“Bagaimana bisa dapat ikan, kalau tidak ada minyak (BBM) untuk mesin yang dipakai turun ke laut,” ini yang acapkali terucap dari mulutnya, menjawab protes sang istri saat persediaan beras mulai menipis.
Faisal gelisah. Ia terus saja mondar-mandir dalam rumah berukuran kurang lebih empat kali enam persegi meter itu. Dari pintu depan, tak semenit kemudian dia sudah muncul lagi di pintu belakang. Ia terus memutar otak mencari cara menenangkan hati sang istri yang sedari sore uring-uringan.
Nyala pelita dari balik rumahnya yang berdinding papan nampak meliuk-liuk, perlahan redup tak kuat menahan terpaan angin. Persis seperti suasana hati Faisal ketika menghadapi masalah rumah tangga yang baru dibinanya kurang dari dua tahun itu.
Kalut, Faisal juga dilema. Untuk membeli beras lagi, dia harus kembali melaut dengan harapan bisa mendapatkan ikan untuk dijual kembali di pasar pekan di desanya, Kulingkinari.
Namun sudah hampir sepekan, ia tidak turun mencari nafkah dari pekerjaan rutin yang telah digelutinya sejak bujangan, karena tidak ada BBM yang tersedia di kios pengecer.
Uang untuk sekadar membeli BBM masih ada. Namun masalah selanjutnya datang. Jika uang seadanya itu harus dipakai membeli BBM, maka risiko tidak makan pun tak bisa dihindari.
Cerita singkat tentang pria bernama lengkap Faisal Daeng Mobate ini adalah bagian kecil dari masalah serupa yang dihadapi para nelayan di Desa Kulingkinari, Kecamatan Batudaka, Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Masalah berikatan satu dengan yang lain, sebelum Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga dibangun di desa yang memiliki luas hanya sekitar 5,78 kilometer persegi itu.
“Bagus kalau ada di kios. Kalau tidak ada, kami nelayan terpaksa menyeberang ke Ampana (Ibu Kota Kabupaten Touna) untuk beli minyak. Kami nelayan di sini memang sering mengalami kesusahan minyak,” tutur Faisal, ketika diwawancara, di Desa Kulingkinari, Selasa (01/11/2022).
Jika dipaksakan membeli BBM di Kota Ampana, maka para nelayan juga harus bersiap diri menghadapi masalah selanjutnya yang sudah mengantre di depan mata.
Persis di ujung tanjung Desa Kulingkinari, terhampar perairan Teluk Tomini yang kadang ramah dan teduh, namun tak jarang menjadi momok menakutkan bagi nelayan ketika kondisi alam di sekitarnya meleset dari prediksi.
Di samping biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk sampai ke Ampana, cuaca ekstrem badai dan ombak juga sering membuat nelayan berpikir panjang untuk memilih mengambil risiko menyeberang.
“Tapi itu lagi kalau ke Ampana, pasti banyak biaya lagi yang keluar karena menyeberang juga menggunakan perahu dan pasti pakai minyak. Ada biaya lagi yang keluar,” ujarnya.
Kata Faisal, BBM yang dipakai untuk mengisi mesin ketinting untuk menyeberang ke Kota Ampana rata-rata sebanyak 10 liter dengan waktu tempuh paling cepat 2 jam. 10 liter lagi kembali terpakai ketika kembali ke Kulingkinari.
Untuk menyiasati kekosongan BBM, dalam sekali menyeberang ke Ampana, para nelayan membeli stok lebih untuk persiapan pemakaian selama sepekan. Dalam sehari, para nelayan rata-rata menghabiskan BBM Pertalite atau Solar sebanyak lima liter.
“Jadi distok untuk satu minggu supaya tidak ke sana ke mari. Kalau cuaca buruk ya kita bermalam dulu di Ampana. Kalau bermalam, pasti ada lagi biaya untuk menginap dan makan,” cerita Faisal, mengenang masa-masa sulit sebelum ada SPBU di desanya.
Tapi gurat masalah di wajah Faisal mendadak pudar, tidak sama ketika ia bercerita susahnya mengais hidup di tengah keterbatasan. Wajahnya berganti sumringah, ketika ditanya apa yang terjadi dengan kehidupan nelayan setelah SPBU BBM Satu Harga dibangun di desanya, Juni 2022 lalu.
“Ada SPBU di sini, kita sudah lebih gampang dapat BBM. Dulu beli di pengecer, harganya juga sampai Rp13 ribu. Sekarang so sama dengan di Ampana, Rp10 ribu satu liter,” katanya senang.
Tak hanya memudahkan nelayan atau pemilik kendaraan untuk memperoleh bahan bakar, kehadiran SPBU di desa itu juga ikut meningkatkan pendapatan nelayan.
“Sekarang-sekarang ini rata-rata pendapatan so bisa sampe di atas Rp500 ribu satu hari,” katanya.
Abdullah, warga lain yang ditemui saat mengisi BBM di SPBU Batudaka, juga berkata sama. Ia menyampaikan rasa syukur dengan dibangunnya pom bensin (sebutan warga setempat untuk SPBU) di Desa Kulingkinari.
Abdullah tinggal di Molowagu (Ibu Kota Kecamatan Batudaka), sebuah desa yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari Kulingkinari.
“Alhamdulillah dengan ada SPBU ini lebih memperlancar pekerjaan, khususnya kami nelayan. Begitu juga dengan transportasi lebih lancar tanpa khawatir tidak dapat BBM,” kata pria paruh baya itu.
Dulu, kata dia, nelayan ataupun pengguna kendaraan harus membeli BBM di kios-kios. Selain harganya yang lebih mahal, kadang juga susah didapat.
“Biasanya nelayan kehabisan dan tidak bisa melaut. Kemarin sebelum ada SPBU Ini, harga eceran di botol antara Rp12 ribu sampai Rp13 ribu. Kita juga tidak tahu, itu cukup satu liter atau tidak,” katanya.
Memang, kata dia, di daratan yang sama dengan Batudaka juga terdapat SPBU BBM Satu Harga, tepatnya di Desa Wakai, Kecamatan Una-Una. Namun masyarakat lagi-lagi terkendala jarak yang cukup jauh dan infrastruktur jalan yang jauh dari kata memadai.
“Rusak parah jalannya. Ke sana bisa empat sampe lima jam. Kalau lewat laut, lebih baik kita ke Ampana lebih dekat,” katanya.
BUKA LAPANGAN KERJA BARU, SUPLAY BBM UNTUK LISTRIK DESA
Bangunan dan perangkat penunjangnya masih sangat terbatas. Oleh Pertamina Patra Niaga, SPBU mini milik PT Butol Raya Nusantara itu diberi kode 76.94606, Desa Kulingkinari, Kecamatan Batudaka.
Dibangun kurang lebih baru empat bulan lalu, kondisinya memang sangat sederhana. Dioperasikan secara manual karena keterbatasan aliran listrik, BBM yang diisi ke kendaraan, terlebih dahulu harus disedot dari tangki penampungan.
Jika banyak antrean kendaraan, maka tiga operator yang disiagakan terpaksa menggayung langsung dari drum yang disediakan, setelah diisi terlebih dahulu memakai ember.
Dari awal pun, kehadiran SPBU BBM Satu Harga di Batudaka adalah sesuatu yang tidak mungkin. Mengingat akses yang sulit dan infrastruktur yang minim, membuat masyarakat tak pernah menyangka akan ada SPBU yang dibangun di desanya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kulingkinari yang berjumlah 1.131 jiwa atau kurang lebih 400 Kepala Keluarga (KK) itu, SPBU itu juga melayani delapan desa lainnya yang ada di Kecamatan Batudaka, seperti Molowagu, Bomba, Tumbulawa, Patoyan, Malino, Siatu, Kambutu, dan Lindo.
“Masih manual ya, karena nggak ada listrik. Tapi walaupun kondisinya masih begini, kami menjamin harga BBM yang dijual sama dengan di kota. Pertalite dengan harga Rp10 ribu dan Bio Solar Rp6.800 per liter,” tutur Muhammad Iqbal Hidayatulloh, Communication and Relations PT Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi, saat mengunjungi SPBU BBM Satu Harga di Kecamatan Batudaka, sebelum diresmikan oleh BPH Migas.
Kata dia, dengan adanya SPBU Satu Harga ini, maka selain jangkauan BBM lebih dekat, harga bahan pokok juga bisa lebih ditekan.
“Juga membuka lapangan kerja baru, khususnya anak-anak muda yang dipekerjakan sebagai operator,” katanya.
Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan nelayan dan kendaraan, SPBU Batudaka juga menyediakan stok khusus untuk memenuhi kebutuhan listrik di dua desa, Patoyan dan Siatu.
“Sangat cukup. Karena dalam sebulan, kuota Pertalite-nya rata-rata sebanyak 60 ton dan Solar sebanyak 20 ton. Bahkan stoknya belum habis sudah tiba lagi penyaluran dari TBBM Poso,” terang Iqbal.
Memang, rata-rata desa yang ada di kecamatan itu sudah dialiri listrik dari PLN. Itupun malam, tidak di siang hari. Tidak pula bagi dua desa, Patoyan dan Siatu yang selama ini masih mengandalkan mesin diesel desa sebagai penerangan di malam hari.
Tak jarang, dua desa itupun gelap gulita karena tidak ada BBM untuk menjalankan mesin diesel.
Suparlan, salah tokoh masyarakat Batudaka membenarkan kondisi itu.
“Iyo kalau tidak ada minyak, mesin tidak bisa hidup sampai berapa malam,” katanya.
Kini, jika tidak ada kendala teknis dengan mesin, dua desa itu dipastikan akan terang hingga menjelang fajar, sesuai waktu operasional mesin yang ditetapkan oleh pemerintah desa.
Warga tak lagi khawatir beraktivitas dalam kegelapan atau harus bersusah-susah memasang lampu teplok untuk penerangan. Aktivitas malam layaknya sebuah desa di kepulauan pun bisa dinikmati dengan nyaman.
“Di luar kalau mesin rusak, tapi kalau gara-gara tidak ada BBM, bisa dikatakan tidak ada lagi masalah. Karena BBM sudah disediakan khusus oleh pengelola SPBU ini, jadi tidak mungkin kehabisan,” terang Suparlan.
Berkah tersendiri juga diperoleh Jumadil. Sebelum ada SPBU, pemuda Desa Kulingkinari berusia 25 tahun itu adalah buruh pelabuhan, atau oleh masyarakat setempat disebut buruh bodi (kapal).
Mata pencahariannya kala itu hanya berharap jika ada barang bawaan penumpang kapal yang dipikul.
“Pendapatan paling tinggi Rp20 ribu satu hari, kadang Rp5 ribu. Sering juga tidak dapat sama sekali,” ungkap Jumadil.
Ia bersyukur karena dipilih oleh pengelola SPBU menjadi salah satu operator pengisi BBM.
Meskipun belum memiliki tanggungan hidup istri atau anak, namun pendapatan yang diperolehnya sebagai operator SPBU, cukup memadai untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan hidup, termasuk adik-adiknya yang masih sekolah.
“Alhamdulillah, sudah jutaan saya dapat di sini karena digaji per bulan,” katanya.
Meski harus menyediakan tenaga ekstra untuk memompa minyak secara manual, namun pekerjaan itu diakuinya lebih baik daripada menjadi buruh bodi.
“Namanya pekerjaan pasti ada capeknya. Tapi capeknya di sini beda dengan kalau pikul-pikul bawaan penumpang kapal,” imbuhnya.
BBM SATU HARGA, UPAYA MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN EKONOMI MASYARAKAT
Program BBM Satu Harga digelontorkan pemerintah sejak tahun 2017. Dari awal diprogramkan, capaiannya hingga tahun 2021 sudah sebanyak 331 SPBU, dari total target kumulatif sebanyak 583 SPBU sampai akhir Tahun 2024.
Tahun ini, 47 SPBU kembali diresmikan di tiga titik, 11 titik di Sulawesi dan sisanya di Sorong dan Halmahera.
Dari 11 titik yang diresmikan di Sulawesi, delapan di antaranya berada di Sulawesi Tengah (Sulteng), terdiri dari lima SPBU di wilayah Kabupaten Touna, yakni di Kecamatan Batudaka, Togean, Walea Kepulauan, Talatako, dan Tojo.
Kemudian tiga SPBU lainnya ada di Kabupaten Banggai Laut tepatnya di Kecamatan Bangkurung, Labobo dan Bokan Kepulauan.
Sulteng termasuk daerah yang diprioritaskan, mengingat masih banyaknya wilayah yang berkategori 3T (Tertinggal, Terluar dan Terdepan). Dari total 42 titik SPBU BBM Satu Harga di Sulawesi, lebih separuhnya ada di Sulteng, yaitu 21 titik.
Menurut, Communication and Relations PT Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi, Muhammad Iqbal Hidayatulloh, Rabu (02/11/2022), khusus wilayah kepulauan Touna, pengiriman BBM menggunakan kapal tanker SPOB (Self-Propelled Oil Barge) dari Terminal BBM Poso, yang berputar mengelilingi pulau sampai di Andolong, daerah Togean.
“Untuk pengiriman ke pulau ini, tentunya ada tantangan-tantangannya, biasanya cuaca. Seperti yang ke Batudaka kemarin, biasanya pengiriman dalam kondisi normal hanya ditempuh dalam satu hari, sekarang ini ada cuaca ekstrem bisa tiga sampai empat hari,” ujarnya.
Terpisah, Fuel Terminal Manager Poso Group, Steven Viktor Lanumbuka, mengatakan, khusus wilayah kepulauan di Kabupaten Touna, pihaknya melayani lima SPBU yang kesemuanya menjual BBM satu harga.
“Tidak diantarkan dalam sekali jalan, karena masing-masing SPBU ada jadwalnya. Dalam sebulan, tiap SPBU dua sampai tiga kali pengantaran. Paling banyak Bio Solar rata-rata 52 kl dan Pertalite 24 kl, tapi memang beda-beda tiap SPBU,” katanya.
Rabu, 2 November lalu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) bersama Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi telah meresmikan secara simbolis 11 SPBU atau lembaga penyalur BBM Satu Harga yang dipusatkan di Desa Uekuli, Kecamatan Tojo, Kabupaten Touna.
Menurut Executive General Manager Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi, Erwin Dwiyanto, Pertamina sebagai BUMN selalu berperan aktif dalam mendukung program-program pemerintah, utamanya dalam peningkatan perekonomian dan akses energi berkeadilan di seluruh wilayah Indonesia.
Kata dia, program BBM Satu Harga tentu memberikan manfaat dan dampak positif yang sangat signifikan, yaitu mewujudkan kemandirian dengan menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik masyarakat.
“11 titik yang diresmikan hari ini adalah untuk menjamin harga yang setara dengan SPBU yang ada di kota,” jelasnya.
Dalam program ini, kata dia, Pertamina menanggung biaya distribusi secara keseluruhan, dari supply point terminal BBM terdekat dengan moda transportasi menyesuaikan masing-masing wilayah.
Tak hanya itu, kata dia, ada pula wilayah yang harus berganti moda transportasi atau multimoda, melalui medan yang jaraknya dekat, namun perlu berhari-hari untuk sampai ke SPBU karena jalan yang belum diaspal dan berlumpur di tengah hutan.
“Harapannya dengan semakin banyak lembaga penyalur yang harganya setara dengan di kota, biaya produksi bahan pokok dapat ditekan sehingga harga-harga di suatu wilayah semakin terjangkau,” katanya.
Di tempat yang sama, Bupati Touna, Mohammad Lahay, menyampaikan terima kasih atas diresmikannya SPBU BBM satu harga di daerahnya.
Kata dia, hadirnya program ini merupakan respon pemerintah atas kondisi ketimpangan atau ketidakadilan pada sektor energi yang jika ditangani secara lambat akan berpengaruh pada disintegrasi kebutuhan masyarakat yang berujung pada rendahnya tingkat kesejahteraan. (RIFAY)