Di antara nabi-nabi besar yang Allah utus kepada manusia, Nabi Isa ‘alaihissalam menempati kedudukan yang sangat mulia dalam Islam.

Umat Islam wajib mengimani beliau sebagai salah seorang rasul Ulul Azmi, mencintainya, memuliakannya, serta meyakini seluruh berita yang sahih tentangnya sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam.

Namun, kecintaan dan pemuliaan itu tetap berada dalam koridor tauhid, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas.

Nabi Isa dilahirkan tanpa ayah dari seorang wanita suci, Maryam ‘alaihassalam. Kelahiran ini bukanlah bukti ketuhanan Isa, melainkan tanda kekuasaan Allah yang Mahasempurna.

Allah menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu, Hawa dari laki-laki tanpa perempuan, dan Isa dari perempuan tanpa laki-laki. Semua itu menunjukkan bahwa Allah Maha Berkuasa menciptakan dengan cara apa pun yang Dia kehendaki.

Allah berfirman: “Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya: ‘Jadilah!’ maka jadilah ia.” (QS. Ali Imran: 59)

Ayat ini menegaskan bahwa kelahiran Nabi Isa adalah mukjizat penciptaan, bukan dasar untuk menempatkannya sebagai Tuhan.

Dalam ajaran Islam, inti kedudukan Nabi Isa adalah sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan rasulullah (utusan Allah). Bahkan ketika masih dalam buaian, Allah mengabadikan ucapan Nabi Isa: “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Dia memberiku Kitab dan Dia menjadikanku seorang nabi.” (QS. Maryam: 30)

Pengakuan ini sangat tegas bahwa sejak awal Nabi Isa memperkenalkan dirinya sebagai hamba Allah, bukan sebagai Tuhan, apalagi anak Tuhan.

Seluruh dakwah beliau berporos pada satu inti ajaran: menyeru manusia agar menyembah Allah semata dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan.

Sebagaimana nabi-nabi sebelumnya, Nabi Isa diutus untuk mengajak Bani Israil kembali kepada tauhid yang lurus.

Beliau membenarkan Taurat yang ada sebelumnya dan membawa Injil sebagai petunjuk dan cahaya. Namun, inti dari semua risalah itu tetap sama: menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.

Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Maryam: 36)

Inilah inti dakwah Nabi Isa yang sejati menurut Islam, sebuah seruan tauhid yang jernih dan tegas.

Allah mengaruniakan kepada Nabi Isa berbagai mukjizat yang luar biasa: menyembuhkan orang buta sejak lahir, menyembuhkan penyakit kusta, menghidupkan orang mati dengan izin Allah, serta mengetahui apa yang disimpan manusia di rumah mereka.

Semua mukjizat itu terjadi bi-idznillah (dengan izin Allah), bukan karena kekuatan diri Nabi Isa sebagai Tuhan.

Hal ini mengajarkan kepada umat Islam bahwa setiap keistimewaan yang dimiliki seorang nabi adalah anugerah dari Allah, bukan bukti ketuhanan.

Mencintai Nabi Isa adalah bagian dari iman. Seorang Muslim belum sempurna imannya jika ia mengingkari kenabian Nabi Isa atau merendahkan kedudukannya.

Namun, Islam juga melarang sikap ghuluw (berlebihan) dalam memuliakan seorang nabi sampai mengangkatnya ke derajat ketuhanan.

Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Hadis ini sekaligus menjadi kaidah besar dalam memandang seluruh nabi: dimuliakan, dicintai, diteladani, tetapi tidak disembah.

Dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Nabi Isa tidak wafat dibunuh atau disalib, tetapi diangkat oleh Allah. Di akhir zaman, beliau akan diturunkan kembali ke bumi sebagai tanda besar dekatnya hari kiamat.

Kelak Nabi Isa akan menegakkan keadilan, mematahkan salib, membunuh Dajjal, dan memerintah dengan syariat Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam.

Ini menunjukkan bahwa beliau adalah hamba Allah yang tunduk kepada hukum Allah, bukan Tuhan yang disembah.

Dari sosok Nabi Isa ‘alaihissalam, umat Islam mendapatkan banyak pelajaran agung, seperti keteguhan dalam tauhid, meskipun menghadapi penentangan keras. Kesabaran dalam dakwah, meski sedikit pengikut dan banyak ujian.

Tak hanya itu, kesederhanaan hidup dan kezuhudan, jauh dari kemewahan dunia juga menjadi teladan yang bisa dipetik, serta ketundukan total kepada Allah, dalam segala keadaan.

Meneladani Nabi Isa berarti meneladani keteguhannya dalam keimanan, bukan mengubah kedudukannya melebihi batas yang telah Allah tetapkan.

Nabi Isa ‘alaihissalam dalam pandangan Islam adalah hamba Allah yang suci, rasul yang mulia, pembawa risalah tauhid, dan salah satu nabi besar yang wajib diimani oleh setiap Muslim.

Islam menempatkan beliau pada kedudukan yang sangat terhormat tanpa mengangkatnya ke derajat ketuhanan.

Inilah keseimbangan aqidah Islam: memuliakan tanpa mengkultuskan, mencintai tanpa menyekutukan Allah.

Semoga Allah meneguhkan hati kita di atas tauhid yang lurus, memantapkan kecintaan kita kepada seluruh nabi dan rasul-Nya, serta menjauhkan kita dari segala bentuk penyimpangan dalam akidah. Wallahu a’lam

RIFAY (REDAKTUR MEDIA ALKHAIRAAT)