PALU- Majelis Ulama (MUI) Kota Palu menyebutkan puasa Arafah 9 Dzulhijjah itu berdasarkan ru’yah hilal di negeri masing-masing, bukan tergantung dari wukufnya jama’ah haji di Arafah.
“Alasannya, puasa Arafah itu terkait dengan ‘waktu saja’ dan tidak terkait dengan ‘tempat’. Buktinya nabi tidak menjadikan wukuf di Arafah sebagai patokan ketika beliau dan para sahabatnya puasa Arafah pada tahun ke dua hijriyah, tiga hijriyah dan seterusnya, ” kata Ketua MUI Kota Palu, KH Zainal Abidin kepada MAL Online, Selasa (5/7).
Ia mengatakan, kala itu beliau (Rasulullah) dan para sahabatnya hanya menentukan puasa Arafah dengan ru’yah hilal penduduk Madinah. Puasa Arafah 9 Dzulhijjah itu telah disyari’atkan jauh sebelum Rasulullah melaksanakan ibadah haji.
“Puasa Arafah 9 Dzulhijjah sudah disyari’atkan sejak awal beliau berhijrah ke Madinah,” beber Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Sulteng ini.
Ia menjelaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menamakan puasa 9 Dzulhijjah dengan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan ibadah haji, dan ibadah haji baru beliau kerjakan di tahun ke 10 H. Pada tahun ke 2 H, ke 3 H, ke 4 H dan ke 5 H Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat telah melaksanakan puasa di tanggal 9 Dzulhijjah tanpa ada seorang pun yang melaksanakan wukuf di Arafah.
Pun, saat disyari’atkan, puasa Arafah tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah (lihat Zaadul Ma’aad II/101 oleh Imam Ibnu Qayyim, Fathul Baari III/442 oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan Subulus Salam I/60 oleh Imam ash-Shon’ani).
Lebih lanjut dia mengatakan, dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari ‘Asyuraa’ dan 3 hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan 2 hari kamis” (HR. Abu Dawud no.2437, Ahmad no.2269, an-Nasaa’i no.2372 dan al-Baihaqi IV/284, lihat Shahiih Sunan Abi Dawud no.2106)
Kemudian jelas Ketua Dewan Pakar Alkhairaat ini, dari hadits di atas dapat diketahui bahwa Rasulullah berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah (untuk puasa Arafah) dan itu dilakukan sebelum Rasul haji wada’ tahun 10 H. Dan lafazh itu menunjukkan rutinitas sebuah amalan.
Selanjutnya tegasnya, puasa Arafah itu terkait dengan ‘waktu saja’ dan tidak terkait dengan ‘tempat’. Buktinya tidak ada satu pun riwayat bahwasanya Rasul ketika di Madinah bersungguh-sungguh untuk mencari tahu kapan waktu wukuf jama’ah haji di Arafah.
“Jadi, Nabi berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu kepada ada atau tidak adanya wukuf di Arafah,” ujarnya.
Seterusnya, menurutnya, jika di Madinah sudah masuk tanggal 9 Dzulhijjah menurut hitungan mereka, maka beliau bersama para sahabat berpuasa Arafah dan tidak memakai ru’yah hilal penduduk Mekkah.
Bukti lainnya kata Zainal, Nabi bersabda kepada kaum muslimin untuk menentukan hilal (awal bulan) Dzulhijjah dengan ru’yah sebagaimana kita juga melakukan ru’yah ketika akan menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal.
Dirinya lalu mengutip Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila kamu telah melihat hilal (yaitu awal bulan) dzulhijjah dan salah seorang diantara kamu hendak berkurban, maka jangan sekali-kali kamu memotong rambutnya dan jangan pula memotong kukunya sampai hewan kurban itu disembelih” (HR.Muslim no.1977 (41 & 42), hadits dari Ummu Salamah).
Nampak dengan jelas pada hadits ini bahwa ‘Idul Adha dikaitkan dengan terbitnya hilal. Sedangkan waktu terbitnya hilal di setiap negeri berbeda dengan negeri lainnya (sebagaimana yang kita pahami ketika menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal).
Dengan demikian, ungkapnya, ‘Idul Adha dikaitkan dengan waktu (awal hilal) dan bukan dengan aktifitas jamaah haji di Arafah.
“Maka puasa Arafah juga dikaitkan dengan waktu (awal hilal) dan bukan dengan aktifitas jamaah Haji di Arafah,” tuturnya.
Ia menambahkan, bacalah hadits dari Kuraib, bahwa Ummu Fadhl binti al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya, “setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jum’at. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, ‘Kapan kalian melihat hilal?’
Kuraib menjawab: “Kami melihatnya “malam Jum’at”.
“Engkau melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.
“Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa”, jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan, “Kalau kami (di Madinah) melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawwal.”
Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti ru’yah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, seperti inilah yang telah diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami” (HR.Muslim no. 1087)
Pada hadits ini, kata dia, kita lihat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tidak memakai ru’yah penduduk Syam, tapi ia tetap menggunakan ru’yah penduduk Madinah karena ia tahu bahwa hilal masing-masing negeri itu bisa berbeda-beda. Bahkan ia berkata bahwa beginilah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami.
Meskipun kisah di atas berkaitan dengan awal Ramadhan, tetapi untuk menentukan hilal (awal bulan) Dzulhijjah sama dengan bulan lainnya, tidak ada dalil yang membedakannya. Para ulama tidak membedakan untuk hilal Dzulhijjah dan hilal bulan lainnya.
Maka puasa Arafah dan Idul Adha pun juga dikaitkan dengan waktu (awal hilal) di negeri masing-masing dan bukannya dengan aktifitas jamaah Haji di Arafah.
Bukti selanjutnya, menurut Zainal Abidin lagi, jika seandainya terjadi bencana atau peperangan sehingga jamaah haji tidak bisa wukuf di Arafah pada tahun itu, bukankah puasa Arafah tetap bisa dilakukan meskipun jamaah haji tidak ada yang wukuf di Arafah? Kenapa? Karena patokan puasa Arafah itu bukan wukufnya jamaah haji tapi tanggal 9 Dzulhijjah.
“Ke lima alasan tadi dan alasan lainnya adalah pendapat dari seluruh ulama dari zaman ke zaman selama ratusan tahun,” imbuhnya.
Tetapi setelah adanya teknologi informasi beberapa tahun belakangan maka mulailah muncul pendapat yang berkata, kita harus mengikuti puasa Arafah dengan berpatokan kepada jama’ah haji yang sedang wukuf di Arafah.
Para ulama berkata bahwa pendapat ini tidak kuat karena menyelisihi alasan-alasan dijelaskan tadi, sehingga mereka tetap dengan pendapat semula meskipun sudah ketahuan kapan wukuf di Arafah.
“Andaikan ru’yah di suatu negeri terlambat dari Makkah, sehingga tanggal 9 di Makkah adalah tanggal 8 di negeri mereka, maka hendaklah mereka berpuasa pada tanggal 9 di negeri mereka yang bertepatan dengan tanggal 10 di Makkah, inilah pendapat yang kuat” (Al-Fatawa XX/29)
Dan ini juga pendapat dari al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmuu’ Syarah al-Muhadzzab VI/273, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Fihqiyah al-Kubro II/60.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG