Pendidikan akhlak dan karakter yang diwariskan oleh pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua, terus hidup dalam diri murid-muridnya di berbagai lintas generasi.
Karakter kuat yang ditanamkan sejak dini di madrasah-madrasah Alkhairaat, tak putus dan terbatas dalam ruang dan waktu. Nilai yang ditanamkan bukan sekadar teori di kelas, melainkan prinsip hidup yang terbukti menempa pribadi tangguh di manapun mereka berada.
Di berbagai tempat dan waktu yang berbeda, apa yang telah diajarkan oleh Guru Tua dan keturunannya, melekat kuat dan menjadi prinsip dasar yang dipegang teguh para murid, saat menimba ilmu di berbagai belahan dunia.
Salah satu bukti nyata adalah perjalanan hidup Mohamad Nasir, pria kelahiran Palu, 28 Agustus 1973, yang baru saja menamatkan studi doktoralnya di Cultural Anthropology & Development Studies, Faculty of Social Sciences, Radboud Univesity, Nijmegen, The Netherlands/Belanda, Tahun 2024.
Di balik prestasi akademik bergengsi itu, Nasir mengaku ada sesuatu yang jauh lebih besar yang membentuknya, yaitu pendidikan karakter ala Alkhairaat.
Kepada Media Alkhairaat yang mewawancarainya via daring, Ahad (28/09), ia menceritakan bagaimana pendidikan karakter yang dirasakannya selama mengecap pendidikan di Alkhairaat, begitu berguna saat menimba ilmu, jauh di luar Kota Palu.
Nasir telah membuktikan, pendidikan karakter di Alkhairaat mampu melahirkan generasi yang tidak hanya sukses secara akademik, tetapi juga tahan banting, rendah hati, dan istiqomah.
Dari ruang-ruang kelas sederhana di Palu hingga panggung akademik dunia di Belanda, jejak pendidikan Alkhairaat tetap terbawa bersamanya.
Dari Palu ke Nijmegen
Perjalanan Nasir bermula dari bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) Alkhairaat Pusat pada awal 1980-an. Kala itu, ia berangkat sekolah dari Perumnas Balaroa dengan sepeda, bahkan kadang ikut menumpang gerobak pasir.
Selepas itu, ia melanjutkan ke Pesantren Alkhairaat Pusat Palu di Tahun 85. Di sinilah benih pembentukan karakter semakin kuat. Ia dididik langsung oleh tokoh-tokoh penting, di antaranya almarhum Habib Abdillah bin Muhammad Aljufri, juga Habib Saggaf bin Muhammad Aljufri.
Di Tahun 1988, ia melanjutkan studi ke SMP Alkhairaat. “Karena waktu itu almarhum Habib Abdillah meminta supaya saya masuk SMP, bukan ke tsanawiyah,” kata Dosen Kelas Pra International Program Sarjana (S1) Fakultas Hukum, Universitas Tadulako, Palu ini.
Setelah selesai tahun ’88, ia pun masuk Madrasah Aliyah Alkhairaat. Namun, kata dia, ketika naik kelas 2, Pondok Pesantren Putra dibuka. Ia pun kembali diminta Habib Abdillah untuk pindah ke pondok pesantren tersebut, dengan konsekwensi turun kembali ke kelas 1.
“Jadi ketika saya pindah, turun satu tingkat menjadi kelas 1 kembali. Saya sami’na wa ‘atho’na,” ujarnya.
Selain mendapat pelajaran di SMA, ia dan sejumlah rekannya juga mendapat pelajaran tambahan di sore hari.
Dari Abi—begitu ia menyebut Habib Abdillah—Nasir belajar arti ketegasan, disiplin, dan istiqomah.
Masih jelas di ingatannya ketika Habib Abdillah menegur dengan keras ketika murid-muridnya berbuat salah.
“Belakang barusan saya tahu, ternyata beliau waktu itu mau menguji mental. Apakah setelah ditegur dengan agak keras, kita menjauh atau tetap datang dengan beliau,” kenang Nasir.
Tidak hanya belajar ilmu formal, ia juga ditempa dengan pengalaman berdakwah sejak muda—mengajar di pesantren hingga berkeliling menyampaikan khutbah ke kampung-kampung. Pendidikan seperti inilah yang menurutnya memberi bekal “tahan banting” menghadapi tantangan hidup.
“Memang yang saya rasa betul pembentukan karakter di pesantren itu. Saya rasakan betul bagaimana almarhum Abi mendidik kami,” katanya.
Selepas menamatkan SMA di Alkhairaat, Nasir melanjutkan kuliah strata satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Islam Yogyakarta di Tahun 1992, lalu meraih gelar magister humaniora (M. Hum) di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan spesialisasi hukum lingkungan, di Tahun 2001.
Kariernya sebagai akademisi membawanya menjadi dosen PNS di Universitas Balikpapan.
Hingga suatu ketika, kesempatan emas datang, tawaran melanjutkan S3 di Belanda. Ia memilih meninggalkan studi doktoralnya di UGM demi mengejar peluang itu.
“Sebenarnya saat itu di tahun 2012, saya sedang ambil S3 juga di UGM ketika sudah terangkat menjadi dosen PNS di Universitas Balikpapan,” ujarnya.
Kesempatan itu datang ketika sahabatnya dari Belanda sedang menjalankan project penelitian di Kalimantan. Ia diminta untuk membantu menyusun proposal untuk isu hukum dan kebijakan.
“Setelah saya buatkan proposalnya, mereka bilang kalau begitu saya ikut saja S3 di Belanda. Saya bilang saya sudah sekolah S3 di UGM, mereka bilang tinggalkan saja, karena memang waktu itu di UGM pakai biaya sendiri. Sementara di Belanda ini ada beasiswa,” katanya.
Di Radboud Univesity, kata dia, ada hal menarik yang ia temui. Kata dia, jika di Indonesia, Radboud University sama seperti Atmajaya, universitas katolik terbesar di Belanda.
“Dan setahu saya, mungkin satu-satunya universitas di Belanda yang menyediakan tempat salat bagi orang muslim. Toiletnya disediakan khusus, tidak dicampur dengan toilet lain,” katanya.
Di Radboud University, Nasir masih saja merasakan bagaimana karakter yang ditanamkan Alkhairaat benar-benar membentengi dirinya.
“Kita tahu sendiri di Belanda itu sangat liberal dan memang seperti itu kehidupannya. Tapi Alhamdulillah berkat karakter yang dibangun di pesantren, membuat kita tidak tidak goyang atau gampang ikut arus. Kita bisa tetap tetap istiqomah,” katanya.
Ia tidak bisa membayangkan jika tanpa ada bekal yang didapat dari Alkhairaat. “Selalu terngiang-ngiang ucapan-ucapan Habib Abdillah atau Habib Saggaf,” ujarnya.
Bukan cuma itu, kata dia, ketika sedang menghadapi persoalan saat menjalani studi, dirinya bisa tetap istiqomah. Ia yakin, semua itu berkat pendidikan karakter yang didapat di Alkhairaat.
“Dengan terbentuknya karakter ini, kita bisa tahu bagaimana menyikapi apa yang kita hadapi sehari-hari,” katanya.
Inspirasi bagi Generasi Muda Alkhairaat
Bagi Nasir, apa yang ia capai hari ini bukan semata hasil kerja keras pribadi, tetapi buah dari tempaan nilai yang ia dapat sejak kecil di Alkhairaat.
Kepada mahasiswa dan para dosen di Universitas Alkhairaat (Unisa) maupun lembaga pendidikan Alkhairaat lainnya, Nasir menitipkan pesan sederhana, jangan pernah merasa rendah diri.
Alkhairaat, kata dia, juga perlu membuka jejaring internasional dan meningkatkan penguasaan bahasa asing.
“Bahasa itu jendela pengetahuan. Dengan bahasa, jejaring kita terbuka lebih luas,” pesannya.
Saat pertama kali kuliah di Yogyakarta, ia sendiri mengalami culture shock. Namun keyakinan pada karakter yang sudah dibentuk sejak pesantren membuatnya mampu beradaptasi.