Bila kita hitung mungkin jutaan atau bahkan miliaran lebih nikmat Allah yang telah kita terima sampai saat ini. Salah satunya adalah nikmat Iman dan Islam.
Sebuah nikmat yang luar biasa jika sampai hari ini kita masih bisa merasakannya melalui tilawah harian kita, sujud-sujud panjang di setiap malam, ibadah-ibadah sunnah yang kita jalani, kesabaran dalam menerima setiap ujian-Nya atau bahkan melalui sedekah yang kita keluarkan dengan keikhlasam.
Apakah kita termasuk orang yang berpikir bahwa Allah tidak adil terhadap diri kita? Terhadap segala nikmat yang telah diberikan-Nya untuk kita, karena orang lain mampu mendapatkannya lebih, terhadap cobaan yang ditimpakanNya pada kita, padahal itu sebenarnya adalah bentuk rasa cinta Allah pada kita karena kita dianggap pantas untuk mendapatkan tingkatan Iman yang lebih tinggi.
Bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah merupakan salah satu kewajiban seorang muslim. Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Allah, alias kufur nikmat, adalah orang-orang sombong yang pantas mendapat adzab Allah SWT.
Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas nikmat-nikmatNya: “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.” (QS al-Baqarah:152)
Saat kita bersyukur maka syukur itu akan membuka nikmat lainnya. Sebaliknya, ketika seorang Muslim kufur sesungguhnya itu perbuatan dosa. “Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7 yang artinya “Jika kamu bersyukur pasti akan aku tambah (nikmat-Ku) untukmu dan jika kamu kufur maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih”.
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa kata syukur lawan katanya adalah kufur (menutupi nikmat). Syukur konsekuensinya adalah bertambah nikmat sedang kufur konsekwensinya adalah siksa.
Bersyukur terhadap berbagai nikmat Tuhan (syukuur) ialah sesuatu yang biasa. Akan tetapi, mensyukuri penderitaan, musibah, dan kekecewaan (syakuur) itu luar biasa.
Syukuur banyak dilakukan orang, tetapi syakuur amat langka dilakukan orang, sebagaimana dikatakan dalam ayat: Wa qalil min ‘ibadiy al-syakuur (Hanya sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mampu mencapai tingkat syakur) (QS Saba’ 34:13).
Bersyukur dalam arti syakuur banyak dipahami secara keliru. Banyak orang yang menyangka bersyukur ialah mengucapkan tahmid (alhamdulillah). Namun, sesungguhnya itu bukan syukur, melainkan hanya tahmid, memuji-muji Tuhan.
Bersyukur ialah memberikan sebagian nikmat Tuhan kepada hamba-Nya yang membutuhkannya. Misalnya, gaji kita dinaikkan atau kita memperoleh keuntungan usaha dagang, maka cara mensyukurinya kita harus mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah kepada orang-orang yang layak menerimanya, atau sebagaimana ditunjuk oleh syara’.
Bersyukur dalam arti syakuur berarti bersabar menerima cobaan Tuhan dan tidak pernah salah paham terhadap Tuhan.
Misalnya seseorang diuji dengan penyakit kronis, seperti diabetes atau gagal ginjal yang mengharuskan cuci darah berkali-kali seminggu, tidak perlu mengutuk diri sendiri atau menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan, tetapi justru harus sabar sambil menjalani pengobatan secara intensif.
Artinya tidak boleh pasrah sebelum berusaha secara maksimum sebatas kemampuan kita. Kalau sudah dilakukan berbagai upaya, tetapi penyakit itu masih mendera kita, bersahabatlah dengan penyakit itu.
Bersahabat dengan penyakit, menurut para anestesiolog (ahli rasa nyeri), dapat menurunkan rasa sakit itu sendiri. Yakinkan pada dirinya bahwa penyakit itu pasti bentuk lain dari rasa cinta Tuhan terhadap diri kita.
Nabi pernah bersabda, “Tidaklah seseorang ditimpa sebuah penyakit, penderitaan, kekecewaan, sampai kepada duri menusuk kaki, kecuali itu semua sebagai pencuci dosa masa lampau.”. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)