Kesiapan Mental
Sejauh ini yang mencuat masih seputar angka-angka, kuantitatif. Soal jumlah peserta yang “diduga” akan mencapai ribuan orang (menurut sebuah situs, sampai 5.000-an orang. Banyaknya orang hanya menstimulasi aktivitas kuantitatif, seperti menyiapkan penginapan peserta, menu makanan peserta, uniform peserta dan lain-lain.
Bagaimana “menu pikiran” peserta MUNAS? Tema-tema cerdas apa untuk peserta MUNAS, seperti: opening speech sebagai welcome think (bukan welcome drink), wisata jejak bencana Palu (bisa disiapkan spokes person yang faham tentan geologi Palu dan Sulteng: tentang likuifaksi, gempa, dan tsunami Palu dan kawasan sekitarnya).
Para peserta MUNAS dikondisikan memiliki kesiapan “sadar MUNAS”…bahwa MUNAS kali ini berlokasi di bekas titik bencana yang terbilang besar, sehingga memiliki simpati dan empati – terutama atas kondisi para penyintas yang pernah mengalami bencana di “PASIGALA” (Palu-Sigi-Donggala: kawasan yang terpapar bencana pada 28 September 2018 silam).
Secara mental para peserta MUNAS dibawa berpikir untuk “sadar bencana” sekaligus bersimpati dan berempati terutama kepada para penyintas bencana – yang masih belum terlayani kebutuhan hunian, ekonomi, dan spiritualnya.
KAHMI memiliki alasan kemanusiaan untuk menghelat MUNAS di Palu. Stimulan menyebut diri “KAHMI Kemanusiaan” sangat kontekstual dan memiliki argumentasi logis. Jarak waktu 2018 ke 2022, sekaligus menunjukkan kerentanan yang patut menyeret para peserta MUNAS memiliki kesadaran kontributif. Kontributif pada kelemahan struktural di Sulawesi Tengah – tanpa harus mencari kambing hitamnya. Karena itu kita hadir di MUNAS ini, dengan segala kesiapannya. Jauh dari tendensi “liburan berpikir”, justru bersama-sama berpikir.
MUNAS di Sultang bukan demi bersenang-senang; ini perhelatan kemanusiaan! Para kader HMI yang menghadiri MUNAS amat menyadari. Sejumlah peristiwa kemanusian yang terjadi di sejumlah kabupaten di Sulawesi Tengah, telah menjadi prolog MUNAS yang monumental ini.
Kembali pada judul tulisan ini: menyelamatkan MUNAS. Ini saya maknai sebagai: menyelamatkan sumberdaya Sulawesi Tengah, baik sumberdaya alamnya, sumberdaya aksesnya (saya menemukan platform ligistik berbasis digital untuk memudahkan pengelolaan dan perencanaan, yang membantu semua orang di Indonesia, mengantarpulaukan dan menduniakan berbagai komoditi.
Dari platform itu saya juga bisa membaca mengenai sejumlah kekayaan alam Sulawesi Tengah dan komoditi daerah lainnya. Sulawe Tengah saja, wilayah sangat kaya sumberdaya: terbarukan maupun tak terbarukan. Ini yang harus menstimulasi sekian banyak intelektual yang menghadiri MUNAS untuk memikirkannya. Adagium untuk itu: Satu orang kader HMI, bisa bikin training; tetapi ribuan kader alumni HMI, bisa mengubah dunia.
Warning sahabat saya tentang MUNAS ini tidak sama sekali keliru. Bahwa umumnya alumni HMI “terkenal” political heavy, gandrung berpolitik, itu betul. Sudah bawaan orok kalau kader HMI political heavy.
Dari statement Presiden Jokowi saja, pernah menyebutkan bahwa pada kabinetnya “banyak menterinya, alumni HMI”. Kalau “pada umumnya” kader HMI gandrung berpolitik, bukan sesuatu yang harus disesali, sekaligus bukan sesuatu satu-satunya yang digandrungi. MUNAS hendak membuktikan, sekian hal diikhtiarkan untuk diperlihatkan menjadi realitas bangsa Indonesia.
*Penulis adalah Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Palu dan Alumni FISIP, Universitas Tadulako 1992