OLEH: Agung Ramadhan, M.I.Kom*

Berbagai sektor industri mengalami dampak buruk karena Pandemi COVID-19. Khusus di sektor pariwisata, bahkan diprediksi akan menjadi industri yang terakhir pulih.

Hal itu disebabkan karena adanya pembatasan aktivitas individu hingga penutupan sejumlah negara dengan serangkaian kebijakan tarik ulur dalam penanganan pandemi COVID-19.

Pemulihan sektor pariwisata akan berbeda-beda di setiap negara. Semua itu juga tergantung dari bagaimana negara tersebut menanganinya.

Dalam beberapa bulan menjalani masa Pandemi COVID-19 ini, Pemerintah Indonesia mulai melonggarkan aktifitas masyarakat dengan serangkaian kebijakan dalam rangka memasuki masa kenormalan baru, walaupun angka terpapar COVID-19 masih mengalami kenaikan.

Saat ini Pemerintah Indonesia menginisiasi kebijakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menangani berbagai sektor yang terdampak Pandemi COVID-19, termasuk bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kebijakan ini termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 9 Mei lalu.

Dalam rangka pemulihan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) juga menekankan kepada masyarakat agar secara disiplinmenerapkan protokol Clean, Health, Safety, and Environment (CHSE).

Lantas selanjutnya, bagaimana penerapan kebijakan pemerintah dalam melakukan pemulihan pariwisata Indonesia melalui kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif? Apakah program Pemulihan Ekonomi Nasional dapat menyiasati kebangkitan sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia?

KONDISI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF INDONESIA

Berdasarkan laporan Direktur Kajian Strategis Kemparekraf RI, dampak Pandemi COVID-19 pada Industri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, adalah hilangnya penerimaan dari sektor pariwisata sebesar US$ 910-1.200 Miliar serta penurunan kunjungan wisatawan internasional sebanyak 850 Juta sampai 1,1 Milliar atau -58% sampai dengan 78%.

Selain itu juga terdapat resiko hilangnya lapangan pekerjaan berkisar 100 sampai 120 juta.

Hal itu disebabkan oleh penutupan hotel dan restoran, pengurangan karyawan, gagal bayar kredit investasi dan modal kerja, dan lain sebagainya. (Laman IESA. “Pengarusutamaan Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi COVID-19. Diakses pada 25 Agustus 2020)

Data lainnya juga dilansir dari laman Trading Economics, terkait aktifitas Pariwisata Indonesia dalam laporan Juni 2020 menunjukan bahwa kedatangan turis asing di Indonesia merosot 88,82% (YoY), menjadi 160,3 ribu. Jumlah kedatangan melalui udara di daerah Bali sebagai pusat industri pariwisata Indonesia anjlok 100% menjadi hanya 10%.

Selain itu kunjungan turis ke Ibukota Jakarta anjlok sebesar 99,52% dan yang ke Batam 98,98%. Kebanyakan turis yang terhitung berasal dari Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam. (Laman Trading Economics. “Indonesia Tourist Arrivals”. Diakses pada 25 Agustus 2020)

Melihat kondisi Pariwisata berdasarkan model makro global Trading Economics dan ekspektasi analisisnya, bahwa kedatangan wisatawan di Indonesia mencapai 200.000 pada akhir kuartal ini, kemudian akan mencapai 1.250.000 dalam waktu 12 bulan.

Sedangkan dalam jangka panjang menurut model ekonometrik, bahwa kedatangan wisatawan Indonesia diproyeksikan trennya sekitar 1.480.000 pada tahun 2021. Prakiraan itupun belum menyesuaikan dengan bagaimana keadaan serta kebijakan pemerintah Indonesia dalam penanganan Pandemi COVID-19 saat ini.

Trading Economics juga menunjukan bahwa dampak Pandemi COVID-19 mengakibatkan pendapatan Pariwisata di Indonesia turun menjadi US$ 88,43Juta. Pada kuartal kedua tahun 2020 dari US$2.911,28 Juta pada kuartal pertama tahun 2020.

Menurut data dari Bank Indonesia, bahwa pendapatan Pariwisata di Indonesia rata-rata US$ 2.716,71 Juta dari 2010 hingga 2020, mencapai titik tertinggi sepanjang masa sebesar US$4.722,71 Juta pada kuartal ketiga 2019 dan rekor terendah US$88,43 Juta pada kuartal kedua tahun 2020. (Laman Trading Economics. “Indonesia Tourism Revenues”. Diakses pada 25 Agustus 2020)

Laporan JAKPAT Survey Report (2020), Social Distancing During Covid-19 Outbreak, menjelaskan bahwa permasalahan Pandemi COVID-19 memberikan dampak yang lebih besar pada perjalanan luar negeri, sedangkan perjalanan domestik tidak memiliki pengaruh yang besar.

Hal itu dilihat dengan tingginya persentase rencana berpergian dengan destinasi domestik sebesar 62%, sedangkan destinasi luar negeri hanya sebesar 38%.

Responden yang belum memiliki rencana berpergian juga masih memikirkan kembali apakah memang harus melakukan perjalanan atau tidak. (Laman IESA. “Pengarusutamaan Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi COVID-19. Diakses pada 25 Agustus 2020)

Wisatawan di sejumlah negara merasa lebih waswas untuk melakukan perjalanan. Berdasarkan survey TCMI, Universitas Florida, kekhawatiran wisatawan di Amerika Serikat meningkat lebih dari 2 kali lipat sejak kasus pertama COVID-19 terkonfirmasi di Amerika Serikat.

Dalam survei mingguan yang dilakukan, terdapat 92% wisatawan di Amerika Serikat yang rencana wisatanya terdampak COVID-19, dan lebih dari 50% telah membatalkan perjalanannya. (Laman UF Tourism. Diakses pada 25 Agustus 2020).

Fenomena ini juga terjadi di berbagai negara lain di dunia. (Laman New York Times, Global Web Index, PHYS. Diakses pada 25 Agustus)

Sementara itu berbeda dengan wisatawan domestik, Indonesia lebih optimis dalam melihat pandemi dan masih berencana untuk berwisata.

Secara perilaku wisatawan Indonesia dapat dikatakan optimis karena masih memiliki keinginan untuk belanja lebih banyak kedepannya. Hal ini juga dibuktikan dengan melihat pengeluaran konsumen Indonesia ditahan dalam bentuk tabungan, terlihat dari nilai Dana Pihak Ketiga (Simpanan/Tabungan) di bank yang mengalami peningkatan.

Dari studi Alvara Research Center, melakukan giat wisata adalah hal pertama yang ingin dilakukan oleh mayoritas respondennya. (Laman infobrand. “Survei Alvara Perilaku Publik Selama Pandemi COVID-19”. Diakses pada 25 Agustus 2020)

LANGKAH KEBIJAKAN PENANGANAN DAN PEMULIHAN EKONOMI

Pandemi COVDI-19 mengancam perekonomian Indonesia dari sisi konsumsi dan dunia usaha. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2020 sebesar 2,97%.

Koreksi pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Terdapat potensi dampak sosial atas penurunan pertumbuhan dalam dua skenario.

Kemiskinan dalam skenarionya sangat berat dapat mencapai kurang lebih 3,78 Juta orang, sedangkan pengangguran 5,23 Juta orang.

Hal itu dapat terjadi jika setelah Pandemi COVID-19, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020, yaitu -0,4% sebagai kondisi yang terburuk. (Kementerian Keuangan RI. “Media Briefing: Program Pemulihan Ekonomi Nasional”. 13 Mei 2020)

Selanjutnya, upaya pemerintah dalam melakukan penanganan dan pemulihan ekonomi diarahkan pada sisi kebutuhan masyarakat. Adapun terkait sektor Pariwisata masuk dalam skala prioritas, salah satu programnya, yaitu perluasan stimulus konsumsi dengan fokus pada Kelas Menengah.

Dalam hal ini dapat dilihat dalam kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 23 Tahun 2020 terkait Prinsip, Pengambilan Kebijakan, dan Modalitas Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Program dukungan APBN untuk pemulihan ekonomi nasionaldi sektor Pariwisata, di antaranya (1) Diskon tiket pesawat ke destinasi wisata, serta insentif pajak hotel/restoran sebesar Rp. 3,8 Triliun, dan (2) Stimulus untuk penguatan aggregate demand (dukungan sector pariwisata, voucer makanan melalui online) sebesar Rp. 25 Triliun. (Kementerian Keuangan RI. “Media Briefing: Program Pemulihan Ekonomi Nasional”. 13 Mei 2020)

Terdapat stimulus konsumsi dan usaha dalam desain Pemulihan Ekonomi Nasional 2020.

Pada Kuartal II dan III, stimulus konsumsi diarahkan pada percepatan dan penguatan subsidi dan bantuan sosial untuk masyarakat berupa tambahan sembako, kartu pra-kerja, pembebasan tarif listik, sedangkan stimulus usaha diantaranya, berfokus pada ultra Mikro dan UMKM, seperti penundaan pokok dan bunga UMKM dan UMi, subsidi bunga kredit UMKM dan UMi, insentif perpajakan untuk UMKM, penjaminan kredit modal kerja UMKM, serta Dana Insentif Daerah (DID).

Selanjutnya memasuki Kuartal IV, stimulus konsumsi berfokus pada kelas menengah seperti kegiatan pariwisata, restoran, transporatasi dan sebagainya.

Sedangkan untuk stimulus usaha dilakukan Jump Start sektor usaha, seperti penjaminan kredit modal kerja UMKM, penyaluran kredit modal kerja BUMN, Dana Insentif Daerah (DID), Dana dukungan untuk B-30, dan sebagainya.

PARIWISATA MENJADI SEKTOR YANG TERAKHIR PULIH

Industri pariwisata merupakan sektor yang paling terdampak Pandemi COVID-19. Pendapatan negara dari sektor ini terbilang cukup besar di Indonesia karena memiliki berbagai potensi serta minat yang tinggi dari wisatawan mancanegara maupun domestik.

Namun saat ini kunjungan wisatawan mancanegara maupun domestik mengalami penurunan secara signifikan. Belum lagi ditambah merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aktfitas wisata.

Dari beberapa survei sebelumnya menunjukan bahwa wisatawan domestik cenderung optimis terhadap pemulihan Pariwisata Indonesia, sebaliknya wisatawan mancanegara mengurungkan rencana untuk berpergian dan memiliki kekhawatiran untuk melakukan aktfiitas pariwisata ke negara lain.

Hal ini tentunya dapat dilihat kemungkinan optimisme wisatawan domestik karena dipengaruhi faktor lain, seperti pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi. Sedangkan bagi wisatawan mancanegara terlihat ingin memastikan jaminan kesehatan serta penanganan Pandemi COVID-19 di suatu negara sebelum kembali melakukan aktifitas wisatanya.

Kebijakan membuka kembali dan memudahkan akses wisata tidak serta merta dapat menarik kembali geliat pariwisata dengan cepat, khususnya bagi wisatawan mancanegara, yang banyak menyumbang untuk pendapatan negara.

Di samping itu, penerapan protokol kesehatan yang menjadi jaminan aktifitas wisataagar dapat berjalan kembalijuga memerlukan kedisiplinan yang tinggi, sehingga turut membangun kepercayaan masyarakat dengan perasaan yang lebih aman dan nyaman. Perlu diketahui juga bahwa sampai saat ini kasus COVID-19 di Indonesia masih terus mengalami peningkatan.

Adanya upaya penanganan dan pemulihan ekonomi yang disusun oleh Pemerintah sejauh ini terlihat cukup baik untuk memberikan harapan bagi masyarakat agar kembali melanjutkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dengan ketersediaan anggaran yang terbilang cukup besar untuk pemulihan ekonomi, diharapkan program pariwisata dapat kembali berjalan dengan baik dan maksimal.

Maka monitoring dan evaluasi program pariwasata menjadi perhatian bersama, sehingga dapat meminimalisirbeban keuangan negara yang diproyeksiakan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan dari dampak Pandemi COVID-19. ***

*Penulis adalah Pemerhati Isu Sosial/Alumnus Paramadina Graduate School of Communication