PALU – Operasi Tinombala yang digelar sampai hari, diakui tidak dapat menumpas tuntas kelompok sipil bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Ali Kalora.

Metode pengejaran manual yang dilakukan selama ini, dinilai kurang efektif karena justru pergerakan MIT makin masif hingga ke Kabupaten Parigi Moutong, Kota Palu dan Kabupaten Sigi.

“Bahkan dalam catatan saya, dalam tahun 2020 ini, aksi-aksi MIT malah meningkat terjadi di beberapa tempat dalam rentang waktu yang berdekatan,” tutur mantan Pengurus KontraS Sulawesi, Edmond Leonardo Siahaan, Senin (30/11).

Ia menguraikan beberapa kejadian terkait aksi kelompok tersebut, di antaranya, pada tanggal 14 Agustus 2020, seorang pensiunan TNI-AD ditemukan tewas dengan luka tersayat di bagian perut, di pegunungan Malahena, Desa Maholo.

Kemudian, lanjut dia, tanggal 27 November 2020, empat warga sipil dibunuh di Lembantongoa, Kabupaten Sigi dan tujuh rumah warga turut dibakar.

“Menurut saya, metode operasi dan pola pendekatan yang selama ini dipakai dalam Operasi Tinombala harus diubah, sebab mobilitas mereka sudah sangat aktif di dalam Kota Palu dan daerah-daerah yang berbatasan dengan Kota Palu,” ungkapnya.

Maka, kata dia, aparat keamanan sudah harus menerapkan model operasi yang lebih komprehensif, tidak bisa lagi dengan metode pengejaran manual seperti saat ini.

Kata dia, selama ini Operasi Tinombala hanya fokus mengejar kelompok teroris MIT di daerah pegunungan Kabupaten Poso, ternyata juga tidak berhasil menumpas kelompok MIT ini sampai ke akar-akarnya.

“Sehingga saya khawatir dengan kesiapan dan kesigapan aparat keamanan apabila kelompok ini merubah strategi gerilya hutan menjadi gerilya dalam kota,” tuturnya.

Pria yang saat ini aktif sebagai advokat itu mengaku mendapat masukan dari salah seorang pilot drone di Kota Palu. Alangkah baiknya, kata dia, pemerintah pusat mulai memikirkan untuk menggunakan teknologi pesawat nir awak atau drone yang telah dimiliki TNI Angkata Udara yang dipamerkan pada Upacara 17 Agustus 2019.

“Pemerintah Indonesia sebenarya telah memiliki 6 unit drone tipe CH-4 Rainbow yang dibeli dari Cina seharga 4 juta dolar. Drone ini beroperasi diketinggian maksimal 8.000 meter, dilengkapi sensor infra-red yang mampu mendeteksi panas tubuh dan pengintai laser, dapat melakukan serangan yang dipandu dan dirancang untuk menuju target dengan waktu tempuh sampai berjam-jam,” tuturnya.

Bahkan, kata dia, CH-4 bisa menjalankan misi 14 jam dengan daya jelajah 1000 sampai 3.500 kilometer.

Dari rekam jejak drone tersebut, lanjut dia, maka sangat relevan bagi Satgas Tinombala untuk melacak keberadaan kelompok MIT ini.

“Drone militer ini diperkirakan hanya membutuhkan waktu tempuh 10 menit ke wilayah pegunungan tempat persembunyian MIT di Kabupaten Poso dan bisa berputar-putar berjam-jam di atas hutan yang akan dipantau,” katanya.

Ia pesimis bahwa sangat sulit sekali bagi Operasi Tinombala yang sudah pasti akan diperpanjang ini untuk menangkap kelompok teroris MIT ini dengan metode dan strategi yang sudah dipakai selama ini.

“Padahal menurut Kapolda Sulteng, pasca penyerangan Lembantonga, sisa anggota MIT ini hanya 11 orang dengan 1 senjata M16 dan 1 pistol,” ujarnya.

Untuk itu, ia mendesak TNI-AU untuk menggunakan drone dalam operasi penumpasan MIT, Polres Sigi dan Polres Parigi Moutong diminta membangun pos polisi yang permanen di masing-masing wilayah hukum di Lembantonga.

“Pemda Sigi dan Parigi Moutong juga sudah harus serius membangun infrasturktur komunikasi yang lebih maksimal lagi, karena dengan kondisi yang ada sekarang di mana tidak ada jaringan komunikasi membuat daerah Lembantonga semakin terisolir dan mudah untuk dijadikan sasaran aksi terorisme,” katanya.

Sementara itu, kepada pihak Polda Sulteng, ia berharap agar segera melakukan penjagaan di gereja-gereja yang akan melaksanakan Natal 25 Desember 2020.

“Saya juga tetap mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi Operasi Tinombala selama ini, termasuk mengaudit operasi dan dana yang telah dipakai,” pungkasnya. (RIFAY)