Selama kurun waktu lima tahun terakhir, terdapat 19 kasus Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) ditangani Solidaritas Perempuan (SP) Palu. Dari 19 kasus tersebut, baru 13 yang sudah selesai penanganannya.
Proses penanganan dan koordinasi yang lamban antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta Kementerian Luar Negeri, menjadi faktor penghambat yang sering didapatkan selama penanganan kasus. Hal tersebut mempersulit penyelesaian kasus.
Selain itu, hambatan lainnya yakni adanya perbedaan aturan negara Indonesia dengan negara penempatan PPMI, serta dokumen identitas PPMI yang tidak lengkap, bahkan ada yang tidak berdokumen.
Dari enam kasus yang sedang ditangani, salah satunya adalah kasus yang menimpa FA, PPMI di Arab Saudi. FA dikenalkan ke calo Andi Senga pada bulan Februari 2022, oleh sahabatnya yang juga diberangkatkan Andi Senga.
Dalam kronologi yang dilaporkan kepada SP Palu, F.A sempat memastikan ke calo mengenai resmi atau tidaknya pemberangkatannya.
“Calo menjawab bahwa pemberangkatan itu resmi, dan F.A diberangkatkan ke Jakarta. Setelah satu bulan di Jakarta ia diberangkatkan ke negara penempatan pada tahun 2021 sekitar bulan Maret sebelum puasa,” terang Ananda Farah Lestari, Koordinator Program, SP Palu.
FA, kata dia, berangkat dengan rute dari Jakarta ke Jeddah. Bekerja di Jeddah selama 1 bulan, kemudian ia diberangkatkan ke Riyad.
FA bekerja sebagai pekerja rumah tangga dengan besaran gaji yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan
Gaji Tidak Dibayarkan, Disekap, dan Diberikan Makanan Sisa
FA dijanjikan gaji sebesar Rp5 juta, tetapi hanya mendapatkan Rp3 juta rupiah. Ia juga dipekerjakan berpindah-pindah rumah.
FA lalu meminta dipulangkan karena pekerjaannya tidak sesuai dengan janji, tetapi ia berakhir disekap oleh pihak agency (perusahaan perekrutan, penyalur pekerja migran) dalam ruangan sempit.
Selain itu, pada saat bekerja FA pernah terjatuh dan kepalanya terbentur di lantai, yang mengakibatkan ia sering mengalami sakit kepala. Namun ia tidak mendapatkan asuransi maupun perawatan.
Sebelum melaporkan ke SP Palu, keluarga dan PBM sudah berusaha menghubungi Andi Senga untuk meminta FA dipulangkan. Tetapi hanya sekedar mendapatkan janji manis.
Sejak tahun 2015, tidak ada pemberangkatan PMI untuk pekerja rumah tangga di kawasan Timur Tengah. Hal tersebut bedasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan terkait pelarangan pemberangkatan PMI ke kawasan negara Timur Tengah. Karenanya, keberangkatan FA tahun lalu dapat dipastikan ilegal.
“Karena ilegal, tentu ada dokumen yang tidak lengkap. Tetapi pemberangkatan PPMI tetap dilakukan oleh para sponsor secara unprosedural, dan hal ini marak terjadi di Sulawesi Tengah. Kalau paspor, visa ibu F.A ini lengkap,” jelas Ananda.
Saat ini, kata dia, FA berada di agency yang diketahuinya bernama SMASCO.SMASCO di Arab Saudi yang notabene memiliki penilaian yang bagus. Dua bulan lalu, sempat dilakukan penggrebekan dari kepolisian Arab Saudi, tetapi FA tidak ditemukan.
Menurut laporan dari FA kepada keluarganya sebelum penggrebekan dilakukan, ia telah dipindahkan. Sementara penggrebekan hanya dilakukan di lantai bawah.
Setelah pemeriksaan, FA diturunkan kembali, bergabung dengan teman-temannya sesama Pekerja Migran Indonesia. Mereka dijanjikan untuk dipulangkan ke Indonesia, namun ia dan 23 orang lainnya justru diminta untuk perpanjangan kontrak kerja. Beberapa orang menolak termasuk FA.
FA mengeluh sakit pula di bagian perutnya dan belum dilakukan pemeriksaan, sehingga ia menolak perpanjangan kontrak tersebut.
“Mereka yang menolak diasingkan ke lantai 13 dan HP mereka disita, dan diberikan makanan sisa. F.A berhasil menghubungi keluarganya secara sembunyi-sembunyi melalui teman sesama PBM yang tidak diasingkan. Gaji F.A juga belum di bayarkan,” lanjut Ananda.
SP Palu menerima laporan kasus FA tanggal 19 Desember 2022, kemudian tanggal 4 Januari SP Palu mendampingi keluarga FA melapor kepada Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sulteng.
5 Januari 2023, mediasi antara calo dan keluarga korban. Calo bejanji PBM akan dipulangkan dua pekan kemudian, tetapi hingga saat ini PBM belum tiba di daerah masing-masing.
Maret 2023, SP melakukan pelaporan dan audiensi kasus ke Kementerian Ketenagakerjaan RI. Kementerian berkomitmen untuk melakukan perlindungan kepada PMI, serta melakukan kordinasi dengan kemenlu.
29 April, pihak keluarga FA melakukan koordinasi terakhir dengan Andi Senga, dan Andi Senga menyampaikan bahwa FA akan dipulangkan tanggal 03 Mei 2023, tetapi hingga tulisan digarap, FA belum tiba.
“Kami menghubungi calo setiap hari, tetapi dia hanya bilang sedang proses dan sabar saja. Kami sekeluarga hanya ingin saudara kami dipulangkan secepatnya dalam keadaan sehat seperti sebelum berangkat di Timur Tengah satu tahun lalu,” pinta Suharni, keluarga FA, Kamis (04/05).
Suharni mengatakan, keluarganya terakhir kali berkomunikasi dengan FA dua hari pasca Idul Fitri. Dalam komunikasi terakhir mereka, FA tampak sakit, wajahnya pucat, tubuhnya makin kurus, dan ia masih disekap oleh SMASCO.
Selain di Arab Saudi, kasus PPMI yang kini sedang diadvokasi oleh SP Palu berada di Negeri Jiran, Malaysia.
Empat PPMI diketahui mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi, seperti pelarangan berkomunikasi dengan keluarga, jam kerja berlebihan, kekerasan verbal, intimidasi, tidak mendapatkan hak makan dan minum selayaknya, jika dianggap tidak mengikuti perintah majikan ataupun sponsor saat di agency, tidak mendapatkan hak atas perlindungan kecelakaan saat bekerja, dan gaji tidak dibayarkan.
Penyebab Perempuan Menjadi PPMI
Ada banyak alasan perempuan Indonesia mau berangkat menjadi PPMI ke luar negeri. Alasan yang dianggap paling relevan adalah hilangnya sumber-sumber kehidupan perempuan, seperti tanah yang dikelola menjadi sumber pangan, dan rendahnya tingkat pendidikan serta keterampilan perempuan. Kondisi ini memaksa perempuan mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan dan pangan keluarga.
Di sisi lain, perempuan mendapatkan banyak tawaran pekerjaan yang menggiurkan dari calo, pengurusan keberangkatan yang cepat. Parahnya, calo melakukan pembohongan bahwa pemberangkatan secara prosedural, sehingga membuat perempuan mengambil keputusan untuk bekerja ke luar negeri.
Sutuasi ini diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menekan laju pemberangkatan PPMI secara unprosedural.
Belum lagi adanya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara Kawasan Timur Tengah.
Kebijakan ini justru menyebabkan perempuan tidak bisa bekerja ke negara-negara kawasan timur tengah secara prosedural. Padahal negara-negara tersebut menjadi negara tujuan bekerja PPMI paling banyak.
“Karenanya, pada peringatan hari buruh sedunia, 1 Mei kemarin, kami menuntut satu, pemerintah daerah dan pusat harus melakukan langkah-langkah pemenuhan hak PPMI yang masih berjuang di negara penempatan, yang setiap saat nyawanya terancam, agar segera dipulangkan ke daerah asal dengan selamat serta dipenuhi haknya,” kata Ananda.
Selain itu, pihaknya juga meminta Pemprov Sulteng, khususnya Pemkab Sigi agar membuat Peraturan Bupati sebagai turunan dari Perda Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perlindungan Pekerja Migran, serta meminta Kementerian Ketenagakerjaan agar meninjau kembali Keputusan Menteri Nomor 260 Tahun 2015.
Reporter : Iker
Editor : Rifay