentu tidak tampil ke depan karena ingin disebut “pahlawan”. Demikian juga para pahlawan bangsa kita yang lain. Mereka tidak berjuang agar digelar pahlawan. Sudah seharusnya perjuangan hanya dilandaskan pada niat suci melawan kebatilan (Jenderal Soedirman, 1946).
Inilah yang mengobarkan semangat, menggerakkan para pejuang untuk mencapai cita-cita mulia. Udep sare, mate syahid, begitu para pejuang Aceh meyakini. Sebuah keyakinan yang tentunya jauh melampaui hasrat kemenangan pribadi atau sekadar karena nafsu akan kekuasaan.
Selain kisah Bung Tomo, kisah Jenderal Soedirman juga merupakan teladan kepahlawanan yang mengharukan. Beliau tetap bergerilya, walaupun sakit dan ditandu. Dengan hanya satu paru-paru yang masih berfungsi, beliau terus berjuang.
“Yang sakit adalah Soedirman. Bukan Panglima Besar Tentara Indonesia”. Inilah jawaban sang jenderal, ketika Presiden Soekarno memintanya untuk beristirahat.
Marilah menghargai jasa pahlawan, sekaligus agar generasi muda dapat meneladani mereka sehingga bangsa ini menjadi besar, berdaulat, bermartabat, berkesejahteraan, berkeadilan, dan berkemajuan? Nilai-nilai kepahlawanan apa yang dapat dijadikan sebagai “nutrisi bergizi” bagi pendidikan warga bangsa?
Sesuai dengan makna dasarnya, pahlawan adalah orang yang membuat pahala, bukan berbuat dosa. Karena itu pahlawan adalah orang yang menanggalkan ego pribadi untuk mengabdi, berkontribusi, memberi manfaat dan maslahat bagi umat dan bangsa.
Pahlawan senantiasa rela berjuang dan berkorban jiwa dan raga, nyawa dan harta, dengan penuh ketulusan demi Tuhan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Karakter luhur dan mulia pahlawan itu idealnya menjadi elan vital edukasi nilai, termasuk pendidikan karakter, bagi generasi muda bangsa.
Spirit kepahlawanan adalah jiwa altruisme dan nasionalisme yang menggerakkan semangat memiliki, merawat, dan memajukan bangsa, bukan menjual, melelang, dan menggadaikan kekayaan dan kepentingan nasional untuk asing spirit kepahlawanan mutlak harus dimiliki para pemimpin bangsa agar kiblat bangsa tidak salah arah dan belok kepada bukan kepentingan rakyat dan negara.
Pemimpin yang berjiwa kepahlawanan pasti tidak akan korupsi karena mereka berjiwa kaya hati dan budi, tidak berwatak serakah, rakus, dan kemaruk. Kepemimpinan berbasis spirit kepahlawanan akan diaktualisasi dengan melayani, mengayomi, menyayangi, dan menginspirasi rakyatnya sepenuh hati.
Alhamdulillah, kita masih menemukan banyak anak bangsa yang ikhlas mengabdi. Mereka berkorban meninggalkan hidup serba mudah, berjuang untuk kemajuan pendidikan anak bangsa di daerah-daerah terpencil.
Merekalah pahlawan Indonesia hari ini. Ada pula para guru honorer yang kehidupannya cukup sederhana. Namun kesulitan finansial yang mereka hadapi tak menyurutkan semangat. Mereka itulah pahlawan zaman now. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)