SIGI – Puluhan warga Desa Tulo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, bahu membahu menangkal derasnya aliran Sungai Palu dengan karung yang diisi pasir, Selasa (22/08). Tak hanya kaum pria, ibu-ibu di desa itu juga tak mau ketinggalan mengambil peran menyiapkan konsumsi bagi mereka yang tengah berusaha menyelamatkan desa dari ancaman abrasi sungai.
Tak hanya tenaga, masyarakat juga patungan mengumpulkan uang untuk menyewa alat berat yang akan digunakan untuk mengeruk sungai. Ada yang menyumbang Rp10 ribu, Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.
Semua dilakukan warga karena tidak mau lagi berharap penuh kepada pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III yang dianggap tidak peduli dengan nyawa masyarakat akibat bencana abrasi yang semakin hari semakin dekat ke permukiman, ataupun politisi kotor yang hanya mau datang ketika ada pemilihan.
“Uang itu kita gunakan membayar alat dari perusahaan, sekitar Rp2 juta lebih per hari. Sekarang kami mau bayar Rp8 juta karena rencananya kami gunakan selama dua hari. Semua uang yang ada ini, murni sumbangan warga karena tidak mungkin lagi kita mengharapkan pemerintah dengan model mereka seperti ini,” kata salah satu Tokoh Pemuda Desa Tulo, Sofyan.
Mereka menyadari, besarnya debit air dan kuatnya arus sungai membuat upaya mereka akan sia-sia karena pastinya tidak akan bisa membendung air.
“Kalau ada banjir, karung-karung itu mana bisa menahan, pasti ikut hanyut. Tapi itulah yang kami lakukan, daripada kami diam menunggu pemerintah mau bergerak, maka kami lakukan apa yang kami bisa. Setidaknya kami sudah berupaya, paling tidak mengurangi sedikit saja kuatnya arus sungai sehingga tidak mengikis daratan di Desa Tulo ini sampai habis,” katanya.
Sofyan juga menyentil tidak adanya perhatian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), baik yang ada di tingkat Kabupaten Sigi maupun tingkat Provinsi Sulteng.
“Minimal mereka buat simpul-simpul massa, atau libatkan Tagana (Taruna Siaga Bencana) yang telah dikader. Minimal gotong-royong dengan masyarakat menimbun sungai dengan karung pasir. Kalau tidak salah, BNPB Sigi baru satu kali kesini, sementara provinsi tidak pernah sekalipun. Apa mereka tidak melihat kondisi kami ini dalam sebagai kategori bencanakah? Yang jelas mencekam, setiap waktu daratan terus dikikis, habis semua rumah,” tuturnya.
Pihaknya juga sudah mempertanyakan hal itu ke BWSS III, namun hanya dijawab nanti, nanti dan nanti.
“Katanya mereka mau turun tapi tunggu anggaran pusat. Kalau mau tunggu pusat lagi, tidak ada lagi ini kampung Tulo sudah hanyut dibawa air,” imbuhnya.
Tokoh Masyarakat Desa Tulo yang juga bernama Sofyan, menuturkan awal mula bencana abrasi sampai melebar ke permukiman.
Dia menyampaikan perihal kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat Tulo dan Pewunu, Bupati, Kapolres, Dandim, Kepala Dinas. Semua bertanda tangan dalam kesepakatan itu bahwa titik yang akan dijadikan jalur air ada diatas perkebunan kelapa milik warga Pewunu, Kecamatan Dolo Barat yang notabene berbatasan langsung dengan Desa Tulo.
“Setelah itu, mungkin ada intervensi dari pak Irwan (warga Pewunu, salah satu pengusaha yang ditengarai memiliki hubungan keluarga dengan Gubernur Sulteng Longki Djanggola). Ini menurut informasi yang disampaikan Bupati Sigi bahwa dia melapor ke gubernur. Maka dua hari kemudian, muncullah gubernur disini,” ujarnya.
Kedatangan gubernur sangat membuat masyarakat gembira karena berharap bahwa yang akan dikeruk untuk jalan air sudah sesuai dengan yang kita sepakati.
“Waktu gubernur kesini, air sudah disini,” sembil menunjuk bibir tebing tempatnya berdiri.
Sayangnya, dua kali pihak BWSS III datang ke lokasi dengan anggaran yang hampir mencapai Rp1 miliar, yang dikeruk bukanlah titik yang telah disepakati.
“Alat turun sudah dua kali, kalau tidak salah petugas dari balai sungai pernah ditegur masyarakat agar tidak melakukan pengerukan di titik lain selain yang sudah disepakati. Tapi mereka cuma jawab jangan kamu banyak bicara. Ini pekerjaan kami sekolahkan,” ujar Sofyan mengutip pernyataan pihak BWSS.
“Jadi pertama anggaran habis tanpa hasil, kedua, pemukiman semakin dihantam. Andaikan kemarin mereka (BWSS III) ikuti, tidak babantah, dia bilang jago dia, ini air tidak mungkin menghantam pemukiman warga,” pungkasnya.
Sejauh ini, jika diukur, sudah sekitar 3 kilometer daratan di Tulo yang hanyut. Pertama-pertama puluhan hektar perkebunan warga Tulo yang dihantam air dan sekarang sudah merembet ke permukiman. Selama ini, sudah ada dua rumah dan 15 kuburan warga yang hanyut.
Anggota DPRD Provinsi Sulteng, Moh Masykur, mengaku prihatin dengan kondisi yang dialami warga Tulo.
“Pengambil kebijakan tidak boleh mendiamkan persoalan ini. Ini sangat mendesak dan darurat,” tekannya.
Politisi Partai NasDem ini juga sangat menyayangkan pihak BWSS yang notabene mengurus normalisasi sungai, tapi belum bisa bekerja sesuai harapan.
Selain ke Tulo, Theo, sapaan akrabnya juga menyempatkan diri bertemu dengan masyarakat di Desa Sidera.
“Sudah saatnya penanganan Sungai Palu dilakukan secara serius, dengan pendekatan program yang tuntas, tidak secara parsial dan setengah hati. Tentunya hal itu dilakukan untuk penyalamatan hajat hidup masyarakat Sigi, khususnya pada wilayah rawan bencana,” imbuhnya. (RIFAY/HADY)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.