PALU – Musim hujan yang mengguyur sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah, di satu sisi menjadi anugerah, khususnya di bidang pertanian. Banyak kalangan petani yang gembira dengan datangnya musim penghujan tersebut.
Namun di sisi yang lain, utamanya di beberapa wilayah di Sulteng yang dieksploitasi secara ilegal, hujan justru menjadi ancaman bagi warga di sekitarnya. Warga setempat, utamanya di wilayah Pertambangan Tanpa Izin (Peti) tidak bisa tidur nyenyak karena takut jika banjir datang saat mereka tengah tidur lelap.
Sebut saja di wilayah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) yang baru-baru ini mengalami bencana banjir bandang. Sejumlah kalangan menilai, banjir bandang tersebut, salah satunya disebabkan adanya aktivitas Peti, termasuk Peti di Kayubuko.
Selain di Kayubuko, sejumlah aktivitas Peti juga masih marak di sejumlah wilayah, termasuk di Kota Palu, tepatnya di areal tambang emas Kelurahan Poboya.
“Kini kita saksikan, banyak wilayah tergenang akibat curah hujan tinggi yang mengakibatkan banjir, kerugian materil tidak bisa ditolak, dan yang paling menakutkan lagi adalah kehilangan segalanya. Bertahun-tahun mengumpulkan rezeki tetapi dalam sekejap dihilangkan oleh bencana yang sudah pasti adalah akibat tangan manusia,” tutur Pengamat Pertambangan Sulteng, Syahrudin A. Douw, Jumat (17/07), menyikapi bencana banjir yang terjadi di sejumlah daerah.
Ia pun menyinggung sikap aparat penegak hukum yang seolah-olah membiarkan aktivitas itu berjalan seenaknya.
“Apa yang terjadi jika pengusaha-pengusaha dibiarkan oleh institusi penegak hukum (kepolisian), melakukan aktivitas tanpa izin dari pemerintah yang sah?,” tanyanya.
Menurutnya, kondisi yang ada sekarang ini adalah pertanda kemerosotan suatu bangsa, sebagaimana VOC (perusahaan dagang Belanda) yang mengalami kebangkrutan karena hukum tidak digunakan untuk menjaga tertib bermasyarakat.
“Malahan hukum digunakan sebagai alat produksi. Dan semoga bangsaku tidak sedang menuju kebangkrutan moral berhukum,” tandasnya. (RIFAY)