PALU – Serangkaian regulasi yang mengatur tentang desa maupun pengelolaan dana desa yang bersumber dari APBN, dianggap menjadi salah satu penyebab banyaknya kepala desa (kades) yang menghuni jeruji besi atau penjara, termasuk di Sulteng.

Senator alias anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Sulteng, Nurmawati Dewi Bantilan (NDB), menyebutnya dengan istilah “pasien”.

Selain isinya yang tidak berbanding dengan sumber daya manusia para kades, deretan regulasi yang dimaksud, mulai dari undang-undang hingga peraturan menteri (permen), juga saling bertentangan satu sama lain.

“Khusus ekspektasi Undang-Undang tentang Desa, saya sangat khawatir para kades akan menjadi pasien penegak hukum. Para kades bisa terjebak karena tidak bisa menjalankan aturan yang ada,” ujar Nurmawati saat Dialog Publik Sosialisasi DPD RI, Senin (19/02). Dialog bertajuk “Mewujudkan Kinerja Konstitusional DPD RI” itu dikerjasamakan dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng.

Menurutnya, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta aturan turunannya secara signifikan mengubah sistem pengelolaan keuangan desa. Sebelum UU tersebut, pemerintah desa dalam mengelola keuangan dan perencanaan pembangunan desa berpedoman kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa.

Setelah diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 dicabut dan diganti Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Kemudian Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 diganti Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Perubahan mendasar sebagaimana dijelaskan diatas adalah perihal Belanja Desa.

“Kita coba bandingkan, perbedaan mendasar Permendagri Nomor: 37 tahun 2007 dengan Permendagri Nomor: 113 tahun 2014, adalah di belanja modal. Permendagri Nomor: 37 tahun 2007, tidaklah rumit. Aparatur pemerintah desa dalam hal ini sekretaris dan bendahara tinggal mengisi di format APBDes dengan Kode Rekening 2.1.3.3 tanpa harus dirinci penggunaannya. Sementara di Permendagri Nomor: 113 Tahun 2014 harus dirinci,” bebernya.

Yang jadi masalah, kata dia, apabila kegiatan tersebut telah dilaksanakan dan menggunakan penyedia jasa, tentunya sangat sulit sekali untuk merinci kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan.

Dia bahkan menyatakan, Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 “memaksa” pemerintah desa menerapkan pengadaan barang jasa dengan metode swakelola sehingga sesuai dengan format APBDes yang terlampir di Permendagri tersebut.

“Semua desa sama, harus membangun embung, padahal kondisi setiap desa tidaklah sama,” tekannya.

Berdasarkan hasil kunjungannya dibeberapa kabupaten di Sulteng, pemerintah desa yang dipilih langsung oleh masyarakatnya mengaku sulit melaksanakan fungsinya karena tidak semuanya memiliki kompetensi untuk membuat laporan keuangan.

Untuk itu, pihaknya sendiri sudah merencanakan akan mengajukan uji materil atas sejumlah aturan/juknis tentang desa yang saling bertentangan itu. (YAMIN/RIFAY)