Musda DKST “Tandingan”, Buah Nepotisme Pimpinan Daerah?

oleh -
Jamaluddin Mariadjang

Meski telah dinyatakan demisioner, kepengurusan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah ( DKST) yang pernah dipimpin Hapri Ika Poigi tetap bersikukuh menggelar Musyawarah Daerah (Musda) tanggal 30-31 Juli mendatang.

Fakta demisioner itu dibuktikan dengan rekomendasi Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Rusdy Mastura kepada DKST untuk melakukan musda, Maret 2022 lalu dan telah melahirkan kepengurusan baru yang diketuai Jamaluddin Mariadjang. Hasilnya telah diserahkan ke Gubernur pada April 2022.

Meskipun dipahami sebagai hak demokrasi seseorang untuk berkumpul dan berserikat, namun musda “tandingan” kali ini ditengarai karena tidak adanya sikap tegas Gubernur untuk menentukan pilihan ke pihak mana yang sah atau tidak sah sesuai aturan organisasi.

Dalam kondisi ini, Gubernur bahkan diragukan dapat membebaskan diri dari sikap ashabiah atau nepotisme dan anti kritik.

Ketua DKST versi Musda 26 Maret 2022, Jamaluddin Mariadjang, kembali angkat bicara. Ia dengan tegas menyatakan tetap pada pernyataannya, bahwa Gubernur maupun Kadis Dikbud Sulteng, sama-sama nepotis.

Berikut petikan wawancara Jamaluddin Mariadjang dengan Reporter Media Alkhairaat, Irma Caroline.

Berkaitan dengan rencana musda DKST nanti, Anda sempat memberikan penilaian bahwa Pak Gubernur Rusdy Mastura nepotisme (ashabiyah). Anda bertanggung jawab dengan penilaian itu?

Ya. Saya sangat bertanggung jawab dengan penilaian saya. Bahkan Nung, Kadis Dikbud itu punya tabiat yang sama dengan Cudi, nepotis karatan.

Apa alasan Anda sehingga begitu berani menyatakan ini kepada seorang pimpinan daerah sekelas Gubernur?

Mereka bertindak Inkonstitusional (malpraktik hukum). Cudi (sapaan akrab Rusdy Mastura) tidak mengakui Musda 26 Maret katanya karena membela Nung (Kadis Dikbud). Soal, karena suatu hal kami tidak ikut mediasi yang dilakukan Nung. Juga, menganggap proses suksesi DKST harus melalui disposisi dia (Kadis Dikbud). Disini sangat nyata Cudi dan Nung gagal paham tentang konten Perda Nomor 8 Tahun 2021 pasal 50, 51 dan 54. Sementara Musda kita laksanakan sesuai ketentuan organisasi dan aturan perundangan. Jika malpraktik hukum ini nyata, maka alasan yang bisa diterima akal sehat yaitu Cudi membela Nung karena keluarganya, bukan pertimbangan hukum.

Apakah penilaian Anda ini tidak tendensius?

Itu pendapat orang, mungkin. Tapi Ole itu kan keluarga dekat Nung, mondar mandir di Kantor Dikbud urus Musda jadi mulus ditanggapi dan dikabulkan. Ini yang saya sebut nepotisme eksistensial yang karatan. Dalam ilmu Mantiq, penilaian ini disebut dhonniyyan mutthobiqan lil hal (prasangka sesuai kenyataan)

Dari alasan di atas, apakah Anda memiliki bukti yang kuat menyebut Gubernur dan Kadis Dikbud melalukan praktik nepotisme?

Ole itu kan pengurus yang telah selesai masa khidmat DKST 2015-2020. Prinsipnya pengurus DKST sudah demisioner. Tapi mereka masih diberi bantuan Dikbud. Itu yang urus Ole dan kawan-kawan atas nama DKST “gaib”. Ada ribuan seniman di lingkungan DKST tidak mendapat manfaat dari bantuan ini kecuali mereka beberapa orang saja. Coba perhatikan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN, menyebutkan “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara”.

Anda menyebut perbuatan melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Di mana letak perbuatan melawan hukum yang Anda maksud dalam kasus ini?

Perbuatan penyelenggara negara menguntungkan keluarga dan kroninya. Cudi, Nung, Ole ini satu lingkaran keluarga, lalu ada kroni juga disana, Hapri, Udin, Endeng yang selalu dapat kucuran bantuan. Mereka selalu diuntungkan dalam distribusi bantuan negara. Sementara ribuan seniman lain, beli 1 gelas air mineral saja susah.

Apakah Gubernur bakal membuka acara Musda DKST tanggal 29 – 31 Juli itu?

Oh iya pasti. Cudi itu kan nepotis, kita tidak heran itu. Justru aib jika dia tidak buka acara itu. Penilaian saya pasti tidak salah. Dia bakal hadir untuk menunjukan diri sebagai pemimpin nepotis.

Apakah Anda kecewa?

Amat sangat tak terhingga kekecewaan saya dan orang-orang yang mengawal dia menjadi Gubernur. Tidak berharga sumbangan saya, ya hanya sepotong doa ketika memimpin sholat dan dia makmum di rumah Agus. Itu saja, dengan harapan dia bakal menjadi pemimpin yang arif, punya interes kuat membangun kebudayaan di Sulawesi Tengah. Ternyata berbalik, mentalnya sebagai pejabat lebih rusak saat ini.

Lalu, bagaimana sikap Anda jika nantinya kepengurusan DKST yang baru benar-benar terbentuk?

Saya berbangga dalam kasus ini kami masih mempertahankan idealisme seniman merdeka, akhlak dan integritas diri. Kami tidak peduli dengan hasil musda itu. Tidak satu setanpun yang mengganggu kedaulatan seniman merdeka. DKST 26 Maret hanya bisa dibubarkan pengadilan.

Mungkinkah Gubernur mengesahkan kepengurusan DKST 26 Maret itu?

Hah. Nepotis karatan itu akan selalu bangga menunjukan otot kekuasaannya dari pada otak yang waras. Cudi itu seenaknya menyakiti orang dengan gaya tirannya. Orang seperti ini digambarkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai “orang fajir” (menganggap kesalahan/dosa bagai lalat yang terbang diujung hidungnya). Cudi itu bangga bila menyakiti orang, nah saya mungkin korban kesekian. Wallahu A’lam.