Oleh: Dr. Mohsen Hasan Alhinduan, Lc., M.A.

“Di era digital, semua orang merasa setara dengan ilmuwan, karena mereka punya opini.”
Neil deGrasse Tyson (5 Oct 1958)

Di era digital pada saat sekarang ini memberi kebebasan berpendapat dan berpikir seolah-olah menyetarakan dirinya seperti peneliti atau ilmuwan. Tanpa disadari, kebebasan beropini membuka cakrawala ilmu pengetahuan sekalipun hal itu belum dibuktikan keabsahannya, baik secara verbal (perkataan) atau nonverbal (perilaku, perbuatan, bahasa tubuh).

Pendapat atau opini (bahasa Inggris: opinion) adalah sebuah gagasan atau pikiran untuk menerangkan preferensi atau kecenderungan tertentu terhadap ideologi dan perspektif yang memiliki sifat tidak objektif. Pendapat merupakan tanggapan terhadap rangsangan yang disusun melalui interpretasi personal.

Maka dari itu, pandangan atau penilaian dalam pendapat tidak didukung oleh fakta atau pengetahuan positif. Pendapat berbentuk pernyataan tidak meyakinkan dan sering digunakan dalam berbagai hal subjektif yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Hal itu terjadi karena pendapat dipengaruhi oleh pemikiran, perspektif, perasaan, sikap, pengalaman, keinginan, keyakinan, nilai, dan pemahaman seseorang tanpa bukti konkret.

Opini publik atau pendapat umum adalah pendapat kelompok masyarakat atau sintesis dari pendapat yang diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan. Agregat dari sikap dan kepercayaan ini biasanya dianut oleh populasi orang dewasa.

Pemilihan opini publik didasarkan kepada jumlah mayoritas yang efektif, dan bukan pada jumlah mayoritas secara keseluruhan. Opini publik menggunakan subjek berupa permasalahan baru yang mengandung pernyataan yang bersifat kontroversial. Sifat dari pernyataannya adalah memiliki suatu hal yang bertentangan, dan menjadi reaksi pertama atau sebuah gagasan baru.

Contoh-contoh opini sebagai berikut:

  • Saya suka pizza karena rasanya enak. (Opini pribadi tentang rasa)
  • Pemerintah seharusnya meningkatkan investasi di bidang pendidikan. (Opini tentang kebijakan pemerintah)
  • Anak-anak sekarang lebih suka bermain gadget daripada membaca buku. (Opini tentang perilaku anak-anak)

Ilmuwan (bahasa Inggris: scientist) adalah seseorang yang secara sistematis mengumpulkan dan menggunakan penelitian serta bukti untuk membuat hipotesis dan mengujinya guna memperoleh dan berbagi pemahaman serta pengetahuan. Dengan kata lain, ilmuwan adalah orang yang terlibat dalam kegiatan ilmiah untuk mencari kebenaran, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan meningkatkan kesejahteraan manusia.

Seseorang disebut sebagai ilmuwan biasanya karena banyak meneliti, menulis buku, dan berbicara tentang ilmu. Sebagai ilmuwan, dalam keseharian mereka bekerja untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Ilmuwan juga memiliki keahlian khusus. Artinya, setiap ilmuwan dapat memiliki keahlian di berbagai bidang, seperti matematika, fisika, biologi, kimia, dan lain-lain. Hal ini tidak seperti beropini atau berpendapat yang tidak memiliki keahlian di bidangnya.

Perbedaan utama antara fakta ilmiah dan opini terletak pada kebenarannya yang dapat dibuktikan. Fakta ilmiah adalah pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya, sedangkan opini adalah pendapat atau pemikiran seseorang yang belum tentu benar dan dapat dipengaruhi oleh perasaan atau keyakinan.

Fakta ilmiah merupakan kebenaran yang dapat diuji dan diverifikasi dengan bukti konkret, data, atau sumber informasi yang terpercaya.

Fakta ilmiah bersifat objektif, artinya tidak dipengaruhi oleh perasaan atau keyakinan pribadi. Fakta ilmiah berbasis realitas, didasarkan pada kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Fakta ilmiah bersifat mutlak dan tidak berubah, tidak peduli siapa yang mengatakannya.

Sementara opini tidak dapat dibuktikan secara mutlak karena opini adalah pendapat pribadi yang belum tentu benar dan dapat berbeda antara satu orang dengan orang lain.

Kutipan ini bukan sekadar kritik sosial—ia adalah peringatan filosofis. Dalam dunia yang dibanjiri informasi, opini dan fakta semakin sulit dibedakan. Semua orang merasa berhak untuk berbicara, dan itu memang benar. Tetapi merasa berhak berbicara tidak otomatis berarti paham apa yang dibicarakan.

Neil deGrasse Tyson menyindir kenyataan pahit bahwa media sosial telah mendemokratisasi suara, tetapi juga memudarkan otoritas ilmu. Di satu sisi, ini adalah kemajuan. Di sisi lain, ini menciptakan ilusi bahwa pengalaman singkat dan pencarian Google singkat setara dengan penelitian bertahun-tahun.

Filsafat Stoik mengajarkan kita untuk menghargai logos—akal, rasio, dan keutamaan berpikir jernih. Marcus Aurelius berkata:

“Kamu memiliki kekuatan atas pikiranmu, bukan kejadian di luar. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.”

Namun dalam era digital, kekuatan berpikir jernih justru terganggu oleh confirmation bias, kecenderungan mencari informasi yang sesuai dengan keyakinan pribadi. Ini bukan bentuk rasionalitas, melainkan ego yang dibungkus kata-kata logis.

Orang bijak tidak takut untuk berkata, “Saya tidak tahu.”
Orang bijak mendengarkan lebih banyak daripada berbicara.
Karena mereka tahu, pengetahuan sejati tidak datang dari opini,
tetapi dari kerendahan hati untuk belajar dan mengakui keterbatasan.

Stoikisme menuntun kita untuk tidak silau oleh keramaian suara, tetapi untuk mengejar kebenaran yang diam namun mendalam.

Di tengah era digital yang riuh, menjadi pemikir yang tenang adalah bentuk keberanian dan kebijaksanaan tertinggi.

Penulis adalah Direktur Studi Islam & Ilmu Filsafat
Pemerhati Sosial, Politik, Budaya, dan Isu Global Indonesia.