Menjaga Hilangnya Jiwa Credanda Pancasila

oleh -
Oplus_131072

OLEH: M. Nur Alamsyah*

1 Juni merupakan sebuah penanda yang disiapkan negara sebagai keberpihakan terkait lahirnya sebuah ekstraksi ide pemikiran yang kemudian dijadikan sebagai landasan ideologi bernegara yang dikenal sebagai Pancasila.

Perdebatan dan diskursus yang dihadirkan oleh sepanjang perjalanan bangsa Indonesia tidak lepas dari fenomena pancasila sebagai ideologi bangsa.

Tanpa terasa, Tahun 2024 ini kita memasuki setahun lagi periode hadirnya Pancasila mewarnai lika liku kehidupan berbangsa Indonesia.

Tak heran jika terdapat orang yang menyatakan bahwa salah satu alat perekat bangsa Indonesia itu sebagai sebuah credenda adalah Pancasila.

Sebuah survey di tahun 2024 yang dilakukan di Kota Palu untuk melihat Indeks Kewaspadaan Nasional di Kota Palu. Salah satu hal yang merupakan variable dari nasionalisme dan patriotism adalah pandangan masyarakat terkait eksistensi Pancasila sebagai sebuah ideologi yang menjadi pandangan hidup bagi Masyarakat bangsa Indonesia.

Kajian tersebut menemukan hal yang layak menjadi perenungan dan perhatian di tengah euforia memperingati peristiwa besar ini.

Studi ini penting untuk seluruh anak bangsa terutama para penyelenggara negara yang hidup dari pajak dan hasil pendapatan negara agar tidak berpuas diri dan lalai akan negara.

Penelitian merupakan cara modern dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk melihat berbagai problematic yang akan dihadapi hari ini dan masa dating serta melalui apa hal tersebut dapat dihadapi.

Survey ini merupakan kegiatan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan survey yang melacak pendapat masyarakat secara luas di Kota palu dengan responden sebanyak 654 orang.

Pada tulisan ini hanya akan dibahas tentang hasil pernyataan responden terkait jawaban atas pertanyaan dimungkinkannya ideologi nasional diganti selain Pancasila.

Hasil studi ini menemukan angka bahwa 33,79 % responden yang merupakan gabungan pernyataan Setuju dan Sangat Setuju.

Angka tersebut tentu lebih besar jika ditambahkan dengan ragu-ragu (menengah).

Angka 34 persen sebagai pembulatan tersebut menunjukkan bahwa terdapat problem mendasar cara pandang masyarakat dalam kehidupan kebangsaan terkait arah dan tujuan bangsa yang terpatri dalam Pancasila.

Respon atas studi ini tentu akan beragam dan jika hendak jujur bahwa tidak banyak yang mau peduli atas hasil tersebut lebih banyak yang akan larut dalam polemik metode penelitian, kapasitas penelitian bahkan bisa jadi proyek semata. Bahkan bisa jadi penelitinya sudah dibully bahkan mungkin dikriminalisasikan atas dasar sentimen yang jauh dari hasil pekerjaan ilmiahnya sebagai peneliti.

Jika menggunakan ekuivalen antara persentase hasil studi dan jumlah penduduk Kota Palu yang telah terdaftar pada daftar pemilih tetap (DPT) yaitu 222.132 menjadi obyek penelitian tersebut, maka angka 34 % menghasilkan jumlah angka masyarakat yang besar untuk menyatakan dimungkinkannya Pancasila untuk digantikan ideologi lain.

Pernyataan tersebut merupakan sebuah penanda bahwa terdapat keabaian mendasar dalam merawat dan menjaga marwah serta nilai-nilai dasar kehidupan berkebangsaan yang tidak dilaksanakan dan digelorakan oleh seluruh elemen bangsa terutama oleh kelembagaan negara yang ditugaskan konstitusi untuk melakukannya.

Hadirnya gap ideologi antara Masyarakat bangsa dan consensus nasionalnya menempatkan dikotomi “bukan kita”.

Sejarah panjang bangsa Indonesia yang telah menetapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di negara ini melahirkan pandangan “kita”.

Ada harapan yang terputus yang tidak tersambung baik dalam kehidupan masyarakat yang secara konseptual layaknya dilakukan oleh petugas yang menjadi jembatan antara masyarakat dan negara yang disebut birokrasi atau state apparatus tersebut.

Apakah ini sebagai implikasi dari sibuknya setiap unit kerja mencapai capaian kinerja lembaganya yang disusun berdasarkan jejeran kinerja program yang abai akan konstruksi dasar berkebangsaan yang tidak menjadi konstruksi pokok dalam Menyusun rencana kerja, program dan aksi.

Pancasila seolah tersisih di langit-langit ruangan sebagai pajangan, kehilangan semangat credenda sebagai doctrine to be believe dalam konteks berbangsa yang sejatinya menjadi aura yang mengitari keberadaannya sebagai penjaga arah berkebangsaan.

Keberadaannya mestinya menjadi tonggak akan hadirnya spirit berkebangsaan yang sama, namun tidak hadir sebagaimana makna aslinya, karena kesibukan aparat negara yang membangun wacana institusinya semata.

Kerangka perekat bangsa dibawah paying besar Pancasila abai terkomunikasikan dan sepi dalam kegiatan dialog yang sesekali muncul dalam sentilan lidah “kelu” para aparat negara untuk mewarnai kegiatan yang dilakukannya.

Pancasila sebagai diskursus seolah mengering jatuh dan terbang tertiup angin dalam setiap narasi anak bangsa.
Seorang filsuf Cina yaitu Confusius menyatakan bahwa “dibutuhkan tiga unsur yang saling menyatu untuk membentuk sebuah negara yang kuat”.

Ketiga hal yang dimaksudkannya adalah Tentara yang Kuat, Pangan yang Cukup, dan Kepercayaan yang Kuat.

34% yang menyatakan dimungkinkannya diubah ideologi Pancasila menunjukkan lemahnya unsur ketiga dari negara tersebut yaitu kepercayaan yang kuat.

Ada celah penting yang menganga dalam tubuh bangsa Indonesia yang sudah sepantasnya segera dilakukan upaya sungguh-sungguh dalam melakukan penambalan sehingga tidak menjadi borok yang menganga dan menganggu perikehidupan negara dan kebangsaan.

Fakta penelitian tersebut menggambarkan hadirnya rasa apriori atau berkurangnya rasa kepercayaan Masyarakat atas Pancasila.

Terdapat krisis kepercayaan dari masyarakat yang melahirkannya. Sebaliknya, begitu banyak harapan yang disisipkan dari keberadaan Pancasila bagi masyarakat secara luas di Indonesia.

Selain sebagai ideologi, sebagai dasar negara atau secara luas sebagai perekat bangsa atau alat pemersatu bangsa, bagi Sukarno sebagai the founding fathers bangsa Indonesia menyatakan bahwa dasar negara yang pas dan baik bagi Indonesia adalah Pancasila.

Artinya dari berbagai ekstraksi pikiran yang dapat merekatkan Indonesia sebagai negara yang dibangun dari berbagai bangsa di Nusantara.

Ilmu pengetahuan yang menghadirkan adanya fenomena krisis ideologis kebangsaan Indonesia tersebut menyentak untuk kita mempelajari Kembali.

Diharapkan bahwa Pancasila dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini dan masa yang akan datang.

Seperti yang diungkapkan Bung Karno: “kejadian-kejadian yang akhir-akhir Ini, saudara-saudara, membuktikan sejelas-jelasnya bahwa jikalau tidak di atas dasar Pancasila kita terpecah belah, membuktikan dengan jelas bahwa hanya Pancasilalah yang dapat tetap mengutuhkan negara kita, tetap dapat menyelamatkan negara kita.”

Saya Indonesia, Saya Pancasila! Sebagai bagian dari anak bangsa yang berjuang minimal merasakan reformasi 1998 dengan berbagai dinamikanya maka Pancasila adalah ikatan bathin yang menyadarkan bawah sadar kita akan urgensi Pancasila, yaitu Pancasila mampu menjaga negara ini tetap utuh.

Realitas itu tidak berbanding lurus dengan kondisi hari ini ketika narasi Pancasila tidak menjadi dasar pijak dalam dialog teknis pelaksanaan diskusi pemajuan bangsa Indonesia hari ini.

Masa depan selalu lebih identik dengan cara instan dalam meraih cuan bagi pembangunan bangsa dan memangkas bahkan melupakan nilai dan spirit dasar pada butiran nilai-nilai yang termaktub dalam nilai-nilai dasar Pancasila terkait kehadiran Kita.

Setiap kekuasaan hanya memandang obsesi-obsesi kemajuan yang dipajang diatas syahwat kerakusan tanpa peduli pada amanat perjuangan bangsa yang direbut dengan pikiran, darah dan nyawa para pejuang. Bergeser menjadi perlombaan kuasa, kewenangan, legitimasi untuk menekuk setiap peluang menjadi pundi-pundi keluarga dan kelompok.

Pancasila sebagai ideologi negara memiliki berbagai dimensi penting yaitu dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas.

Dimensi realitas mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung bersumber dari nilai-nilai nyata yang hidup dalam masyarakat.

Dimensi idealitas menempatkan Pancasila sebagai kandungan cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

Fleksibilitas merupakan dimensi yang dimaksudkan bahwa Pancasila mengandung kekuatan yang merangsang masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang nilai-nilai dasar Pancasila.

Dimensi tersebut menggambarkan bahwa Pancasila adalah ekstraksi nilai yang berasal dari bangsa Indonesia untuk dapat lebih maju dengan pikiran yang konstruktif dan kekinian tanpa kehilangan esensi pijakan pada Pancasila.

Harapan kita bahwa setiap anak bangsa menyadari berbagai dimensi Pancasila tersebut.

Kajian ini bukanlah kajian satu-satunya yang memberikan fakta ilmiah akan rapuhnya hubungan ikatan ideologis antara Masyarakat dan negaranya. Namun setidaknya hasil ini memberikan kesadaran “kita” maupun “bukan kita” untuk kembali memposisikan diri, sesungguhnya ada apa dengan kita dan masa depan kita dengan Pancasila.

Ini juga memposisikan setiap anak bangsa, terutama para penjaga negara telah berkinerja apa dalam memastikan Pancasila sebagai cahaya terdalam bagi hati berkebangsaan anak bangsa Indonesia.

Sebab lebih jauh implikasi apa yang dapat kita tanggung dengan berbagai pengabaian yang dilakukan akibat semakin jauhnya Pancasila dalam pandangan, relung kehidupan, serta identitas kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia…Selamat Hari Pancasila…SALAM PANCASILA

*Penulis adalah Associate Professor pada Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Untad