PALU- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tengah (Sulteng) bersama 40 Perempuan Serikat Tani dan Nelayan (Serikat Nelayan Teluk Palu dan Serikat Tani Sigi) mengkonsolidasikan gerakan perempuan agraria di Sulteng pada momentum Hari Perempuan Sedunia.
Agenda ini juga dibarengi dengan konsolidasi nasional Gerakan Perempuan Reforma Agraria bersama 86 organisasi rakyat di 21 provinsi di Indonesia, yang terhimpun dalam Konsorsium Pembaruan Agraria.
“Perlawanan perempuan terus berlanjut dari masa ke masa akibat ketimpangan struktur penguasaan tanah dan hilangnya sumber-sumber agraria, yang sangat berdampak terhadap perempuan dan juga perampasan tanah mengakibatkan hilangnya sumber produksi, sehingga perempuan harus bekerja ekstra sekaligus untuk memenuhi kebutuhan domestiknya, ” ujar Doni Moidady selaku Kordinator Wilayah KPA Sulteng dalam keterangan tertulis diterima MAL Online, Kamis (9/3).
Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria hingga 2022 terdapat sebanyak 25 Perempuan mengalami kriminalisasi dan 78 orang mengalami kekerasan saat mempertahankan tanah mereka dari penggusuran dan perampasan oleh perusahaan swasta dan negara.
“Atas ketimpangan tersebut terdapat dampak-dampak sangat merugikan perempuan di sektor agraria juga menjadikan perempuan di berbagai wilayah menjadi garda paling depan dalam melawan berbagai praktik perampasan tanah,”paparnya.
Situasi tersebut menurutnya, sebuah ironi harus dihadapi oleh kaum perempuan di Indonesia khususnya Sulteng. Mereka masih saja mengalami diskriminasi, ketidakadilan dan bahkan secara sengaja ditutup akses dan haknya terhadap sumber-sumber agraria.
Padahal konstitusi sebut dia, telah menjamin hak perempuan melalui Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.50 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan sama memperoleh sesuatu hak atas tanah, serta mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarga.
“Saat ini, para petani, nelayan, masyarakat adat, dan pedesaan lainnya menghadapi tantangan sama, baik laki-laki maupun perempuan. Juga merupakan ancaman nyata, bahkan saat ini sudah masuk dan merangsek ke desa-desa bahkan lokasi prioritas reforma agraria para petani, plang-plang bank tanah telah masuk ke kampung-kampung untuk mengakuisisi dan merampas tanah-tanah yang kita perjuangkan selama ini, ” tandas Dewi Kartika selaku Sekjen KPA Nasional.
Belum lagi, ujar dia, pengesahan Perpu Ciptaker terkesan memaksakan kebijakan ini harus dijalankan, sehingga melalui Perpu Ciptaker ini membuka keran liberalisasi di berbagai sektor, serta kesesatan sistem hukum dan bernegara ditunjukan oleh negara tanpa malu-malu demi kepentingan elit bisnis dan politik.
“Ancaman di sektor agraria dan pangan buntut pengesahan Perpu Ciptaker ini juga telah meliberalisasi dan memprivatisasi tanah, KPA mencatat sepanjang 2020-2022 telah terjadi 660 letusan konflik agraria seluas 2,16 juta hektar mengakibatkan setidaknya 14 petani tewas dan 317 orang dipenjara hanya untuk mempertahankan tanahnya,” urainya.
Atas hal-hal tersebut KPA Sulteng mengundang seluruh elemen KPA, dan lembaga masyarakat sipil lainnya untuk menyiapkan diri secara bersama, dan mengajak semua elemen masyarakat mendesak negara dalam rangka menolak Perpu Ciptaker dan memastikan Perpu Cipataker dibatalkan.
Reporter: IKRAM/Editor: