Tempat itu dulunya ramai. Susana akan redup dan sepi manakala dini hari tiba. Paginya, suasana kembali ramai dengan berbagai aktivitas, hingga tengah malam menjemput.

Bukan hanya dipenuhi lalu lalang kendaraan atau orang-orang yang hanya sekadar bersantai menikmati suasana pantai, tapi juga jejeran pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menjajakan aneka jenis makanan dan minuman.

Pemandangan ini hanya sedikit dari sekian banyak aktivitas lain yang ditemui di Pantai Talise, sebelum tsunami memorak-porandakan segala yang ada, 28 September lalu.

Sebuah tempat di pesisir Teluk Palu yang membentang panjang menyambung dua kecamatan di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah ini. Pemandangan elok ala teluknya, cukuplah menjadikan tempat ini menjadi lebih dari sekadar pelepas penat alternative.

Namun semuanya berubah setelah peristiwa senja menjelang magrib itu. Gempa bumi 7,5 SR yang mengguncang Kota Palu dan sekitarnya, telah mengubah segalanya. Ronanya tak lagi seperti dulu, pun bentangan alamnya yang menjadi semrawut.

Tidak ada lagi tenda-tenda pelaku UKM yang berjejer.

Suasana malam hari di pantai Talise paska bencana, tak seramai

Jika dihitung, ada ratusan atau mungkin ribuan UKM yang menggantungkan hidupnya di pantai itu. Saban hari, yang datang berkunjung pun dari beragam kalangan dan profesi, baik sekadar menikmati suasana ataupun makan dan minum.

Dalam semalam, ratusan juta uang berputar di tempat itu. Ada simbiosis mutualisme yang berlaku. Mulai dari tukang parkir hingga penyanyi jalanan kebagian berkah.

Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM) Kota Palu, Setyo Susanto, mengaku tidak memiliki data riil terkait usaha mikro yang bermodal di bawah Rp500 juta tersebut. Namun dia memprediksi, pelaku UKM berada di kisaran 16 ribuan, meskipun hanya 6000-an yang tercover.

Dari catatan instansinya, sekitar 1200 pelaku usaha yang terdampak bencana alam.

“Mereka yang terdampak ini ada yang kehilangan alat usaha produksi atau mengalami kerusakan berat dan tempat usahanya pun hancur,” katanya.

Di bagian lain, Kabid Pemberdayaan, Pengembangan Usaha Kecil, Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Sulteng, Arifin S. Ahmad, mengatakan, data seluruh pelaku UMKM yang terdampak di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala, pascabencana lalu, mencapai ratusan ribu.

“Kami  mencatat sebanyak 13. 981 unit UMKM di Kota Palu, Sigi, Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) yang terdampak bencana alam,” katanya.

Namun, kata dia, jumlah tersebut, baru data awal yang diambil dari kabupaten/kota, 10 hari pascabencana.

Sejauh ini, pihaknya telah mengambil langkah-langkah penanganan. Selain melakukan pendataan, juga memberikan motivasi agar bangkit dan bisa menggeluti usahanya kembali.

“Jangan terlalu larut dalam kesedihan, bahwa bencana yang menimpa merupakan keputusan Allah SWT,” katanya.

Dia mengatakan, sebagai dinas teknis, pihaknya tidak bisa memberikan bantuan peralatan dan modal usaha kepada pelaku usaha yang terdampak, sebab terganjal pada Permendagri  yang belum dicabut, yakni tentang pengaturan hibah dan bantuan sosial.

Kalaupun ada bantuan diberikan bukan berupa modal usaha tapi peralatan dan bahan-bahan saja.

Di satu sisi para pelaku ekonomi terdampak ingin segera mendapat bantuan modal guna berusaha.

Salah satu pelaku ekonomi terdampak, Andiyani (34) mengaku belum bisa berjualan kembali, karena tidak lagi memilik modal. Dia pun tak tahu kemana harus mencari modal usaha.

Sebelumnya, Andriyani menjual nasi campur, soto dan lainya di Pantai Talise. Kala itu, modal usahanya sebesar Rp10 juta yang diperoleh dari pinjaman.

Dia mengaku bisa mendapatkan keuntungan sampai Rp500 ribu perhari, jika pembelinya sedang ramai.

Namun akibat tsunami, semua tempat usahanya hancur. Beruntung jiwanya masih selamat.

Dia hanya berharap bisa segera mendapatkan modal untuk berusaha, guna menghidupi empat anaknya.

Hal sama juga disampaikan Yuyun (37). Mantan karyawan sebuah hotel itu mengaku ikut berjualan di Pantai Talise. Namun tidak seperti Andiyani dan keluarganya yang bisa selamat, bencana alam lalu telah merenggut anak kandung dan keponakan, sekalian tempat usahanya.

Namun nasib Yuyun masih sedikit beruntung dari rekannya Andriani. Ibu dua anak ini sudah kembali berjualan es cincau seperti yang pernah dilakukannya sebelum tsunami.

Usaha es cincau itu diperoleh dari mencairkan BPJS Ketenagakerjaan.

Mereka yang kehilangan mata pencahariaan di pesisir pantai itu, bukan hanya pelaku UKM. Ada nelayan dan pedagang garam yang juga turut terdampak.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulteng mencatat sebanyak 294 nelayan Kota Palu yang terdampak bencana alam.

Jumlah nelayan tersebut  tersebar di lima kecamatan yang ada di Kota Palu, dengan rincian Kecamatan Palu Barat, tepatnya di Kelurahan Lere sebanyak 18 orang dan Kelurahan Baru delapan orang.

Selanjutnya Kelurahan Watusampu, Kecamatan Ulujadi sebanyak 38 orang, Kecamatan Mantikulore yang meliputi Kelurahan Talise sebanyak 38 orang, Kelurahan Tondo 37 orang dan Kelurahan Layana Indah sebanyak tujuh orang.

Kemudian Kecamatan Palu Utara terdiri dari Kelurahan Mamboro Barat sebanyak 63 orang, Kelurahan Mamboro 19 orang, Kelurahan Taipa 20 orang, Kelurahan Kayumalue 36 orang dan Kecamatan Tawaeli tepatnya di Kelurahan Pantoloan sebanyak 10 orang.

Kepala Bidang (Kabid) Perikanan Tangkap, DKP Sulteng, Yohanis Riga, menyampaikan, asset nelayan yang hilang, rusak berat maupun ringan, yakni 292 unit perahu atau kapal, 210 unit mesin ketinting, 113 genset, 206 pukat dan 8 set tali senar.

“Kemudian delapan bal tali jangkar, 326 set pancing, 375 unit lampu listrik, satu tabung oksigen, 18 rumpon, 28 unit accu dan delapan bagan,” urainya.

Secara keseluruhan untuk wilayah Donggala dan Kota Palu, DKP Sulteng telah mengidentifikasi sebanyak 2.522 usaha perikanan yang terdampak.

Nelayan Kampung Lere saat tiba dari melaut. (FOTO: MAL/IKRAM)

“Jumlah tersebut terdiri dari 1.287 dari Kabupaten Donggala dan 1.235 dari Kota Palu,” sambung Yohanis.

Di antaranya, kata dia, terdapat 54 Kelompok Usaha Bersama (KUB) di Donggala dengan jumlah  produksi 24.950 ton senilai Rp437 miliar terdampak. Kemudian 85 KUB dan 16 Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGar) di Kota Palu dengan produksi 1.629 ton, senilai Rp56 miliar.

Menurutnya, nelayan terdampak bencana dapat diklasifikasi empat kategori, yakni pemukiman ada dan sarana dan prasarana (sarpras) penangkapan ikan.

Karena banyaknya jumlah nelayan yang terdampak, kata dia, maka pihaknya memberikan dukungan penguatan, baik secara mental maupun ekonomi.

Pihaknya juga telah melaksanakan phsikososial bagi nelayan dan pembudidaya yang masih trauma dalam melaksanakan usahanya kembali di pelabuhan perikanan PPI Pelabuhan Bajo-Donggala dan Balai Bibir Ikan (BBI) Desa Tulo, Kabupaten Sigi.

“Tujuanya untuk membangkitkan semangat dan motivasi bangkit kembali,” katanya.

Ke depan, kata dia, pihaknya akan memperluas wilayah phsikososial dan melakukan sosialisasi tidak takut makan ikan melalui media cetak dan elektronik.

Kemudian menyediakan sarpras PI dan pengembangan usaha berbasis teknologi dan industry, relokasi nelayan melalui program transmigrasi dan penyediaan sarpras penangkapan ikan yang komprehensif.

“Sumber dananya dari  Bappenas, kementerian/lembaga terkait, pemprov/pemkab/pemkot serta lembaga donor seperti JICA dan Oxfam,” imbuhnya.

Segala permasalahan yang mereka alami, tentu mesti dicarikan solusi kongkret oleh pihak terkait di pemerintahan agar bisa segera secepatnya memulihkan perekonomian.

Salah satu Akademisi Unisa, Dr. Muhammad Yasin menyarankan agar dalam pemulihan ekonomi pascabencana, turut melibatkan perguruan tinggi atau kampus.

“Pemulihan ekonomi pascabencana, sebisanya melibatkan perguruan tinggi,” kata Muhammad Yasin.

Kalaupun pemerintah tidak melibatkan perguruan tinggi, kata dia, universitas harus bisa memberikan konstribusi terhadap masyarakat terdampak.

Saat ini, dalam pengamatannya, pemerintah belum dapat menyalurkan bantuan kepada para pelaku usaha dan nelayan. Hal itu karena terkendala Peraturan Mendagri tentang Pengaturan Hibah dan Bantuan Sosial. Sementara di pihak lain, para pelaku ekonomi itu semestinya cepat mendapatkan bantuan.

“Ini satu dilematis. Di satu sisi ingin melakukan tugas sebagai manusia dan pengabdi Negara, di satu sisi takut melanggar aturan,” katanya.

Dia menambahkan, ada rangkaian yang harus diperhatikan pada fase pemulihan. Olehnya dibutuhkan peran serta semua pihak dalam pemulihan ekonomi, bagaimana masyarakat di bawah bimbingan pemerintah bisa kembali bekerja seperti semula.

Kini perlahan pelaku ekonomi di sepanjang Pantai Talise mulai membuka usahanya kembali, dengan modal apa adanya atau meminjam dari sanak kerabat atau teman.

Namun tempat tersebut masih belum ramai seperti sebelumnya, selain masih banyak pelaku ekonomi yang belum berjualan, dengan aneka ragam alasan dan pertimbangan.

Namun setidaknya, mereka berusaha bangkit meski belum ada kepastian akan nasib dari usaha yang mereka tekuni saat ini.

Belum lagi harus berhadapan dengan larangan pemerintah untuk tidak membangun pada jarak 100 sampai 200 meter dari pantai.

Sesuai rencana, mereka akan direlokasi di Hutan Kota Kaombona, Jalan Jabal Nur, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore. (IKRAM)