Di sebuah desa sudut timur Sulawesi Selatan, terhampar kaku di kaki langit bukit yang sedang tidur, terbujur lelap di rentang waktu yang sangat panjang.
Hanya angin yang kerap menyapa, mengusap padang ilalangnya. Sesekali api juga ikut melahap. Gersang, kritis tanahnya, retak jika kemarau panjang. Tak memberi harap apa-apa bagi penghuni desa yang berdiam di lerengnya.
Di desa ini, kehidupan seperti terjeda, menunggu tangan dingin yang sudi menyentuh dan menyadarkannya kembali dari masa “koma” yang lama.
Ini Desa Tabarano di Kecamatan Wasuponda, Kabupaten Luwu Timur. Beginilah kondisi yang dialami selama beberapa tahun silam. Sebelum akhirnya di satu waktu, tahun 2022 tepatnya, datang sebuah perusahaan yang tak hanya bermodal ide dan teori, namun membawa niat baik dan komitmen.
Kehadiran perusahaan pelopor pertambangan berkelanjutan -PT Vale Indonesia Tbk- adalah jawaban atas gagasan nekat sang kepala desa untuk bersama menanam niat baik di atas lahan beralaskan bebatuan itu, lewat bibit-bibit pohon nanas.
Terukir harapan, agar nanas yang tumbuh bukan sekadar buah, tapi simbol perubahan nasib di masa mendatang.
Kini, meskipun di beberapa bagian yang mengarah ke kaki bukit, terlihat deretan nanas yang daunnya menguning, bahkan ingin layu, tapi itulah penanda awal perjuangan yang belum sempurna.
Di sisi yang lain, ketika rehat sejenak dan menatap jauh, maka mata akan disuguhkan hamparan hijau dedaunan bermahkotakan buah nanas segar.
Tanah yang dahulu sepi dari kehidupan dan menjadi langganan si jago merah, kini telah bersaksi, bercerita tentang keyakinan, keberanian mencoba, dan semangat yang kuat, bahwa seburuk apapun, nasib itu bisa diubah menjadi lebih baik.
Lima hektar wilayah perbukitan Desa Tabarano telah dipenuhi nanas. Tak banyak yang menyangka, lahan kritis ini telah berubah layaknya taman. Sejauh mata memandang, di lokasi yang mereka namai Agrowisata Kebun Nanas Ponda’ta ini, tumbuh subur kurang lebih 26 ribu pohon nanas yang sebentar lagi akan panen.
Panen perdana telah dilakukan beberapa tahun lalu. Kurang lebih 2000 pohon dihasilan dari kebun itu. Hasilnya pun telah dinikmati, meski belum seberapa.
Senyum ibu-ibu, bahkan lansia di Desa Tabarano mulai merekah setelah panen perdana. Ide-ide cemerlang selanjutnya pun diramu.
Produk turunan nanas telah dibuat, sistem pengairan telah dibangun. Sebentar lagi, rumah produksi, bangunan pengolahan kompos, rumah maggot, dan nursery pembibitan akan menyusul.
GELIATKAN DESA TERTINGGAL MENJADI TERDEPAN
Perempuan tangguh berusia 50 tahun itu bercerita sepintas tentang pahit getirnya memikirkan kehidupan masyarakatnya, termasuk bagaimana membuat lahan tidur di wilayah perbukitan itu bisa diolah dan menjadi produktif.
Dia Rimal Manuk Allo, Kepala Desa Tabarano dua periode, si pengusul ide “gila” menanam pohon nanas di lahan kritis penuh ilalang.
“Ini (lahan) milik masyarakat yang dulunya adalah lahan tidur. Lahan ini tidur, bukan karena tidur begitu saja karena dibiarkan, tapi warga kami sudah berupaya menanam tanaman jangka panjang dan lainnya, tetapi mati,” cerita Rimal, di lokasi Agrowisata Kebun Nanas Ponda’ta, belum lama ini.
Ia bersyukur karena masih ada harapan untuk membuat lahan itu menjadi produktif. Walaupun kadang ia lelah mendengar kalimat pahit dari sebagian masyarakat, bahwa menamam tanaman produktif di atas lahan kering adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
“Jujur saja, awalnya ada masyarakat yang nyindir, tanam nanas di musim kemarau, mana ada hidup. Sekarang buktinya tidak ada yang mati,” katanya.
Pemerintah desa bahkan harus memutar otak mengeluarkan anggaran yang cukup banyak untuk mengantisipasi datangnya api, mengingat ilalang yang tumbuh subur di lokasi itu menjadi lalapan paling nikmat bagi api ketika musim kemarau datang.
“Sering kebakaran di tempat ini karena di sini adalah wilayah Silika, padang rumput yang tumbuh di atas bebatuan. Masyarakat resah setiap mau kemarau, jadi kami harus keluarkan anggaran cukup banyak untuk mengantisipasi kebakaran,” ungkapnya.
Ia mengakui, apa yang dilakukan hanya bermodalkan nekat. Belum ada gambaran sama sekali terkait apa yang bisa dilakukan untuk pengembangan ke depan.
“Jadi modal nekat dan salah satu yang memotivasi karena sindiran-sindiran dari masyarakat. Jadi jangan heran kalau beberapa pohon, warna daunnya kuning karena memang itu hasil dari modal nekat, belum ada pendampingan dari PT Vale,” katanya.
Berawal dari kenekatan, ia lalu terhubung dengan bagian Social Development Program External Relation PT Vale, tahun 2022, meminta agar didampingi membudidayakan nanas. Angin segar datang seiring respon baik dari PT Vale untuk mau terlibat langsung.
“Ini salah satu kemitraan yang sangat kami harapkan untuk pemberdayaan di wilayah kami,” ujar kades perempuan yang oleh warganya akrab disapa “Mama Desa” itu.
Kerja samapun terjalin. Diawali pengadaan bibit, dilanjutkan dengan pelatihan budidaya dan pengolahan, juga pendampingan langsung serta bantuan infrastruktur pendukung, seperti pengairan yang bisa sampai ke wilayah perbukitan, tempat nanas-nanas itu ditanam.
Dari keterlibatan PT Vale, pemerintah desa pun ikut memberdayakan masyarakat, baik untuk pemasangan jaringan air maupun terjun langsung dalam proses pemeliharaan nanas.
Baginya, keberadaan PT Vale secara langsung telah memberikan kontribusi untuk masyarakat. Mereka, anak-anak muda, ibu-ibu, hingga lansia, terlibat langsung merasakan suka duka menanam, memelihara, hingga memetik hasilnya dan menjadi bagian dari pengelola produk turunan dibawah dampingan PT Vale.
Jangan ditanya kontribusi kebun nanas itu bagi pendapatan asli desa (PAD). Belum seberapa, kata Rimal. Tapi bagi dia dan kebanyakan masyarakat, bukan PAD tujuan utama. Niat awal adalah bagaimana bisa mengangkat ekonomi masyarakat, sejengkal demi sejengkal.
“Dari sisi ekonomi masyarakat, tentu ada perubahan karena kami bisa mempekerjakan orang di sini. Walaupun mungkin baru satu dua orang kita bisa hidupi, itu sudah hal yang sangat baik daripada mereka selalu menengadah minta BLT, minta PKH,” katanya.
Ia optimistis, ketika masyarakat bisa makan, bisa tidur tenang tanpa terbebani biaya hidup, maka urusan PAD pasti akan terjawab dengan sendirinya.
Mengingat lahan yang digunakan adalah milik warga, maka pihaknya telah membuat semacam MoU, yang di dalamnya mengatur bagi hasil dari perkebunan nanas. Hasilnya akan dibagi, untuk pemilik lahan, untuk operasional, dan untuk desa dalam hal ini Bumdes selaku pengelola.
Perubahan nyata itu sangat dirasakan oleh Rimal Manuk Allo. Jika dibandingkan dengan periode pertama kepemimpinannya tahun 2013 silam, sangat jauh perbedaannya.
Kala itu, Desa Tabarano masuk kategori desa tertinggal berdasarkan Indikator Desa Membangun (IDM) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Tak banyak yang bisa dia lakukan ketika itu karena harus berbenturan dengan pemenuhan kebutuhan dasar warganya. Ia harus mengurus pengadaan MCK (mandi, cuci, kakus) dan pengadaan instalasi air bersih dalam desa.
Tapi kini, desa tertinggal itu sudah naik kelas menjadi desa mandiri. Diakui, sebagain besar tak luput dari intervensi PT Vale lewat program-program CSR-nya.
PT Vale melalui Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan telah mengisi sebagian lahan “bengkok” di Desa Tabarano, dengan membuatkan ruang kelas belajar (RKB) tingkat PAUD dan TK.
“Tentu ini bukan karena kekuatan saya sebagai kepala desa, tetapi semua mitra dan juga masyarakat mendukung,” kata peraih peringat kedua kepala desa perempuan inspiratif se Indonesia ini.
Tersirat harapan kepada PT Vale, agar intervensi untuk pengembangan agrowisata nanas itu, terus belanjut.
Ke depan, masih ada beberapa rencana yang harus direalisasikan, seperti tempat pengolahan kompos, rumah maggot, rumah produksi turunan nanas, serta nursery agar bisa memproduksi bibit sendiri dan tidak bergantung lagi dari daerah lain.
“Untuk sementara ini, kami masih menggunakan kompos dari Sidrap. Jadi harapannya ke depan, karena kami juga masih memiliki enam hektar lagi lahan tidur, nanti itu khusus untuk penangkaran sapi dan kambing untuk menghasilkan kompos sendiri. Ini juga bisa jadi cara untuk memberdayakan masyarakat,” imbuhnya.
Dalam melakukan pendampingan, PT Vale tidak asal-asalan. Perusahaan ini tetap memperhatikan hasil maksimal tanpa harus mengaplikasikan bahan kimia.
Yohanis Gusti, selaku kepala dusun sekaligus Ketua Kelompok Budidaya Nanas, menyampaikan, kebun nanas dikelola secara alami, sehingga hasil panennya juga organik, tanpa pestisida.
“Ini anjuran PT Vale agar tidak menghasilkan nenas yang tidak original. Jadi kami harus betul-betul fokus untuk itu. Sistem organik. Makanya hasil olahan turunannya juga tidak dikhawatirkan akan ada efek samping, karena organik semua. Original, asli, rasa nenas,” katanya.
Ia pun mengakui belum banyak hasil atau pendapatan dari panen perdana yang telah dilakukan. Tapi ia yakin, melihat kondisi tanaman yang tumbuh dengan baik, seiring permintaan pasar yang semakin banyak, di musim panen selanjutnya, hasilnya sudah bisa dirasakan masyarakat desa.
“Harus bersabar karena akan indah pada waktunya,” katanya sambil tersenyum
Masih di tempat yang sama, Anggota Kelompok Pengelolan Produk Turunan Nanas, Gilda, mengatakan, ia bersama ibu-ibu di desa itu telah memulai membuat produk turunan nenas, di awal tahun 2024.
Produk pertama yang dibuat adalah selai, berlanjut ke minuman nanas, dan dodol nanasm, asinan nanas. Mereka juga berencana membuat keripik nanas.
“Selai ada dua macam, ada yang dia teksturnya agak basah untuk spread olesan roti, kemudian ada selai yang teksturnya agak padat untuk produk nastar,” katanya.
Ia menyampaikan produk andalan yang telah dibuat, yaitu dodol nanas. Produk ini belum ada sebelumnya.
“Selama ini kan yang kita tahu dodol itu ya dodol ketan. Memang bahan bakunya sama-sama ketan, tapi kami menambahkan nanas sehingga menghasilkan cita rasa yang lain yang unik dan enak,” ujarnya.
Ia meyakini, produk yang dihasilkan bisa bersaing karena semuanya dari bahan alami. Tanpa pewarna, tanpa pemanis buatan.
“Tentu harganya bisa lebih mahal karena memang original. Ada juga minuman lain selain nanas. Minuman herbal,” tutup Gilda.
TEKAD MENGEMBALIKAN WASUPONDA KE FILOSOFI ASLINYA
Tabarano, desa berpenduduk 3677 jiwa ini merupakan salah satu dari enam desa yang ada dalam wilayah administrasi Kecamatan Wasuponda, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa ini hasil pemekaran dari Ledu-Ledu.
“Secara kearifan lokal, Wasuponda dulu sebelum banyak pemukiman, di mana-mana banyak sekali nenas. Di setiap rumah itu bahkan menjadi pagar-pagar rumah karena nanas mudah sekali tumbuh di tanah Wasuponda ini,” ungkap Sainab Husain Paragay, Senior Coordinator PTPM Livelihood, di Social Development Program External Relation PT Vale.
Bukan tanpa sebab sehingga pohon-pohon nanas begitu gampang tumbuh di bumi Wasuponda. Ada filosofi yang mendasari di balik namanya.
“Kalau diartikan dalam Bahasa Padoe, Wasuponda ini diambil dari kata Wasu yang artinya batu dan Ponda yang berarti nanas. Jadi secara istilah, Wasuponda ini artinya nanas yang tumbuh di atas batu,” terang Sainab.
Sayangnya, kata dia, dalam kurun waktu beberapa tahun ini, nanas-nanas tidak mudah lagi ditemui di Wasuponda, termasuk di Tabarano.
“Banyak orang luar yang datang bertanya ke saya, ini kan namanya Wasuponda, nanas di atas batu, tapi kok tidak ada nanas yang bisa kita bawa pulang jadi oleh-oleh,” katanya.
Ia pun tergerak untuk menghadirkan kembali perkebunan nanas di wilayah Wasuponda. Bak gayung bersambut, keinginan itu ternyata berjalan beriringan dengan ajakan dari Kades Tabarano untuk memanfaatkan puluhan hektar lahan tidur menjadi kebun nanas.
PT Vale melalui bidang yang dikoordinirnya pun melibatkan diri mengembangkan budidaya tanaman nanas di Tabarano.
“Lahan di sini bukan sekadar kami katakan kritis, tapi karena memang ada dasar teoritisnya. Kita sudah melakukan penelitian untuk melihat berapa sebenarnya PH tanah yang ada di sini,” ujarnya.
PH tanah di bawah 4, menjadikannya sangat asam. Kondisi yang membuat tidak banyak tanaman produktif bisa tumbuh dengan baik, apalagi tanpa treatment yang tekun.
“Karena itulah menjadi lahan tidur. Yang tumbuh itu hanya perdu dan ilalang,” jelas Sainab.
Ajakan Kades Tabarano pun disahuti dengan melakukan kajian lebih dulu, agar bisa diketahui bahwa yang dilakukan sudah tepat dan metode apa yang cocok.
“Kita lakukanlah, desa bersama PT Vale kemudian membentuk kelompok, terus kita latih dengan mendatangkan ahli di bidang pertanian. Kelompok ini lalu diberikan pengetahuan dan pendampingan,” ujarnya.
Dari waktu ke waktu, titik terang sudah terlihat. Ada secercah harapan bahwa nanas yang telah ditanam bisa tumbuh baik di sini. Dibentuk lagi kelompok pengelola produk turunan nanas.
“Memang awalnya kita juga banyak mendapat sorotan. Tapi saya bilang, kita upayakan saja. Ketika kita niatnya baik, ya Insya Allah hasilnya baik,” kata Sainab.
Ada raut haru yang tergambar dari wajah Sainab, ketika bercerita tentang suka duka dan keberhasilan yang dicapai sejauh ini. Belum lagi, kata dia, banyak sekali pihak-pihak dari luar yang memesan buah nanas bersama produk turunannya itu.
“Nanti akan banyak lagi inovasi yang akan kita lakukan di sini. Kita akan membangun rumah maggot dan rumah kompos. Saat ini sementara dikerjakan, sudah ada pondasinya,” kata dia.
Tak hanya itu, PT Vale bersama Pemerintah Desa Tabarano juga akan mengembangkan nanas lokal, sebagai maskot Kecamatan Wasuponda.
“Kami bersyukur ini sudah berjalan baik. Dan yang paling penting adalah sudah terjadi guyub yang sangat baik sekali, gotong-royong dilakukan setiap minggu oleh seluruh warga. Jadi tidak hanya kelompok tetapi seluruh masyarakat Tabarano juga ikut men-support program ini,” tandasnya.
SALING SUPPORT ANTAR DEPARTEMEN
Pengembangan kawasan agrowisata kebun nanas di Desa Tabarano ternyata tidak semudah membalikkan tangan.
Di balik pemandangan kebun nanas yang terlihat apik itu, ada sentuhan tangan-tangan terampil yang ikut serta membersamai.
Di kebun nanas ini, ada paving block yang tertata rapi, jalan tak beraspal namun padat di sela pohon nanas. Belum lagi pupuk kompos yang dipakai sebagai treatmen tanaman, juga ban bekas yang didesain menjadi tempat istirahat pekerja, lengkap mengisi areal itu.
PT Vale, dalam hal ini PTPM Livelihood, Social Development Program External Relation tak berjalan sendiri. Ada support bidang lain di PT Vale yang ikut terlibat di sana, salah satunya adalah Departemen Sustainability.
“Mungkin ada beberapa pengetahuan dari kami yang bisa dibagikan kepada masyarakat untuk mendukung program inovasi sosial dari teman-teman external relation yang berhubungan dengan pertanian,” kata Spesialis Environment Sustainable, Departemen Sustainability PT Vale, Riski Pratiwi.
Semisal, kata dia, di departemen yang menaungi Taman Kehati, terdapat tenaga ahli yang paham tentang teknik pertanian atau pembibitan tanaman.
“Ada juga segregation, di sana kami juga punya resource yang memiliki pemahaman tentang pembuatan kompos, termasuk mengintroduksikan teknologi maggot dalam proses pembuatan kompos,” ujarnya.
Kerikil-kerikil yang menjadi pengeras jalan serta bahan pembuatan paving block juga berasal dari PT Vale. Bukan kerikil dan paving blok biasa, tapi menggunakan material dari limbah slag PT Vale.
“Slag ini memiliki karakteristik keras dan mampu menahan tekanan yang berat sehingga baik digunakan untuk material konstruksi, salah satunya bisa dijadikan paving block dan untuk pengerasan jalan,” ujar Kiki, sapaan akrabnya.
Paving block tersebut sudah memenuhi standar mutu A, dengan kuat tekan lebih dari 40 MPa.
Sampai saat ini, PT Vale telah mendonasikan hampir 4 ton slag ke perkebunan itu. Dari sisi regulasi, PT Vale juga sudah memiliki izin pemanfaatan slag untuk material perkerasan jalan.
“Jadi dari Vale mungkin sudah menjadi limbah yang tidak diperlukan lagi, tapi ternyata di masyarakat masih memiliki nilai manfaat. Tentu ini sejalan dengan semangatnya Vale, Zero Waste to Landfill. Jadi dengan memanfaatkan limbah-limbah yang ada, maka semakin sedikit sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir,” pungkasnya.