Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional XIX di Palu yang digelar Juni tahun 2000 silam, menjadi cambuk sekaligus tonggak awal bagi anak-anak mudah di daerah ini untuk maju bersuara mewakili daerah di setiap momen MTQ.
Mereka pun membentuk sebuah wahana yang menghimpun para kafilah MTQ, khususnya di bidang lomba kaligrafi. Mereka adalah para kaligrafer yang pernah menjadi peserta cadangan pada MTQ yang dibuka langsung mendiang Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur, kala itu.
Kala itu, anak-anak di daerah hanya bisa menjadi penonton. Sulawesi Tengah sebagai tuan rumah, terpaksa memboyong para peserta dari luar daerah, termasuk di cabang lomba kaligrafi. Pemuda di bumi Tadulako ini, masih minim prestasi apalagi sumber daya manusia masih terbilang belum dimiliki.
Dasar itulah menjadi titik awal mereka berembuk, meramu gagasan untuk membentuk sebuah sanggar seni kaligrafi di Kota Palu. Keinginan tulus itu, tentu tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan. Berbagai hambatan dan kendala, silih berganti berdatangan. Mulai dari minimnya partisipasi, hingga belum ada dukungan dari pemerintah daerah.
Alhasil, sekarang ini, niat untuk menghadirkan anak-anak daerah yang bersuara ke tingkat nasional, telah terwujud.
Adalah Mohammad Arif, yang konsisten mengusung, menghasilkan putra-putri terbaik di bidang kaligarafer. Arif, mulai membangun perlahan-lahan sanggar seni, dan membuka kursus-kursus di Panti Asuhan, agar niat awal itu tetap menjadi ladang ibadah.
Seperti apa kisah membangun sebuah Sanggar Seni, sekaligus Pesantren Kaligrafi di kota empat dimensi ini. Jurnalis Media Alkhairaat, Nanang Insanun, Jumat (30/3) petang bertandang di bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat tempat berkarya bagi para santri di Alhasyimi. Berikut petikan wawancaranya:
Kapan mulai dibentuk sanggar seni kaligrafi di Palu? Apa motivasinya?
Alhasyimi terbentuk pada Tahun 2000. Jadi, pada saat itu, Kota Palu menjadi tuan rumah MTQ Nasional. Nah saat itu, kita sebagai anak asli daerah dan sebagai orang Sulawesi Tengah, hanya bisa menjadi cadangan. Jadi, dari situlah kita terpukul, sekaligus membangun sebuah tempat kursus atau semacam organisasi.
Ada berapa peserta cadangan di MTQ Nasional waktu itu?
Ada empat orang, dari tiga cabang yang dilombakan. Namanya Sediaman, Gazali dan saya. Peserta kaligrafi sebanyak enam, jadi hanya dua saja orang asli Sulawesi Tengah. Peserta yang lain kebanyakan dari Pulau Jawa semua.
Siapa saja yang menyumbang ide membentuk sanggar seni kaligrafi?
Jadi waktu itu, kita berembuk, teman-teman yang kaligrafi. Waktu itu kita meminta persetujuan Didin Sirojuddin selaku Pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) di Sukabumi Jawa Barat. Permintaan itu hanya untuk membuka cabang Lemka di Sulteng. Namun ternyata tawaran itu tidak disetuji. Makanya di provinsi lain itu tidak ada Lemka. Lemka hanya terpusat di Sukabumi saja. Makanya organisasi kita kasih nama yang mirip, Leska atau Lembaga Seni kaligrafi Sulawesi Tengah. Jadi ide membentuk ini dari para kaligrafer yang menjadi peserta cadangan di MTQ Nasional.
Dari Leska, sudah berapa banyak kader yang ke MTQ Nasional?
Alhamdulillah waktu itu sudah ada kader yang sempat ke MTQ Nasional. Leska juga lebih aktif di kampus, waktu itu masih STAIN Datokarama. Saat bersamaan kita membuat juga oraganisasi sanggar, namanya Sasenka atau Sanggar Seni Kaligrafi Alquran yang terpusat di kampus STAIN. Aktifitas Sasenka memanfaatkan hari libur untuk belajar kaligrafi. Kemudian, keberadaan Sasenka sulit berjalan, karena ide masing-masing anggota sering berseberangan. Untuk itu, saya punya pikiran, harus membuka sanggar sendiri. Terpikirlah Sanggar Alhasyimi yang diambil dari nama salah satu Master tokoh kaligrafer yang sampai hari ini, buku kaidahnya masih dipakai di semua cabang lomba.
Seperti apa fungsi Leska dibentuk ?
Anggotanya waktu ada unsur-unsur LPTQ juga. Leska itu sebenarnya seperti memayungi dari semua sanggar seni kaligrafi yang ada di Palu. Sebenarnya fungsinya mirip dengan LPTQ. Cuma karena pengurusnya semua sibuk dan tidak fokus disitu. makannya tidak ada komunikasi lagi. Tetapi hanya setiap gelaran MTQ pengurus Leska mulai lagi mengadakan rapat-rapat kecil.
Apakah Ahasyimi murni ide anda?
Iya murni. Proses awal membangun Alhasymi kita buat sanggar dulu dan mulai membuka kursus di sekolah-sekolah. Saya juga pernah membuka kursus di Madrasah Aliyah Alkhairaat Pusat. Kemudian, dari Panti ke Panti. Saya pernah juga mengajar di beberapa Panti Asuhan. Dari situlah memulai dengan perlahan-lahan. Nanti sekitar Tahun 2004, itu sudah memiliki sekretariat di Jalan Maluku Kecamatan Palu Selatan.
Apakah waktu itu Anda sudah bisa mengajar Kaligrafi?
Tidak. Itulah tantangan. Karena kalau kita mau berpikiran nanti menungu pantas, untuk mengajar, maka susah. Sampai sekarang juga saya belum pantas untuk mengajar karena belum pernah juara Nasional, cuma sudah pernah ke Nasional. Yang lebih pantas ini membuka dan mengajar bagi generasi penerus ke lomba MTQ. Seperti mereka yang sudah pernah juara Internasional. Nemun sampai hari ini, mereka tidak punya insisatif untuk membuat Pesantren Tilawah atau Pesantren Tahfiz. Di Sulawei Tengah, masih banyak orang yang mau belajar, cuma bingung kemana tempatnya.
Seperti apa suka duka membangun Alhasyimi?
Jelas. Dimana-mana itu ada susahnya. Yang pertama, berupa cacian itu pasti ada dari beberapa orang. Tidak hanya itu, ada sebagian teman yang mencibir niat itu. Ya kalangan kaligrafer yang ada di Palu. Seakan-akan memandang remeh. Waktu itu saya cuma mengeluarkan statemen, kita lihat murid siapa yang berhasil. Teman-teman dari organisasi Sasenka juga tidak punya insisatif untuk membuat sanggar Kaligrafi.
Tantangan itu dihadapi atau sempat malah terjatuh ?
Tidak, justru saya dijalani.
Waktu itu seperti apa dukungan pemerintah?
Dukungan Pemda biasa-biasa saja. Tidak mencibir, tapi tidak juga membantu. Mungkin keberadaan Alhasyimi juga mereka tidak tahu. Jadi kita jalani saja, dan mengalir seperti biasa. Mau ada bantuan atau tidak, sama saja, tetap Alhasyimi berjalan seperti biasanya.
Sudah berapa kader Alhasymi?
Saat ini kader Alhsaymi sudah ada ratusan, Alhamdulillah. Sudah tersebar di sejumah daerah. Ada yang datang dari Provinsi Gorontalo, bahkan dari Aceh. Apalagi kalau hanya Sulteng, hampir semua kabupaten pernah belajar di Alhasyimi. Tidak hanya itu, dari Sulawesi Barat juga sudah ada, dari Manado juga ada. Artinya, kader kita tersebar di kawasan Indonesia Timur.
Masih ada yang mencibir saat ini?
Mungkin sudah tidak ada lagi. Yang tadinya mencibir itu, sudah diam-diam. Begitulah memang proses awal membangun, penuh dengan tantangan.
Seperti apa pembangunan Gedung Alhasyimi ?
Alhamdulillah bangunan dua tingkat ini saya punya nazar. Kalau lulus PNS, saya mau bangun Pesantren. Daripada nazar itu menjadi utang, maka saya langsung meminjam uang di Bank. Jangan sampai menjadi hutang di akhirat, dan Alhamdulillah saat ini gedung belajar Alhasyimi telah jadi. Nazar itu dari Tahun 2008, karena tahun itu ujian CPNS. Dan pengumuman PNS di tahun 2009. Dan Alhamdulillah di tahun 2010 tercapai.
Lulus PNS kenapa tidak bangun rumah saja?
Karena rumah itu hanya bisa kita pakai sendiri. Sementara Pesantren bisa banyak yang orang pakai. Kadang kita harus berkorban untuk sesuatu. Kalau bukan kita, siapa lagi yang kita harapkan. Alhamdulilah sampai saat ini saya belum punya rumah, masih tinggal di rumah mertua. Nanti akan bangun rumah tapi harus lunas hutang dulu di Bank.
Untuk Alhasyimi visi apa yang belum tercapai?
Yang pertama, menjadikan Alhasyimi ini sebagai laboratorium para kaligrafer di Indonesia. Itu yang belum tercapai. Karena semua kaligrafer belum bisa berkunjung ke Alhasyimi, nama sanggar ini juga belum besar. Itulah cita-cita yang paling penting. Tentu harus didukung juga, kader harus juara nasional karena dari prestasi itulah yang akan mengangkat nama kita ke tingkat nasional. Dengan sendirinya orang-orang akan datang belajar di Alhasymi. MTQ yang lalu, Alhamdulillah kita hanya bisa bertengger di urutan ketujuh. Artinya kader kita dari Sulteng sudah mampu bersuara di tingkat Nasional.
Apa yang mestinya dimaksimalkan?
Yang pertama, pelatihan intensif. Teman-teman juga tidak bisa dipaksakan. Karena kaligrafer kita kan ekonominya standar kebawah yang harus membutuhkan pekerjaan luar. Mereka harus mengajar, dan mencari uang di tempat lain. Jadi kita tidak fokus disini. Seandainya Pemerintah mampu mengatur dan mengambil cara untuk membiayai mereka selama satu tahun untuk belajar. Pasti bisa. Itu sebenarnya, kenapa di tempat lain itu sukses, karena disana itu fokus. Kaligrafer di Palu belum bisa dijadikan pekerjaan, masih dijadikan hobi. Artinya orang-orang belum bisa hidup dari kaligrafi. Kalau di Pulau Jawa, orang bisa hidup dari kaligrafi karena hadiah MTQ besar dan sering diadakan, jadi jaminan kehidupan bisa dari Kaligrafi.
Bagaiman anda melihat dukungan Pemda saat ini?
Sebenarnya sudah ada yang mulai membantu memberikan beasiswa. Namun masih setengah-setengah, belum prioritas. Jadi ada yang masih tiga bulan beasiswanya.
Pengembangan Alhasyimi kedepan seperti apa?
Yang pasti, harapan bagi kaligrafer pemula utamanya, lebih giat belajar. Karena sumbangan ke Alhasyimi adalah sumbangan prestasi. Kalau prestasi mereka juga sudah besar, maka otomatis nama Alhasyimi juga akan lebih besar. Alhasyimi tidak membutuhkan uang tetapi prestasi merekalah yang membuat Alhsyimi menjadi besar. (NANANG IP)