OLEH: Edi Lukito*
Perguruan tinggi saat ini memiliki peran vital bagi kemajuan peradaban manusia. Melalui tanggung jawab pendidikan yang diembannya, perguruan tinggi berperan menanamkan nilai-nilai fundamental yang menjadi pegangan manusia dalam hidup.
Kemudian, perguruan tinggi berperan dalam mengembangkan serta melahirkan berbagai teori, ide, gagasan, serta inovasi lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan.
Kemudian, sebagai konsekuensi karena telah mengenyam pendidikan tinggi, para sivitas akademika perguruan tinggi berkewajiban untuk mengabdikan diri pada masyarakat luas.
Sebagai nilai tambah setelah melakukan semua itu, para sivitas akademika perguruan tinggi akan mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera.
Apabila menilik leksikon kebahasaan Indonesia, perguruan tinggi adalah tempat pendidikan dan pengajaran tingkat tinggi (seperti sekolah tinggi, akademi, universitas).
Kemudian, definisi pendidikan tinggi secara legal-formal termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012. Pada Pasal 1, dituliskan definisinya sebagai “jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia”.
Berdasar definisi di atas, perguruan tinggi adalah tempat melaksanakan pendidikan tinggi yang merupakan lanjutan setelah menamatkan pendidikan menengah (SD, SMP, SMA) atau lebih dikenal dengan sebutan “kuliah”.
Secara historis, jika tidak terikat pada pemaknaan modern tentang pendidikan tinggi, kegiatan ini sebetulnya telah dilakukan di Indonesia sejak zaman kerajaan Sriwijaya, di Palembang. Hal ini berdasarkan memoar I-Tsing (catatan China kuno) bahwa terdapat perguruan tinggi Budha yang berpusat di Sriwijaya. Banyak para pendeta dari China datang berkuliah di sana, sebelum melanjutkan studi lanjutan di Universitas Nelanda, India.
Poin penting dari narasi historis ini, bahwa Indonesia pernah menjadi kiblat perguruan tinggi; jauh sebelum kiblat perguruan tinggi itu berpindah ke negara-negara Amerika dan Eropa (sumber: Kompas.id).
Kemudian jika memandang pada makna perguruan tinggi modern, sejarah mencatat perguruan tinggi pertama kali berdiri di Indonesia adalah Universitas Indonesia; merupakan warisan dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Awalnya didirikan khusus pendidikan kedokteran untuk mencetak para mantri dengan nama awal STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Perguruan tinggi ini masih terus eksis, hingga pada tahun 1950 berganti nama menjadi Universitas Indonesia dengan beberapa rumpun keilmuaan.
Setelahnya, pada 8 Juli 1945, melalui tangan para pejuang bangsa seperti Mohammad Hatta, KH. Abdulkahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Mas Mansyur, dan Mohammad Natsir berdiri Sekolah Tinggi Islam (STI) pertama di Indonesia; saat ini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Baru pada tahun 1949 pasca kemerdekaan berdirilah Universitas Gadjah Mada yang murni dari perjuangan bangsa Indonesia, melalui Peraturan Pemerintah No. 23 tentang Peraturan Penggabungan Perguruan Tinggi menjadi Universitas.
Melalui catatan sejarah ini, tampak bahwa pendirian perguruan tinggi di Indonesia sangat lekat dengan perjuangan kerakyatan.
Olehnya, para sivitas akademika perguruan tinggi bertanggungjawab untuk mengabdi pada rakyat, berpihak pada rakyat, dan menjadi hak setiap rakyat untuk mendapatkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi.
Namun, saat ini terjadi paradoks. Kritik yang kerap hadir adalah biaya kuliah yang begitu mahal; seakan hanya diperuntukkan bagai kaum kapitalis-borjuis, perguruan tinggi kerap dijadikan alat politik para elit untuk memainkan kekuasaan, dan perguruan tinggi Indonesia saat ini cenderung elitis; layaknya corak perguruan tinggi Eropa yang memang dasarnya merupakan pemberian penguasa. Kondisi seperti ini semakin menjauhkan perguruan tinggi dari corak embrionya dulu yakni “kerakyatan”.
Setiap masa peraliahan semester di perguruan tinggi, pasti selalu ramai dengan aksi demo mahasiswa yang meminta keringanan pembayaran uang kuliah. Selain itu, di media sosial banyak bertebaran berita mengenai cerita para mahasiswa yang harus melakukan segala hal agar dapat membayar uang kuliah.
Pada penerimaan mahasiswa baru, utamanya di kampus-kampus elite Indonesia, penetapan uang kuliah berdasarkan penghasilan keluarga juga masih jauh dari keadilan.
Potret pendidikan yang terjadi saat ini, tentu didorong oleh berbagai macam faktor. Terlepas dari faktor apapun itu, kita harus kembali meresapi nilai yang di bawa Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan.
Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara terselip dua nilai yang menurut saya penting untuk dijunjung:
Pertama, nilai kerakyatan itu sendiri. Di dalam konteks pendidikan Ki Hajar Dewantara, kerakyatan merupakan latar belakang dari lahirnya pendidikan. Selaras dengan yang telah disebutkan di muka, bahwa perguruan tinggi hadir dari perjuangan rakyat itu sendiri.
Sehingga pendidikan itu harus merakyat tidak elitis. Dalam arti bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta hasil utamanya digunakan untuk pengabdian kepada masyarakat.
Kedua, nilai humanisme, merupakan dasar filosofis dari pendidikan pembebasan Ki Hajar Dewantara. Baginya pendidikan adalah proses afirmasi manusia sebagai manusia yang utuh. Dalam kodratnya, manusia memiliki kebebasan.
Kebebasan dari kungkungan kebodohan, kebebasan aktualisasi diri, kebebasan dari kemiskinan, serta kebebasan dari berbagai penindasan dan pemaksaan. Selanjutnya, kebebasan itulah yang dijunjung dalam konsep pendidikan pembebasan Ki Hajar Dewantara.
Wal akhir, Ki Hajar Dewantara dijuluki Bapak Pendidikan Indonesia sebab jasanya dan pemikirannya yang cemerlang memajukan pendidikan Indonesia saat masa penjajahan.
Oleh sebab itu, setiap pemikiran dan konsepnya terhadap pendidikan hendaknya selalu dijadikan pertimbangan dalam setiap kebijakan pendidikan Indonesia, sampai kapanpun. Itulah mengapa setiap tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Hari itu adalah momen revitalisasi nilai-nilai pendidikan yang beliau bawa. Juga sebagai momen evaluasi pendidikan yang saat ini menjauh dari rakyat. Selamat merayakan!
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo