PALU — Orang tua korban yang mengalami tindak kekerasan dari kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) Siswa Pecinta Alam (Sispala) SMU Negeri 1 Ampana Yanti Labaka sangat kecewa kepada pihak sekolah dimana sampai saat ini tuntutan orang tua murid belum juga dipenuhi oleh pihak sekolah.

Menurutnta, sudah ada mediasi di Polsek Ampana Kota, yang dihadiri Dinas Pendidikan Ampana, dan pihak Sekolah SMA Negeri 1 Ampana, tetapi pihaknya selaku orang tua dari salah satu korban siswi ZF tidak hadir saat itu, hanya mendengar dari guru BK, bahwa para pelaku siswi senior dari pengurus Sispala hanya mendapatkan pembinaan.

“Tuntutan kami itu orang tua korban kekerasan bahwa siswa pelaku kekerasan itu dapat dikeluarkan dari sekolah itu, karena terbukti dengan sengaja melakukan tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Selain itu Kepsek dan Pembina SISTA SMA 1 Ampana Kota harus mendapat sanksi yang seadil-adilnya, jangan masalah ini dianggap sepele,” ujar Yanti Labaka kepada media ini, Sabtu (9/11).

Sementara Yudiawati Vidiana Windarrusliana, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulteng mengatakan, saat ini masalah tersebut sudah ditangani pihaknya dan sementara diproses.

LBH Tepi Barat Mengecam

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tepi Barat menyatakan keprihatinan mendalam terkait insiden yang terjadi dalam kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) yang diadakan oleh Siswa Pencinta Alam (Sispala) di SMU Negeri 1 Ampana Kota Sulawesi Tengah.

Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan perlakuan tidak pantas yang diterima oleh siswi junior selama kegiatan tersebut, yang diduga dilakukan oleh beberapa siswi senior.

Rukly Chahyadi, Managing Partner Law Office Tepi Barat & Associates, mengungkapkan bahwa kegiatan Diksar, yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran dan pengembangan karakter, malah disalahgunakan oleh sejumlah siswi senior yang bertindak sebagai panitia dan pembimbing.

Mereka memanfaatkan posisi mereka untuk melakukan tindakan intimidasi terhadap siswi junior, dengan menerapkan tata tertib yang sangat ketat dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.

“Kami mengecam keras tindakan ini dan menegaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang senioritas, berhak atas perlakuan yang adil dan hormat. Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi semua peserta didik,” tegas Rukly Cahyadi.

LBH Tepi Barat mendesak pihak sekolah untuk segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap kejadian ini dan memberikan dukungan penuh kepada siswi yang menjadi korban. Selain itu, Rukly juga menekankan pentingnya pihak sekolah untuk menyelenggarakan pelatihan etika dan tanggung jawab kepada siswa, guna mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

“Pendidikan adalah hak setiap anak, dan kita harus memastikan bahwa lingkungan pendidikan di Indonesia tetap aman, inklusif, dan mendukung perkembangan karakter yang positif. Kami percaya bahwa dengan kerja sama semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik dan lebih aman untuk generasi mendatang,” ujar Rukly menutup pembicaraannya.

Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan hak-hak siswa dan penerapan prinsip keadilan serta penghormatan antar sesama dalam setiap kegiatan pendidikan.

Reporter: IRMA
Editor: NANANG