Alkhairaat telah ada sebelum kita ada. Alkhairaat dilahirkan Guru Tua bukan untuk dikuasai sebagai milik personal karena Guru Tua menitipkan Alkhairaat dengan air mata, penderitaan, ketangguhan bahkan narasi-narasi besar (visi dunia), sebuah mimpi besar peradaban yang membanggakan sekaligus menantang.

Alkhairaat adalah totalitas pengabdian seumur hidup. Pengabdian untuk Islam yang ramah dan merambah yang menyatukan semua manusia tanpa kelas. Alkhairaat adalah buhul Islam sekaligus amanah -yang barang siapa mengingkarinya maka penyesalan menjadi buahnya.

Kali ini kita kembali duduk bersimpuh, berpeluh keringat menahan terik matahari tak lain untuk mengenang Guru dan imam kita Habib Sayid Idrus bin Salim Aljufri.

Menyisir kerinduan kita terhadap Guru tua bukanlah perkara biasa karena Rasulullah SAW pun memerintahkan kita dengan sabdanya: Udzkuru mahasina mautakum. (Renung renungkanlah, ingat-ingatlah, sebut-sebutlah jasa-jasa, kebaikan-kebaikan orang-orang mati kamu)

Karena itu mejadi sebuah cetak biru bahwa acara kita ini, acara haul ini, adalah salah satu dari ajaran penting dalam agama Islam yang ditekankan oleh Al-Quran dan Sunnah.

Kita mengenang Guru tua sebagai seorang yang memiliki reasoning powerkemampuan nalar– yang baik, memiliki berbagai kecakapan, sekaligus tertarik kepada hal-hal rohani, things of mind.

Ia memang orang kerohanian, orang yang mengabdikan hidupnya untuk tujuan yang bukan duniawi. Prinsipnya “Membangun akhirat melalui wahana Alkhairaat” dengan semboyan “Fastabiqulkhairaat -Berkompetisi melakukan kebaikan dan perbaikan”.

Berdasarkan prinsip dan semboyan itu, maka ia juga menunjukkan tanggung-jawab moral terhadap masyarakat bangsanya. Dengan memimpin umat kejalan yang lurus, mengajarkan mereka menbedakan antara yang hak dan yang bathil. Ia berani membela kebenaran yang telah menjadi keyakinannya terhadap siapa pun juga.

Ia tak segan-segan mempertahankan pendapatnya, kendati bertentangan dengan pendapat umum. Kemampuannya berpikir bebas dengan tidak cenderung mengikuti begitu saja pikiran orang lain agak menonjol. Kecenderungan berpikir bebas, berani mengemukakan pendapat dan buah pikiran itu mengantarkannya menjadi pemimpin di kemudian hari.

Alhasil, suatu hari diadakanlah rapat pleno untuk memilih Mufti, seorang yang memangku jabatan resmi tertinggi di bidang keagamaan. Jabatan yang dipangku ayahnya sebelum wafat. Seusai lobbying mereka menawarkan sambil berkata “Peganglah kedudukan ini wahai Abu Fathimah!”.

Sayyid Idrus tak berucap sekatapun jua. Ia hanya diam membisu, membayangkan keberadaannya sebagai orang baru dalam lingkungan masyarakat, membayangkan dirinya masih terbilang muda, membayangkan bagimana nantinya kalau dinobatkan sebagi Mufti, pemberi fatwa bagi masyarakat dan umat tentang sesuatu pandangan hukum atas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan.

Tentunya tidak gampang, apalagi kalau di dalam masyarakat banyak orang yang pintar-pintar bodoh. Sulit pikirnya. Lalu dengan perkataan tertegun-tegun ia berujar “Ti’ . . t i d a k, ……! Tidak usah aku yang memegangnya. Memangku jabatan itu?! Berikanlah kepada orang yang berhak”. Mereka menasehatinya, …… “Terimalah, sebab anda lebih pantas untuk menggantikannya”.

Ia terdiam sejenak, dan tak seberapa lama setelah itu, ia lantas berkata kepada mereka semua “Bersediakah kalian di bawah kepemimpinan Idrus Bin Salim, …… ”. Serentak mereka berkoar “Sssetuju, setujuuu, ……setujuuu !”. dan iapun memangku jabatan itu, menjadi Mufti, kala usianya hampir mencapai 20 tahun.

Jalan pendidikan sebagai pilihan pembebasan bangsa sudah dilakoni sejauh Allayarham mendedikasikan dirinya di Indonesia.Tengoklah kata-kata hikmahnya: “Apa arti merdeka jika kita tidak bisa mendidik diri sendiri.”

Inilah kata sepenggal yang meluncur dari mulut Habib Idrus bin Salim Aljufri ketika Indonesia masih seumur jagung setelah mengikrarkan kemerdekaan pada 1945.

Apa yang disampaikan Habib Idrus itu sejatinya merupakan cambuk bagi semua anak negeri ini untuk membekali diri dengan ilmu. Sepanjang hidupnya, Guru Tua memang dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu. Tak hanya untuk diri sendiri, ilmu itu juga ia tularkan kepada orang lain.

Salah satu wujud cintanya pada ilmu adalah didirikannya lembaga pendidikan Islam Alkhairaat. Inilah sumbangsih nyata Guru Tua kepada negeri ini. Alkhairaat ia dirikan di Palu, Sulawesi Tengah, kala usianya menginjak 41 tahun.

Dan, ketika ia wafat pada usia 77 tahun, lembaga pendidikan Alkhairaat telah menyebar di kawasan timur Indonesia. Kala Guru Tua menutup mata, Alkhairaat sudah memiliki ratusan madrasah, sekolah, hingga perguruan tinggi.