PADA buku historiografi Islam di Sulawesi Tengah telah banyak diungkapkan beberapa ulama yang mengenalkan agama Islam di Sulawesi Tengah. Penulis dalam negeri maupun penulis luar negeri, demikian juga peneliti akademisi maupun penulis amatir.
Salah satu di antara sekian penulis dan peneliti sejarah serta akademisi itu ialah dosen sejarah Universitas Tadulako (Untad) Palu Dr. Haliadi Sadi.
Dalam Seminar Nasional dengan tema ” Islam Tertua Nusantara Di Banggai Oleh Imam Sya’ban (168 H/792 M) Sulawesi Tengah Serambi Haramain (Mekkah dan Madinah) diadakan salahsatu kafe di Kota Palu, Rabu 23 Maret 2022 lalu.
Dr. Haliadi Sadi memaparkan hasil penelitian ia lakukan, dari hasil penelitian dilakukan agama Islam masuk dan berkembang di Sulawesi Tengah dalam tiga tahapan utama yakni tahapan mitologis ideologis dan tahapan ilmu pengetahuan.
Agama Islam di Sulawesi Tengah dibawa oleh seorang ulama bernama Imam Sya’ban 792 masehi (abad ke-8), kemudian lompat ke abad 17 yakni ulama Datu Karama atau Abdullah Raqie 1606 dengan mengenalkan agama Islam secara mitologis.
Kemudian agama Islam dikembangkan oleh orang-orang mandar termasuk Iboerahima putra mahkota Raja Wartabone dari Gorontalo 1812 termasuk juga Ahmad Lagong atau Pue Lasadindi dengan mengembangkan agama Islam secara ideologis.
Selanjutnya, agama Islam dikembangkan oleh Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dengan memperkenalkan agama Islam sebagai ilmu pengetahuan pada Perguruan Alkhairat 1930 termasuk murid-muridnya terkenal seperti Dg Maria Djaelangkara, KH. Awad Abdun, KH. Syakir Hubaib, lalu menyusul Muhammadiyah dan Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) di Sulteng.
Teori tentang mitos mempunyai sifat irasional sedangkan mitos juga berguna dan bermanfaat sebagai suatu konsensus. Pemikirannya diarahkan pada pemikiran reseptif artinya menerima segala sesuatu sebagai kodrat. Manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubahnya. Ia harus menerima apa adanya periode mistis Islam di Sulawesi Tengah sejak Imam Sya’ban pada abad ke-8 dan juga dinyatakan dalam riwayat pada abad ke-XVII datanglah sekelompok rombongan ke tanah Kaili tepatnya di ” Karampe ” (Bahasa Kaili berarti terdampar) yang terletak di muara teluk Palu.
Kelompok tersebut berjumlah kurang lebih 50 orang. Kemudian periode Islam ideologi memiliki sifat rasional dan subjektif serta berguna untuk sebuah kepentingan. Dalam ideologi mementingkan metodologi yang diarahkan pada hal-hal yang normatif.
Ideologi juga mengajarkan cara berpikir yang tertutup. Pada masa ini juga orang-orang Bugis, Makassar dan Mandar serta Gorontalo melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Sigi Sulawesi Tengah.
Selanjutnya periode ilmu pengetahuan ditandai dengan sifat yang objektif. Metodologi ilmu pengetahuan mementingkan yang faktual. Dalam ilmu diajarkan tentang cara berpikir yang terbuka. Periode ini agama Islam disebarkan oleh Sayyid Idrus bin Salim alAljufri atau lebih dikenal sebutan guru tua.
Makalah ini membuktikan bahwa terdapat kurang lebih 67 orang ulama Islam tersebar di Sulawesi Tengah. Dan ada sekitar 20 orang ulama agama Islam yang mengenalkan Islam di masa periode mitologis di Sulawesi Tengah diantaranya, Imam Sya’ban Banggai 168 Hijiriah/792 Masehi, Owutango Parigi Moutong, 1430-an, Maulana Husein ( Datu Mulla Husen ) Tojouna-una 1495, Sultan Muhammad Taher Waziruladhim Abdurrahman, Buol 1540-1560, Dai Malambang atau Sultan Eato, Buol 1560- 1592.
Kemudian, Mandapar (Wumbu Doi Godong), Banggai 1571-1601, Abdullah Raqie atau Datu Karama , Palu 1584-1709, Syekh Ma’ruf Sigi 1600- 1709, Syekh Abdul atau Datuk Mangaji, Parigi Moutong 1606, Pue Bulangisi atau Daeng Konda Palu 1660, Abukasim (Mumbu Sinamboken) Banggai 1705-1749, Imam Djalis Luwuk Banggai 1735, Sayyid Husen Jalaluddin Al-Idrus atau Topo Sakaya Ompa, Tavaeli Palu 1750-an, Andi Lacukku atau Pilewiti, Tojouna-una 1770-1778.
Syekh Lokiya atau Pue Imbatu Donggala 1790 an, Abdul Kahfi Banggai, Hamzah Abubakar Banggai, Tandualang, ( R.Husin) Banggai, Mian Ni Bungin atau Syekh Ja’far Batui Banggai dan Sangiang Kinambuka, Bungku.
Imam Syaban
Sejarah agama Islam di pulau Banggai atau kerajaan Banggai memiliki keunikan sendiri dan juga mengalami kesamaan dengan masuknya Islam di wilayah lain Sulawesi Tengah ditandai dengan adanya kuburan tua keramat.
Ada beberapa kuburan tua di wilayah Banggai antara lain disalahkan Lolantang di Toi-Toi yang pusarannya bertuliskan huruf Arab Melayu Ali Aku Dai 169 Hijiriah dan Selain itu pusaran berterakan Imam Sya’ban.
Demikian juga di pedalaman Mbolombong dan Solongan ada juga kuburan yang panjangnya berukuran 7 meter dan 5 meter lebarnya. Menurut keterangan kuburan ini adalah kuburan seorang wanita bernama Malikin Nuh.
Selain itu ada kuburan terdapat di Baakoyo (Kecamatan Bulagi) kuburan dari ulama Maulia sedangkan rekan lainnya bernama masing-masing Malia, Mamulia, Matowa dan Makoma mereka menyebarkan agama Islam di Bulagi. Pulau Banggai juga terdapat sebuah tanah di bagian arah pegunungan dari Lonas yang diinformasikan bahwa ada sebuah pekuburan seorang mubaligh berasal dari negeri Arab bernama Hamzah Abubakar.
Menurut masyarakat setempat bahwa Abubakar cucu dari Sayyidina Abubakar Siddiq R.A. akhirnya di wilayah liang diceritakan bahwa dahulu pernah bermukim seorang bergelar nabi tersebut masih ada di wilayah Basosol, kuburan Tumundo Makatolon di Bungin desa Baloyi, kecamatan Bulagi terdapat sebuah kuburan tua, dahulu daerah ini dinamakan Masih.
Sebab Tomundo Makatolon ini pernah membangun sebuah rumah ibadah masjid nama asli tumundo maka turun adalah Addin berasal dari Jawa. Minta sama juga tersebar di beberapa tempat yang menceritakan kuburan tua keramat seperti di kampung Mansalean pulau Labobo, di Bokan, di Mondono, kecamatan Kintom, di kampung Pala Pagimana dan di Toima, kecamatan Bunta.
Kuburan Imam Sya’ban di daerah Toi-Toi pulau Peling, kabupaten Banggai Kepulauan berangka tahun 168 Hijiriah. Petunjuk angka tahun 168 Hijriyah pada batu nisan an-najah hari wafatnya pemilik kubur sehingga dapat dipastikan bahwa Islam masuk ke daerah ini berkisar 12 abad.
Secara arkeologis kuburan Imam Sya’ban berbentuk perahu dengan tulisan Arab Melayu di bagian depan nisan maupun bagian belakang nisannya. Nisan bagian depan bertuliskan nisan ini mengingatkan bagi siapa saja, pesan kepada handai tolan dan kepada sesama manusia manakala hendak bertahlil dikuburnya harus karena Allah dan Rasulnya.
Nisan di kaki waktu meninggalnya Imam Sya’ban hari Rabu 04.00 WITA sore , 168 Hijiriah, meninggalkan dunia fana menuju alam baka dan innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Tunjuk angka 168 Hijriyah pada batu nisan dapat dipastikan bahwa Islam masuk ke daerah ini berkisar abad ke-8 atau 672 Masehi.
Pada situs memuat kuburan Imam Sya’ban oleh masyarakat setempat selalu dinyatakan bahwa, dengan ini dapat disimpulkan basis penyebaran Islam pertama di wilayah Indonesia Timur atau mungkin sampai pada Indonesia bagian barat dimulai dari kerajaan Banggai.
Selain itu jika kita melihat dari situs yang ada maka ini bisa disimpulkan sebagai salah satu situs Islam tertua di Indonesia. Sebab penulisannya menggunakan Arab Melayu dan sepertinya bisa dikatakan sebagai peninggalan tulisan Arab Melayu tertua di Nusantara.
Sedangkan dari sekian banyak situs yang ada termasuk situs berada di daerah Sumatera lebih banyak menggunakan tulisan Arab dengan motif Persia. Jika kita mempelajari sejarah Persia/Iran sendiri baru masuk sebagai wilayah kekhalifahan muslim pada zaman Khalifah Umar bin Affan sekitar 16 Hijiriah. Kerajaan kecil Islam Persia baru mulai berkembang saat kekhalifahan di Baghdad mulai melemah sekitar abad ke 3 Hijiriah atau abad IX M.
Sementara untuk peradaban Islam Persia yang mempunyai pengaruh besar di dunia islam baru dimulai sekitar abad ke- XIII M yaitu itu sejak berdirinya kerajaan Safawi. Jika demikian maka kerajaan Islam Persia Iran masih sangat muda jika harus menyimpulkan sebagai penyebar Islam di Nusantara. Bila kita melihat tahun meninggalnya Fuaddin yaitu 68 H/678 M, Maka sangat dimungkinkan Banggai telah menjadi kerajaan Islam sejaman dengan kekhalifahan Umayyah dan persia pada saat itu belum memiliki kerajaan Islam karena masih di bawah kekuasaan kerajaan Bani Umayyah.
Memori kolektif masyarakat Banggai ini merupakan informasi penting untuk masuk dan berkembangnya Islam awal di Indonesia Timur terutama di Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah. Hal ini didukung oleh tulisan yang belum diterbitkan oleh Sjarfien Mohammad Saleh Dalam tulisannya berjudul ” Na Isi laaman Ko Banggai 1990.
Informasi ini merupakan sejarah penting untuk masuk dan berkembangnya agama Islam di provinsi Sulawesi Tengah maupun di Indonesia. Namun informasi ini memiliki tantangan penting sebagai salah satu sumber oral history maupun sumber manuskrip karena dua alasan utama yakni pertama belum dijangkau oleh sumber tertua untuk Banggai terutama catatan Negarakertagama.
Catatan Negarakertagama disebutkan bahwa Benggawi (Banggai) pernah bergabung dengan kerajaan Majapahit setidaknya seperti tertulis dalam Negarakertagama kitab dengan tarik tahun saka 1287 atau 1360 Masehi.
Dalam karya gubahan Mpu Prapanca ini tepatnya syair Nomor 14 bait ke- 5 tergurat rangkaian aksara Pallawa di mana dicantumkan nama Benggawi sebagai salah satu wilayah berhasil disatukan oleh Majapahit. Nukilan naskah kuno ditulis dalam bahasa Sansekerta itu berbunyi sebagai berikut Ikan Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun, Benggawi, Kunir, Galiayo, Murang Ling, Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tilang, I Wandleha , Athwa , Maloko, Wiwawunri Serani Timur Ningagaku Nusantara.
Kedua tulisan manuskrip di kuburan tersebut menggunakan aksara Serang atau Arab Melayu padahal aksara ini baru muncul sekitar abad ke-12 aksara Arab Serang masuk ketika orang Bugis Makassar telah menjadi perkataan Serang ada beberapa pendapat diantaranya adalah Mattulada (1985:10) mengatakan bahwa orang Bugis Makassar pada awalnya banyak berhubungan dengan orang-orang Seram yang lebih dahulu menerima agama Islam.
Di seram sendiri memang huruf Arab Melayu Jawi itulah yang dipakai dalam menyebarkan agama Islam. 2 tantangan ini kami maksud sebagai bentuk ujian bagi sumber lokal kuburan Imam Sya’ban di Banggai sebagai salahsatu jejak Islam Kosmopolitan dalam jalur rempah di Indonesia.
Kuburan Imam Sya’ban di daerah Toi-Toi , pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepulauan yang berangkat tahun 168 Hijiriah. Hal ini menunjukkan 168 Hijirihah sudah masuk Islam di Banggai karena pada batu nisan sebagai tanda hari wafatnya pemilik kubur sehingga dapat dipastikan bahwa Islam masuk ke daerah ini 168 hijiriah atau 792 Masehi abad ke-VIII.
Sementara itu selama ini yang menjadi patokan masuknya Islam di Indonesia adalah temuan H. Abdul Malik Karim Amrullah dapat bahwa pada 48 Hijiriah atau setara 672 Masehi sebuah naskah Tiongkok mengabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab telah bermukim di pantai barat Sumatera (Barus). Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk wilayah kerajaan Sriwijaya.
Pada 30 Hijiriah atau 651 Masehi semasa pemerintahan pemerintahan khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M) memerintahkan mengirimkan utusannya Muawiyah Bin Abu Sufyan ke tanah Jawa yaitu Jepara pada saat itu namanya Kalingga. Hasil kunjungan duta Islam ini adalah Raja Jay Sima, Putra ratu Sima dari Kalingga masuk Islam.
Namun menurut Hamka sendiri itu terjadi 48 Hijiriah atau 672 Masehi. Berdasarkan bukti-bukti ini berarti bahwa Islam masuk ke nusantara atau Indonesia pertama kali terjadi adalah di Barus 48 Hijiriah atau 672 Masehi, kemudian menyusul kedua Imam Sya’ban di Banggai 168 Hijiriah atau 792 Masehi atau abad ke VIII.
Kalau jalur digunakan oleh Imam Sya’ban sebagai jalur rempah berarti jalur hangat ini sudah berlangsung sekitar abad ke-8 sudah sampai ke Timur Nusantara atau Indonesia.
Penulis: IKRAM