JAKARTA – Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menegaskan, isu pengggunaan merkuri di pertambangan rakyat, harus disikapi dengan arif. Bila masyarakat setempat menemukan merkuri, sebaiknya mereka menyerahkan bukti tersebut kepada aparat berwenang untuk diinvestigasi.
Namun, isu ini tidak bisa begitu saja dijadikan alasan untuk menutup tambang yang memiliki izin resmi dari pemerintah. Demikian halnya dengan tambang emas di Poboya, Kota Palu.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Yudha mengatakan, Poboya bukanlah tambang emas ilegal. Perusahan tambang emas setempat, memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang pemberian izinnya sudah melalui berbagai tahapan analisa dan kajian.
“Tidak bisa ditutup (tambang Poboya-red). yang berwenang menutup itu pusat,” jelas Satya, di Jakarta, Selasa (16/1), menanggapi desakan dari sejumlah pegiat lingkungan yang mendengungkan isu penutupan tambang emas Poboya.
Ia menegaskan, jika masyarakat menemukan, mereka harus menyerahkan buktinya kepada aparat yang berwenang. Dia meyakini, merkuri sudah ditinggalkan di tambang itu. Begitu halnya laporan pemerintah setempat yang menegaskan hal ini.
“Dulu, memang merkuri diketahui digunakan disana oleh petambang rakyat. Namun kini tak lagi demikian,” jelasnya.
Berdasarkan Undang-undang (UU) tentang Lingkungan Hidup, tak lantas dapat menutup tambang emas Poboya. Sebab, terdapat beberapa mekanisme seperti pemberian sanksi berdasarkan regulasi tersebut.
“Jadi ada urutannya. Kan Peraturan Gubernur (Pergub) yang menyatakan tak boleh ada merkuri. Nah, kan ada mekanisme Pergubnya juga, kenapa itu tidak dijalankan,” ungkapnya.
Sebelumnya, hal serupa pernah diungkapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Yun Insiani, menegaskan, kini warga penambang sudah mengganti merkuri denggan sianida.
Berdasarkan hasil pengambilan sampel-sampel rambut yang dilakukan KLHK saat melakukan observasi langsung ke area pertambangan Poboya, Maret dan Agustus 2017 lalu, mereka memang menemukan rambut penambang yang mengandung merkuri. Namun, itu merupakan dampak penggunaan merkuri di beberapa tahun sebelumnya.
“Efeknya kan akumulasi, makanya merkuri itu disebut bioakumulasi. Jadi mungkin sudah dua atau tiga tahun mereka sudah tidak pakai merkuri. Tetapi sebelumnya mereka pakai, sehingga bisa kita lihat di rambutnya,” jelasnya.
KLHK memastikan, warga setempat telah mendapatkan edukasi yang baik atas penggunaan sianida.
Itulah sebabnya, Tim KLHK akan mengawasi dan selalu mengedukasi sianidai di penambangan emas.
SENGSARAKAN MASYARAKAT
Penggiat Lingkungan Hidup dari Serikat Indonesia Hijau, Agussallim di kesempatan berbeda menilai, keinginan penutuapan tambang Poboya justru akan menyengsarakan masyarakat sekitar tambang. Apalagi, perusahan tambang di Poboya telah memiliki IUPK. Olehnya, penutuapan tambang tak dapat dilakukan dengan mudah.
“Panggil saja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan haidrkan Presiden, tutup itu Poboya. Kalau dia masyarakat sipil, bawa ke Hakim Konstitusi karena ada kekuatan hukum disana,” urai Agus.
Agus berpandangan, wacana penutupan tambangan Poboya sarat politis. Munculnya isu penolakan pertambangan akibat sifat munafik NGO yang ditengarai melakukan advokasi menggunakan dana asing.
“Win-win solution karena mau menguji sektor pertambangan karena menjadi nilai punggung otoritas rakyat paling kecil harus disentuh,” ujarnya.
Karena berdasarkan data KLHK, proses pertambangan emas Poboya tak lagi menggunakan merkuri, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai cara bertambang emas yang baik. Edukasi ini dapat dibantu oleh Perusahan tambang seperti CPM.
“Tujuannya untuk menjaga keberlangsungan tambang rakyat yang telah menjaga konsesi dalam IUP. Di Liverpool, Inggris, ada tambang dalam kota dan tidak masalah kalau teknologi canggih,” tandasnya. (RIFAY/***)