Menyongsong Keparipurnaan Santri dengan Literasi Digital

oleh -
Ilustrasi. (commons.wikimedia.org)

OLEH: Edi Lukito*

Kasus perundungan di lingkungan sekolah masih terus terjadi hingga kini. Masifnya perkembangan media  sosial menjadikan masalah perundungan yang klasik dan mengakar di dunia pendidikan kita semakin mudah terekspos.

Belum lama ini, jagat maya dihebohkan dengan beberapa kasus perundungan yang melibatkan anak sekolah. Pun, di pondok pesantren menjadi lahan subur kasus perundungan, meskipun jarang terbeberkan di media sosial.

Langgengnya kasus perundungan di dunia pendidikan kita, sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat pembentukan karakter anak, juga dipengaruhi oleh anasir feodalisme yang masih bersemayam di tubuh bangsa Indonesia.

Tak cukup sampai di situ, kini lingkungan pembentukan karakter anak merambah melalui dunia digital. 

Kebebasan yang ditawarkan oleh dunia digital menjadi variabel  utama pembentukan karakter anak. Algoritma dunia digital diatur sedemikian rupa untuk menyesuaikan penggunanya. Pencarian yang kita lakukan akan memperlihatkan konten-konten terkait hal yang kita cari.

Apabila ditelusuri lebih jauh, konten-konten tersebut akan memenuhi beranda digital kita. Hal tersebut menjadi pengarah sikap dan perilaku.

Lebih jauh lagi, ketika kegiatan digital yang sangat permisif ini dilakukan oleh anak-anak yang masih cenderung duplikatif (meniru) dan mencari jati dirinya, algoritma digital hadir menjadi pengasuh dan pembentuk karakternya.

Fenomena algoritma digital menjadi pengasuh bagi anak adalah keniscayaan, mengingat hampir seluruh kehidupan manusia tak bisa lepas dari dunia digital.

Oleh karena itu, kita harus mulai meningkatkan kemampuan literasi digital, agar terhindar dari dampak buruk dunia digital yang semakin berkembang tak terkendali dan menjelma menjadi pengasuh tumbuh kembang anak. Penguatan literasi digital, bisa dimulai dari pendidikan utamanya di sekolah.

Dalam konteks tersebut, penulis tertarik untuk menyorot santri sebagai sosok yang dikenal agamis karena tumbuh di lingkungan pesantren, namun tetap tersentuh oleh pengaruh dunia digital.

Pasalnya, walaupun terdapat beberapa pesantren yang melarang penggunaan barang eloktronik (seperti handphone, laptop, dsb) bagi santrinya, namun ketika santri tersebut berlibur dan pulang ke rumah, ia akan kembali berselancar di dunia digital, mungkin lebih brutal dibanding teman-temannya yang tidak tinggal di pesantren.

Maka, teramat penting bagi setiap pesantren untuk ikut mengajarkan literasi digital bagi para santrinya.

Berbicara mengenai literasi digital, Jaringan Pegiat Literasi Digital yang disingkat Japelidi menyebutkan literasi digital terdiri atas tiga elemen, yaitu pengetahuan, kompetensi, dan lokus personal.

Pengetahuan dan kompetensi artinya individu diharapkan memahami dan mengimplemntasikan konsep literasi digital, sedangkan lokus personal artinya kebutuhan literasi digital individu satu dan lainnya bisa saja berbeda.

Japelidi juga mengelompokkan literasi digital menjadi 10 kompetensi, yaitu mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis, membuktikan, mengevaluasi, mendistribusi, memproduksi, berpartisipasi, dan kolaborasi.

Adapun yang dimaksud dengan 10 kompetensi tersebut adalah:

1) Akses: Kompetensi mengoperasikan media digital secara optimal dengan cara mengenali dan menguasai ragam fitur yang ada.

2) Seleksi: Kompetensi memilih dan memilah informasi dari berbagai sumber agar sesuai dengan kebutuhan.

3) Paham: Kompetensi memahami dengan baik informasi yang diterima baik dari teks yang tersirat maupun tersurat.

4) Analisis: Kompetensi menganalisis informasi dengan membedah pesan yang disampaikan untuk memahami makna pesan.

5) Verifikasi: Kompetensi melakukan konfirmasi silang dengan informasi sejenis dari beragam sumber lain atau melakukan cek dengan teliti dan hati-hati untuk memastikan kebenaran informasi.

6) Evaluasi: Kompetensi mempertimbangkan ragam risiko sebelum mendistribusikan informasi dengan juga mempertimbangkan cara dan platform yang akan digunakan.

7) Distribusi: Kompetensi membagikan informasi dengan mempertimbangkan siapa yang akan mengakses informasi tersebut.

8) Produksi: Kompetensi menyusun dan menghasilkan informasi baru yang akurat, jelas, dan memperhatikan etik dan kaidah hukum yang berlaku.

9) Partisipasi: Kompetensi untuk dapat terhubung dengan personal atau grup dengan baik.

10) Kolaborasi: Kompetensi berkolabarasi dengan masyarakat digital lainnya, sehingga tercipta iklim digital yang harmonis dan produktif.

Setelah mengetahui 10 kompetensi literasi digital, hasil yang diharapkan ketika beberapa atau semua kompetensi itu dikuasai oleh para santri adalah:

Pertama, karakter para santri terbentuk dengan baik sebab ia sudah mampu menyeleksi, memahami dan menganalisis berbagai konten di media digital yang sesuai norma kehidupan.

Kedua, Kesehatan mental para santri tetap terjaga sebab mereka sudah mampu memilah, menyaring, memproduksi dan mendistribusikan berbagai informasi yang mereka dan orang lain butuhkan. Pun, tidak merespon dan tidak membuat maupun membagikan konten/komentar yang berbau SARA, bullying, toxic, dan pornografi.

Mengingat saat ini kasus gangguan mental meningkat, penyebab yang paling dominan adalah karena kebebasan di dunia digital, hal ini terjadi pada gen Z dan Babyboomer.

Ketiga, Para santri menjadi selektif, analitis dan verifikatif terhadap berbagai informasi yang bertebaran di media digital. Sehingga tidak tertapapar dengan berita hoaks dan konten-konten menyesatkan.

Keempat, eksistensi para santri tetap terjaga di tengah arus kemajuan zaman. Melalui pengusaan pada literasi digital para santri mampu mengakses dan mengoperasikan media digital dengan komprehensif dan maksimal. Para santri juga mampu berlaku partisipatif dan kolabaritif di dunia digital sehingga mereka bisa bertahan hidup ditengah gempuran digitalisasi kehidupan.

Walakhir, dunia digital kini telah menyentuh perkara vital pada kehidupan di dunia nyata. Persoalan pembentukan karakter, kesehatan mental, kerukunan, dan eksistensi kehidupan di dunia nyata dipengaruhi oleh dunia digital.

Sikap adaptif melalui peningkatan literasi digital penting dilakukan, sebab menghindar dari gempuran dunia digital bukan pilihan yang tepat. Dalam konteks ini, para santri yang tinggal tertutup di dalam pesantren tetap akan terpapar dampak buruk literasi digital.

Perilaku adaptif yang dapat dilakukan khususnya di pesenatren adalah dengan merancang pembelajaran di pondok pesantren yang berorientasi pada literasi digital. Agar santri tumbuh menjadi insan paripurna di dunia dan akhirat.

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo