OLEH : Iqbal Setyarso*

Cukup seru kompetisi rebutan pengaruh berharap terpilih pada perhelatan Musyawarah Nasional (Munas) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Maka, dengan terpilihnya kota Palu, Sulawesi Tengah menjadi tempat Munas KAHMI, mencuat pula “jenis kompetisi” yang lain, kompetisi antar personal – wabilkhusus kompetisi yang bernuansa politik.

Terlebih, ini Sulteng tak hanya terpapar “badai bencana (alam maupun non alam – seperti pandemi”, juga menjadi terimbas ekses “tahun politik” Indonesia.

Prolognya sudah didahului adu wacana pro dan kontra perpanjangan pemilihan umum (yang membawa konsekuensi perpanjangan masa jabatan sejumlah anggota DPR dan DPD-RI, sejumlah Gubernur, Bupati dan semua unsur pemerintahan di bawahnya).

Saat beredar kabar Majelis Nasional KAHMI telah menetapkan Musyawarah Nasional (MUNAS) KAHMI XI Tahun 2022, bertempat di Kota Palu, itu menjadi momentum adu gagasan sekaligus pengaruh.

Penetapan ini menjadi agenda nasional pertama dalam masa pandemi (yang sudah memasuki tahun ketiga ini). Kota Palu terpilih setelah bersaing ketat dengan Manado, karena kuatnya citra Palu sebagai kota yang mengalami triple bencana: likuifaksi, gempa dan tsunami.

“Munas itu direncanakan akan berlangsung 20-22 November 2022. Peristiwa nasional itu diperkirakan akan dihadiri lebih dari 5.000 peserta” begitu kata Ketua Umum Korps Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Majelis Wilayah (MW) Sulawesi Tengah, H. Andi Mulhanan Tombolotutu.

Melengkapi struktur kepanitian, pada Rakorwil Majelis Wilayah KAHMI Sulteng, telah ditetapkan, Mohammad Tavip Abdul Karim, menjadi ketua panitia Munas, Ruslan T. Sangadji sebagai Sekretaris, dan Andi Kaimuddin sebagai Bendahara.

Bermula dari tulisan saya -yang saya kirim terbatas ke sejumlah alumni HMI Cabang Palu, mereka rata-rata merespon dengan balasan berupa stiker digital bergambar jempol, atau menyampaikan apresiasinya. Hanya satu yang merespon dengan menunjukkan sikap kritis, warning kepada saya, jangan heran kalau sejumlah alumni (HMI) bersikap political heavy pada forum MUNAS XI ini.

Ungkapan bernada warning itu, diawali penggambaran realitas beberapa tahun ini di Sulteng. Katanya, “Problem Sulteng itu soal disparitas antar kota kabupaten yang sangat mencolok. Pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tak memberi efek peningkatan kesejahteraan warga Sulteng. Buktinya angka kemiskinan di Sulteng masih diatas kemiskinan nasional. Terdapat tujuh kabupaten terkategori miskin ekstrim,” jelasnya.

Uraiannya berlanjut. Pertanyaan retoriknya, ”Apakah isu begini akan terlihat seksi di panggung MUNAS? Wallahu a’lam. Terlalu lokal. Di mana posisi anggota KAHMI atas masalah ini? Sepertinya tak banyak yang hirau.”

Statemen itu menstimulir saya yang lantas browsing. Gusar atas pikiran itu, sahabat saya ini lalu meneruskan, ”Anggota HMI maupun KAHMI terlalu kuat pada orientasi politik. MUNAS KAHMI ini juga nantinya hanya akan menjadi panggung buat pemburu kekuasaan.”

Bertolak dari prasangka itu artikel ini saya tulis. Karena ada frasa pemburu kekuasaan. Bukan tanpa alasan, kutipan itu sengaja saya kemukakan di sini. Sahabat saya ini mengatakan alasan sehingga berkata begitu.

“Waktu Rakor beberapa pekan yang lalu, terlihat anggota KAHMI Sulteng parade bicara-bicara, masing-masing unjuk diri menampilkan kemampuan bernarasi walau miskin substansi.”

Kata-kata miskin substansi menjadi stressing point, bahwa di forum MUNAS organisasi hebat sekaliber KAHMI rasanya tabu bicara hal yang tidak kejelasan juntrungannya alias ngelantur. Forum seakbar dan sekolosal MUNAS KAHMI, seharusnya menjadi ajang adu gagasan sebagaimana menjadi karakter pertemuan dan dialog kaum intelektual, seperti galibnya ajang perhelatan kader-kader HMI (apalagi KAHMI).